Tampilkan postingan dengan label Comedy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Comedy. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : ANANTA

REVIEW : ANANTA


“Kita dipertemukan karena ikatan jodoh yang kuat.” 

Para pembaca blog yang budiman, izinkanlah saya untuk menyampaikan satu kabar gembira sebelum mengulas Ananta keluaran MD Pictures. Kabar gembira tersebut adalah (jreng-jreng) Michelle Ziudith sudah terlepas dari film-film romantis picisan garapan Screenplay Films, saudara-saudara!... meski kemungkinan hanya untuk sementara sih. Tapi jangan langsung bersedih karena paling tidak, untuk sesaat kita tidak melihatnya memerankan perempuan tajir melintir yang hobi merajuk, remaja yang mengemis-ngemis cinta seolah dia akan tewas jika terlalu lama menjomblo, atau gadis yang gemar bersabda dengan kata-kata mutiara di setiap hembusan nafasnya. Ini tetap patut dirayakan. Kenapa? Karena saya selalu percaya bahwa Michelle Ziudith memiliki bakat dalam berakting (apalagi kalau sudah akting banjir air mata, saingan deh sama Acha Septriasa!) dan dia sangat perlu kesempatan untuk membuktikannya. Melalui Ananta yang didasarkan pada novel bukan horor bertajuk Ananta Prahadi rekaan Risa Saraswati (seri Danur), aktris yang akrab disapa Miziu ini mendapatkan kesempatan tersebut. Memang sih kalau ditengok dari segi genre, Ananta masih bermain-main di jalur andalan Miziu yakni drama percintaan yang sekali ini membawa muatan komedi cukup pekat. Hanya saja yang membuat film ini berbeda dan boleh jadi merupakan tiket emas baginya adalah Ananta mempunyai penggarapan beserta performa pemain yang baik sehingga menempatkannya berada di level lebih tinggi dibanding film-film Miziu terdahulu. 

Dalam Ananta, Michelle Ziudith berperan sebagai Tania yang dideskripsikan sebagai remaja SMA yang kesulitan dalam berinteraksi secara sosial sehingga dia memilih untuk membenamkan diri dengan dunianya sendiri: lukis melukis. Akibat sikapnya yang jauh dari kata bersahabat, Tania hidup dalam kesendirian. Dia tidak memiliki satupun teman bermain di sekolah, dia juga tidak memiliki satupun teman berbicara di rumah. Satu-satunya orang yang dipersilahkan Tania memasuki kehidupannya adalah Bik Eha (Asri Welas) – itupun sebatas berurusan dengan makanan. Kehidupan Tania yang terbilang sunyi dan monoton ini lantas mengalami perubahan saat Ananta Prahadi (Fero Walandouw), murid pindahan asal Subang yang memiliki logat Sunda kental, hadir di sisinya. Ini bisa diartikan secara harfiah karena Ananta duduk sebangku dengan Tania. Karakteristiknya yang periang jelas bertolak belakang dengan Tania yang muram. Pun begitu, Ananta berupaya memahami rekan sebangkunya ini termasuk memasakannya nasi kerak yang merupakan makanan favorit Tania dan membantunya menjual lukisan-lukisannya. Tania yang semula apatis perlahan tapi pasti bersedia membuka diri pada Ananta sehingga hubungan persahabatan sekaligus hubungan bisnis pun terbentuk. Kesedihan yang selama ini menggelayuti diri Tania pun memudar tergantikan oleh kebahagiaan sampai kemudian Ananta tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan Tania menyambut datangnya pria lain dalam kehidupannya, Pierre (Nino Fernandez). 



Seperti halnya jutaan umat manusia di luar sana, saya pun sebetulnya menganggap sepele Ananta. Satu-satunya yang berkontribusi terhadap tergeraknya hati dan kaki ke bioskop untuk menjajalnya adalah sang sutradara, Rizki Balki, yang memulai debutnya dengan apik melalui Aku, Benci, dan Cinta (2017). Michelle Ziudith? Kepercayaan saya sudah mulai meluntur. Membawa sikap skeptis ke dalam ruang pemutaran, diri ini merasa tertampar saat tanpa disangka-sangka Ananta ternyata mampu tersaji sebagai tontonan yang jenaka (ya, film ini lucu sekali!) sekaligus hangat, manis, dan menyentuh di waktu bersamaan. Rizki yang gaya penuturannya terasa sekali terpengaruh dari film-film romantis asal Korea Selatan membuktikan bahwa debutnya tersebut bukanlah suatu kebetulan pemula belaka dan Michelle Ziudith menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diberikan kesempatan. Lanjutkan, Miziu! Michelle Ziudith berhasil melebur dengan baik ke dalam sosok Tania yang ajaib, sengak, dan temperamental. Berada di pengarahan maupun interpretasi pemain kurang tepat, Tania berpotensi menjadi karakter yang sukar diberi simpati. Namun performa Michelle Ziudith ditunjang chemistry padu bersama Fero Walandouw sebagai karakter tituler membuat saya cukup mampu memafhumi karakteristiknya yang kian meletup-letup tak terkontrol karena faktor duka. Adegan Tania terpuruk lalu menangis di pundak Ananta usai melempar lukisan-lukisannya ke luar jendela menjadi momen terbaik di film ini yang sekaligus menandai pertama kalinya simpati dapat disematkan secara resmi pada kedua karakter utama tersebut khususnya Ananta yang kebaikan dan kepolosannya membuat diri ini ingin memberinya pelukan hangat.  

Tidak hanya Michelle Ziudith yang membuktikan bahwa dia sanggup menunjukkan atraksi akting yang kejut nyata tatkala memperoleh peran beserta pengarahan yang tepat, tetapi juga Fero Walandouw. Merupakan kejutan terbesar dari Ananta, Fero adalah rekanan akting yang sesuai bagi Miziu. Chemistry yang dibina Miziu bersama Fero jauh lebih meyakinkan ketimbang saat dia beradu akting dengan Dimas Anggara maupun Rizky Nazar. Berkat performa keduanya, kita bisa menerima kenyataan bahwa Tania kelewat ngeselin dan Ananta kelewat mulia, lalu menikmati setiap momen kebersamaan mereka yang sebagian besar diantaranya mengundang gelak tawa – seperti berlari-larian di bawah guyuran ‘air hujan’ – dan menggoreskan rasa hangat di hati. Keberadaan Asri Welas yang kentara difungsikan sebagai comic relief jelas membantu meningkatkan level kelucuan yang sejatinya telah cukup kuat hanya dari interaksi Fero bersama Miziu. Sayangnya, segala kenikmatan menyaksikan Ananta yang ditimbulkan di satu jam pertama ini tak benar-benar bertahan hingga ujung durasi. Memang di separuh akhir masih ada sekelumit rasa manis dari benih-benih asmara antara Tania dengan Pierre atau terenyuh melihat kepedulian Ananta yang amat besar pada Tania, tapi upaya untuk menghadirkan kejutan yang membawa film ke ranah melodrama pada klimaks justru menurunkan greget. Andai si pembuat film (dan Risa sebagai pemilik materi sumber) tidak menjerumuskan Ananta pada tangis-tangisan klasik – plus misi Ananta tidak dipaksakan melibatkan perasaan – maka bukan tidak mungkin momen ‘perpisahan dan pertemuan’ di ujung film akan terasa lebih menohok. Andai ya…


Exceeds Expectations (3,5/5)
REVIEW : DEADPOOL 2

REVIEW : DEADPOOL 2


“You're no hero. You're just a clown, dressed up like a sex toy.” 
“So dark. You sure you're not from the DC universe?” 

Ditengah-tengah riuhnya film superhero yang menjunjung tinggi kebajikan, Deadpool (2016) yang diproduksi oleh 20th Century Fox berdasarkan komik berseri terbitan Marvel Comics menawarkan sebuah alternatif yang nyeleneh. Dia menjadi antitesis dari para pahlawan yang tergabung dalam Marvel Cinematic Universe berkat tutur kata dan tindakannya yang tak mengenal kompromi. Menerabas habis batasan-batasan rating yang biasanya membelenggu kreativitas dari film sejenis. Mengingat film ini dijual sebagai tontonan dewasa (jangan bilang belum diperingatkan, wahai para orang tua tukang ngeluh!), sang superhero dengan kostum ketat berwarna merah pekat ini pun mendapat keleluasaan dari pihak studio untuk menghabisi lawan-lawannya menggunakan cara yang berdarah-darah, berasyik masyuk dengan perempuan pujaannya, sampai melontarkan nyinyiran pedas penuh dengan referensi ke budaya populer yang tidak sedikit diantaranya mencakup F-word. Komponen-komponen yang amat sangat jarang dijumpai di film superhero belakangan ini, bukan? Pendekatannya yang berani ditambah gaya tuturnya yang nyentrik – merobohkan dinding keempat (berinteraksi dengan penonton) – ini menjadi sebuah kejutan manis sekaligus membuat Deadpool tampil menjulang. Tidak mengherankan jika kemudian sekuelnya yang bertajuk Deadpool 2 kembali mengaplikasikan formula yang terbukti berhasil ini meski tentunya bakal mengundang satu pertanyaan besar; akankah sensasi yang diberikannya kepada penonton masih sama seperti predesesornya? 

Berlatar dua tahun selepas peristiwa di film pertama, Wade Wilson (Ryan Reynolds) digambarkan telah menikmati kehidupannya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan bernama Deadpool. Hubungannya dengan Vanessa (Morena Baccarin) pun kian mesra, bahkan keduanya telah berencana untuk memiliki momongan. Jika segalanya berjalan sesuai rencana seperti ini, lalu apa pemantik konflik dalam Deadpool 2 yang membuat penonton tertarik mengikuti guliran penceritaannya? Demi menghindari spoiler – saya peduli dengan kenyamanan kalian semua, para pembaca yang budiman! – rasa-rasanya tak perlu menjlentrehkan secara detil apa yang kemudian terjadi. Yang jelas, menginjak menit belasan, Deadpool mengalami goncangan hebat dalam hidupnya sampai-sampai mendorong Colossus (Stefan Kapičić) untuk turun tangan dan menyeretnya ke markas X-Men. Pertemuannya dengan para anggota X-Men yang sebagian besar diantaranya tidak terkenal (menurut si karakter tituler yang tak tahu sopan santun ini, tentu saja) perlahan tapi pasti membuat Deadpool menemukan kembali tujuan hidupnya. Bersama dengan sejumlah karakter baru, salah satunya adalah Domino (Zazie Beetz) yang kekuatan utamanya adalah ‘keberuntungan’, Deadpool membentuk kelompok superhero bernama X-Force. Misi besar yang mereka jalankan yakni menyelamatkan seorang mutan remaja bernama Russell (Julian Dennison) yang memiliki kekuatan dalam menyulut api dari mutan penjelajah waktu, Cable (Josh Brolin yang juga memerankan Thanos di Avengers: Infinity War), yang berniat untuk mencabut nyawanya. 



Tidak ada perubahan signifikan yang bisa dijumpai dalam Deadpool 2 sekalipun kursi penyutradaraan kini bergeser ke David Leitch (John Wick, Atomic Blonde). Leitch bersama dengan tiga penulis skrip memahami betul, tidak ada gunanya memperbaiki sesuatu yang tidak rusak. Oleh karena itu, Deadpool 2 dihidangkan sesuai dengan ekspektasi penonton yang telah menyaksikan jilid pertamanya; kekerasannya berada di level ‘pedas’, humornya yang nakal banyak mencuplik referensi ke budaya populer. Walau unsur kejutannya tak lagi besar, sensasi yang disalurkan kepada penonton kurang lebih masihlah sama. Deadpool 2 tetaplah sebuah sajian eskapisme gila-gilaan yang menghibur. Demi memenuhi aturan tidak tertulis untuk sekuel, cakupan skalanya pun sekali ini ditingkatkan. Si pembuat film mengkreasi lebih banyak laga di seri ini – dimulai dari menit pembuka yang membangkitkan semangat sampai klimaks yang lebih menggigit – begitu pula dengan lawakan-lawakan khas Deadpool yang makin tak terkontrol dan kian bejibun. Semuanya menjadi sasaran empuk nyinyirannya, terlebih jika namamu terafiliasi dengan semesta yang diciptakan oleh Marvel Cinematic Universe atau DC Extended Universe. Deadpool menyentil para personil Avengers sekaligus mencibir DC (duo Martha yang ikonik tentu tak terlewatkan). Dia juga tidak ragu-ragu mempertanyakan orisinalitas lagu ‘Do You Want to Build a Snowman?’ dari Frozen (2013), kebingungan dengan penulisan nama Kirsten Dunst yang benar (saya memahamimu, Deadpool!), mengeluhkan keputusan Logan (2017) untuk ikut-ikutan menjadi film superhero dewasa, menghujat karir aktor berkebangsaan Kanada bernama Ryan Reynolds (!), hingga paling meta: mengkritisi penulis skrip Deadpool 2 yang terlampau malas menciptakan konflik rumit. 

Tak pelak, kekuatan utama Deadpool 2 berada pada materi ngelabanya yang harus diakui cerdas dan kreatif. Ini masih belum ditambah dengan lelucon yang dikembangkan dari situasi-situasi yang berlangsung di sepanjang durasi. Saya juga tidak akan menyebutkannya satu demi satu karena lelucon merupakan bagian dari kejutan yang dimiliki oleh Deadpool 2. Hitung-hitung sebagai bentuk kompensasi atas jalinan kisah yang cenderung lurus-lurus saja, minim kelokan yang digemari sebagian penonton. Leitch mengombinasikan banyolan-banyolan dengan hidangan laga yang lebih gahar (plus sadis) dibandingkan film pertama. Menilik fakta bahwa Deadpool 2 tidak digelontori bujet sejor-joran Avengers: Infinity War, maka sebaiknya hempaskan bayangan adegan laganya bakalan segegap gempita film tersebut. Sebagian diantaranya memang tidak menawarkan pembaharuan (kamu telah melihatnya beberapa kali di film laga), tapi Leitch sanggup meniupkan excitement kedalamnya sehingga tak peduli seberapa pun seringnya kamu menjumpai adegan ini, tetap ada kesenangan tersendiri kala menyaksikannya. Malah, Deadpool 2 mempunyai momen klimaks membekas (sayangnya tak ada guyonan merujuk ke Carrie (1976)!) yang turut mengonfirmasi pelabelan ‘film keluarga’ oleh Deadpool di permulaan film – sekadar info, film pertama disebut ‘film percintaan’. Tentu ini bukan memiliki makna bahwa si pembuat film mempersilahkan penonton-penonton cilik memenuhi gedung bioskop, melainkan menunjukkan bahwa si pahlawan bermulut kotor ini tak lagi berjuang sendirian. Dia menjalin pertemanan dengan karakter-karakter baru yang mengisi kekosongan hatinya.


Pertemanan ini memungkinkan Deadpool 2 untuk menghadirkan sederet momen mengharu biru yang menghangatkan hati. Tidak semuanya bekerja dengan baik – ada kalanya diruntuhkan oleh guyonannya sendiri – seperti persahabatan Deadpool dan Russell yang tak segreget perkiraan, tapi paling tidak masih ada senyum mengembang di penghujung film ketika kita melihat sejauh mana Wade Wilson telah berkembang sebagai seorang manusia. Ryan Reynolds mampu menangani momen dramatik seiring bergejolaknya batin Wade seapik dia menangani momen komedik yang mengharuskannya melontarkan nyinyiran secara cepat seraya bertingkah nyeleneh. Chemistry yang dibangunnya bersama Julian Dennison berlangsung cukup baik, sementara pemeran-pemeran pendukung mampu mengimbangi performa ciamik dari Reynolds. Zazie Beetz mencuri perhatian sebagai Domino yang keberuntungannya tak pernah habis, Karan Soni sebagai Dopinder yang memiliki obsesi menjalani misi bersama Deadpool, dan Josh Brolin menunjukkan sisi rapuh dari Cable dibalik tampilan fisiknya yang sangar. Disamping kombinasi mulus antara banyolan, laga, beserta performa pemain, elemen lain yang membantu menciptakan kesenangan dalam Deadpool 2 adalah pilihan lagu pengiring di setiap adegannya. Bukan lagu-lagu beraliran rap, metal, atau rock yang menghentak-hentak melainkan tembang-tembang lembut dengan sisi emosional tinggi yang mungkin tak pernah terbayangkan akan menghiasi film superhero ‘ngaco’ semacam ini. Tembang-tembang tersebut antara lain ‘Take on Me’ milik A-Ha, ‘We Belong’ oleh Pat Benatar, ‘All Out of Love’-nya Air Supply, ‘Tomorrow’ dari drama musikal Annie (1977), sampai lagu tema film ini, ‘Ashes’, yang dibawakan Celine Dion bak lagu tema dari James Bond. Gokil!

Note : 1) Jangan terburu-buru tinggalkan gedung bioskop karena ada dua adegan bonus yang sangat layak buat dinanti. Keduanya terletak di sela-sela credit title jadi kamu tidak perlu menunggu terlalu lama.
2) Pastikan kamu menuntaskan urusan belakang sebelum film dimulai karena salah satu poin kejutan Deadpool 2 terletak pada cameo. Kemunculannya sangat cepat sehingga jika kamu keluar atau terlalu sibuk mengecek ponsel saat menonton, hampir bisa dipastikan akan terlewat. Blink, and you'll miss it

Outstanding (4/5)


REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)

REVIEW : PERFECT STRANGERS (2016)


“We have everything in here (mobile phone). It’s the black box of our lives. How many couples would split up if they saw each other’s phones?” 

Tanyakan kepada dirimu sendiri: seberapa jauh kamu mengenal orang-orang yang kamu sebut sebagai sahabat, kekasih, maupun suami/istri? Apakah kamu benar-benar yakin bahwa mereka bisa sepenuhnya dipercaya? Benarkah tidak ada rahasia beracun yang disembunyikan rapat-rapat oleh mereka darimu? Bagaimana kalau ternyata mereka sejatinya tidak lebih dari orang asing yang kebetulan saja mendapat sebutan ‘sahabat, kekasih, maupun suami/istri’? Hmmm. Pertanyaan-pertanyaan ‘baper’ yang bisa jadi sempat menggelayuti pikiran kita ini menjadi landasan utama bagi Paolo Genovese untuk menghasilkan film layar lebar terbarunya yang bertajuk Perfect Strangers (dalam bahasa Italia berjudul Perfetti sconosciuti). Paolo bersama empat rekannya memformulasikan sederet pertanyaan tersebut ke dalam skrip yang lantas diejawantahkannya menjadi bahasa gambar. Demi membuatnya terasa kian menggigit, si pembuat film menyelubunginya dengan komentar sosial terkait dampak negatif dari kemajuan teknologi. Dampak negatif yang dijlentrehkan Paolo melalui Perfect Strangers adalah bagaimana teknologi telah merenggut habis privasi masyarakat modern melalui aplikasi maupun situs pertemanan (ironis!) dan mampu menjelma sebagai bahaya laten bagi hubungan antar manusia apabila tidak dipergunakan secara bijak. Dramaaaaaa! 

Guliran penceritaan Perfect Strangers mempertemukan penonton dengan tujuh sahabat lama yang konfigurasinya terdiri atas tiga pasangan menikah dan satu duda. Pasangan pertama adalah Lele (Valerio Mastandrea) dan Carlotta (Anna Foglietta) yang tidak lagi saling berkomunikasi secara intens. Pasangan kedua adalah pengantin baru, Cosimo (Edoardo Leo) dan Bianca (Alba Rohrwacher), yang gairah seksual keduanya masih menggebu-nggebu. Pasangan ketiga adalah Rocco (Marco Giallini) dan Eva (Kasia Smutniak) yang menapaki fase sebagai orang tua dari seorang remaja. Sementara sang duda adalah Peppe (Giuseppe Battiston) yang telah memiliki kekasih baru. Ketujuh sahabat ini berkumpul dalam sebuah jamuan makan malam yang dihelat di apartemen milik Rocco dan Eva. Mengingat mereka telah cukup lama tidak saling bersua, maka setumpuk obrolan dengan berbagai topik yang amat acak pun terus mencuat sampai akhirnya Eva memutuskan untuk membuat sebuah permainan menarik sekaligus ‘berbahaya’. Eva meminta setiap personil yang hadir untuk meletakkan ponsel cerdas masing-masing di atas meja makan lalu membiarkan seluruh pesan atau telepon yang masuk ke ponsel mereka diketahui oleh semuanya, tanpa terkecuali. Mulanya, permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini berlangsung menyenangkan. Namun saat rahasia-rahasia besar mulai terungkap, kesenangan tersebut berubah menjadi tragedi yang seketika menggoyahkan ikatan pernikahan dan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun. 



Perfect Strangers mengawali penceritaan dengan sekelumit babak introduksi yang menyoroti persiapan tiga pasangan sebelum menghadiri jamuan makan malam (Peppe baru diperkenalkan di lokasi acara). Tidak mendalam, tapi cukup untuk memberi kita gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara mereka; Lele-Carlotta dingin, Cosimo-Bianca menggelora, sementara Rocco-Eva cenderung berada di tengah-tengah. Begitu beranjak ke apartemen Rocco dan Eva yang akan menjadi panggung utama berlangsungnya ‘pertempuran’ sepanjang sisa durasi, Paolo lantas menyodori penonton dengan tek tokan remeh temeh antar sahabat yang berfungsi untuk menegaskan relasi ketujuh manusia ini sekaligus untuk menggelitik saraf tawa penonton. Dari obrolan-obrolan ini, kita pun menyadari bahwa guliran kisah Perfect Strangers bergantung sepenuhnya pada kekuatan dialog yang dikreasi oleh lima penulis naskah. Apabila materi pembicaraannya lembek, lalu chemistry antar pelakon tak bertenaga, dan penyuntingan kurang lincah, Perfect Strangers jelas berada dalam masalah besar. Beruntungnya apa yang terjadi justru sebaliknya. Obrolan ringan yang menghiasi belasan menit awal sedikit demi sedikit mengalami eskalasi, utamanya usai Eva memutuskan untuk memberikan bumbu pedas pada malam reuni kecil-kecilan ini. Disamping agar makan malam bersama ini terasa hidup (tentu tak akan ada tamu yang sibuk dengan ponselnya sendiri), tujuan Eva mencetuskan permainan ‘tak ada rahasia diantara kita’ ini adalah mengetes kejujuran – meski sejatinya telah melanggar privasi. Dia menantang, “jika memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa harus takut?” 

Tentu saja, Paolo tidak membiarkan pesan atau telepon yang masuk ke ponsel para karakter berada di taraf aman. Kalau sebatas berhubungan dengan bisnis maupun panggilan dari kerabat atau sahabat, dimana asyiknya? Mesti ada ketegangan dong! Maka dari itu, si pembuat film menyelipkan rahasia pada masing-masing karakter. Tingkatannya beragam, ada yang biasa-biasa saja, sedang-sedang saja, sampai parah sekali yang seketika menciptakan ledakan hebat di meja makan dan memberi penonton suatu tontonan yang menarik – momen terbaik adalah ketika dua tamu bertukar ponsel yang tanpa disangka-sangka malah bikin geger karena dua pesan sederhana. Tidak ada yang terbebas dari konflik, tidak ada putih bersih di sini. Ketika kamu mengira bahwa satu persoalan telah cukup menggegerkan, tunggu sampai kamu mendengar rahasia lain yang siap diungkapkan. Yang jelas, Paolo tidak akan membiarkanmu terserang jenuh sampai jatuh terlelap di pertengahan durasi karena kolaborasinya bersama para penulis naskah yang mengkreasi dialog-dialog cepat nan tajam, penyunting gambar yang cekatan dalam menyusun ritme film, serta pemain ansambel dengan chemistry menyengat, memungkinkan Perfect Strangers untuk memiliki cita rasa mencekam dan mencengkram dari menit ke menit. Itulah mengapa menyaksikan Perfect Strangers yang dijual sebagai tontonan satir ini tak ubahnya menonton sebuah gelaran thriller. Kamu tidak akan rela memalingkan muka barang sejenak dari layar karena setiap percakapan yang meluncur dari mulut para karakter adalah kunci. 



Kunci yang akan menuntun para karakter untuk mengetahui ‘kebenaran beracun’ yang telah tersembunyi selama bertahun-tahun. Kunci yang akan melepaskan topeng yang selama ini dikenakan oleh tujuh manusia yang mengaku dirinya sebagai sahabat dan pasangan yang bisa dipercaya. Kunci yang akan membawa mereka pada keputusan penting; apakah hubungan (persahabatan dan pernikahan) penuh kepalsuan ini layak dipertahankan? Kunci yang akan mengusik pemikiran penonton dengan suatu pilihan; apakah kebenaran ini perlu dibeberkan sekalipun berpotensi merusak hubungan atau lebih baik disimpan erat-erat demi menjaga keutuhan hubungan sekalipun ini berarti ada ketidakjujuran? Dan kunci yang akan membuat kita bertanya-tanya; apakah kemajuan teknologi ini benar-benar telah membuat manusia tidak lagi peduli dengan privasi?

Outstanding (4/5)
REVIEW : TULLY

REVIEW : TULLY


“You’re convinced that you’re this failure, but you actually made your biggest dream come true.” 

Tully, suguhan terbaru dari Jason Reitman yang sekali lagi berkolaborasi dengan penulis naskah Diablo Cody usai Juno (2007) dan Young Adult (2011) yang amat mengesankan, dipersembahkan secara khusus untuk para ibu. Teruntuk para ibu yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk mengasuh anak tanpa bala bantuan dari pengasuh anak bersertifikat. Teruntuk para ibu yang rela berjuang seorang diri dalam mengurus anak tanpa (atau minim) uluran tangan dari suami. Dan, teruntuk para ibu yang ikhlas seluruh mimpinya di masa muda terkubur dalam-dalam demi memastikan mimpi sang anak dapat tercapai. Tully tidak ubahnya sebuah surat cinta dari Reitman beserta Cody untuk para ibu di luar sana yang telah berjuang sepenuh tenaga demi memastikan anak-anak mereka memperoleh kehidupan yang layak. Menengok materi pembahasannya yang berjibaku dengan perjuangan seorang ibu, mudah untuk mengira bahwa film ini akan dikemas bak melodrama yang dipenuhi ratapan atau tangis haru. Kalaupun tidak, ya sarat letupan-letupan emosi dan dialog-dialog sinis khas Cody. Akan tetapi, alih-alih melantunkan kisah dengan pendekatan-pendekatan tersebut, Tully justru memilih untuk berbincang-bincang secara kalem. Ini seperti seorang sahabat yang menceritakan pengalaman-pengalaman serunya sebagai seorang ibu kepada sahabat terdekatnya seraya menyeruput teh di teras rumah pada sore hari yang cerah. Terdengar intim, jujur, tetapi juga lucu. 

Guliran penceritaan yang ditawarkan oleh Tully pun tidak rumit-rumit gimanaaaa gitu, malah cenderung sederhana. Fokusnya terletak pada seorang ibu bernama Marlo (Charlize Theron) yang telah dikaruniai dua buah hati dan kini sedang gelisah menanti lahirnya anak ketiga. Kegelisahan ini bukannya tanpa alasan karena Marlo sendiri sejatinya tidak mengantisipasi dirinya akan kembali hamil. Terlebih, si bungsu Jonah (Asher Miles Fallica) yang menunjukkan tanda-tanda mengidap autisme membutuhkan perhatian khusus dari Marlo dan sang suami, Drew (Ron Livingston), terlalu letih dengan rutinitasnya di kantor sehingga tidak memberi banyak bantuan terkait urusan rumah tangga. Tapi bagaimanapun, kehamilan itu terjadi dan dia pun melahirkan anak ketiga. Pada mulanya Marlo berniat mengurus kebutuhan si kecil dan krucil-krucil lainnya seorang diri sekalipun saudaranya, Craig (Mark Duplass), menunjukkan iktikad baik untuk membantu. Namun seiring berjalannya waktu, Marlo yang tidak lagi bisa tidur dengan nyenyak di malam hari perlahan tapi pasti mulai kewalahan sampai kemudian memutuskan untuk meminta bantuan pada night nanny seperti disarankan oleh Craig. Kehadiran night nanny bernama Tully (Mackenzie Davis) ini seketika mengubah kehidupan Marlo yang sebelumnya awut-awutan. Rumahnya bersih dari kotoran, dia bisa tidur dengan nyenyak, memasak untuk seluruh anggota keluarga, serta memuaskan Drew di ranjang. Berkat bantuan Tully, Marlo seperti menemukan gairah baru untuk menjalani hidup sebagai seorang manusia, seorang istri, dan seorang ibu.


Selepas menyaksikan Tully, ada satu perasaan ajaib yang mengemuka sehingga membutuhkan waktu bagi saya selama beberapa saat untuk akhirnya berhenti memandangi layar bioskop yang telah menggulirkan credit title, lalu beranjak dari kursi bioskop, dan melenggang pergi meninggalkan gedung pemutaran. Perasaan itu memunculkan kehangatan di hati. Membuat saya ingin memeluk diri sendiri serta (tentunya) ibu di rumah. Sungguh film yang sangat indah. Betapa tidak, melalui Tully, Reitman dan Cody kembali mengingatkan penonton betapa besarnya perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh para ibu agar anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang layak. Tully tidak menceramahi penonton dengan setumpuk dialog-dialog pengobar semangat yang dirangkai puitis atau dramatisasi berlebihan yang memperlihatkan kehebatan seorang ibu. Yang dilakukannya semata-mata menyoroti rutinitas harian Marlo yang tidak jauh-jauh dari menyusui, mengganti popok, terbangun di tengah malam, mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, menghadapi keluhan pihak sekolah mengenai perilaku putranya yang dianggap ‘unik’, mendengarkan rajukan atau tangisan yang bikin gendang telinga pengang, membereskan cucian seraya mengawasi anak, tertidur di sofa pada siang bolong karena kelelahan, menyiapkan makan malam, dan siklus ini terus berulang selama berbulan-bulan (bahkan bertahun-tahun) lamanya. Serentetan aktivitas yang pastinya akan membuat para orang tua terkekeh-kekeh seraya berujar, “saya pernah berada di fase itu!,” dan menumbuhkan empati kepada para ibu dalam diri mereka yang belum mengalami fase menimang-nimang bayi. 

Mengingat Cody menulis naskah Tully tatkala dia baru saja melahirkan anak ketiga, maka bukan sesuatu yang mengherankan jika dia memahami betul pergulatan yang dialami oleh Marlo. Dibantu oleh Reitman yang mempunyai kepekaan tinggi, keduanya memberi penggambaran yang realistis mengenai keseharian seorang ibu dalam menyambut datangnya bayi baru. Agar tidak terasa menjemukan, humor ditaburkan disana sini yang tidak sedikit diantaranya membuat tawa saya meledak di dalam bioskop. Perihal meramu dialog tajam dan guyonan sinis, Cody memang jago. Sensitivitas naskah dan pengarahan dalam Tully ini beruntung sekali memperoleh sokongan yang sangat baik dari jajaran pemainnya, terutama Charlize Theron yang totalitasnya berperan bisa kalian tengok melalui transformasi fisiknya: berat badannya menjulang tinggi hingga tubuhnya terlihat seperti kumpulan lemak. Maka begitu putrinya bertanya, “apa yang terjadi dengan tubuhmu, Bu?,” penonton tidak sukar diyakinkan apa yang memantik pertanyaan tersebut. Performa Theron yang ciamik membuat kita dapat menyematkan empati kepada Marlo yang digambarkan tak ubahnya emak-emak kebanyakan. Terlampau fokus pada tiga buah hatinya, Marlo tidak memiliki waktu untuk mengurus diri sendiri sampai kemudian Tully mengetuk pintu rumahnya dan memberinya kesempatan membenahi hidup. Theron menjalin chemistry menyengat bersama Mackenzie Davis yang gairah mudanya meletup-letup. Interaksi keduanya terasa nyata dan mengalir sampai-sampai muncul keinginan untuk bergabung dengan klub kecil ini. Saking nyamannya bersama mereka, saya tidak rela untuk berpisah dengan Marlo maupun Tully kala film telah mencapai detik terakhir. Ah, andai saja Tully memiliki durasi lebih panjang!

Outstanding (4/5)


Senin, 25 Juni 2018

REVIEW : INCREDIBLES 2

REVIEW : INCREDIBLES 2


“Done properly, parenting is a heroic act.” 

Saat dirilis ke hadapan publik pada tahun 2004 silam, The Incredibles bisa dikatakan menawarkan sebuah sajian menyegarkan yang menawarkan perspektif berbeda terhadap tontonan superhero terlebih pada masa itu adaptasi komik Marvel dan DC belum mendominasi layar lebar (FYI, Marvel Cinematic Universe baru dimulai pada tahun 2008 melalui Iron Man). Berceloteh mengenai dua pahlawan berkekuatan super yang memutuskan untuk menjalani kehidupan normal layaknya manusia kebanyakan dengan membina rumah tangga, film arahan Brad Bird (The Iron Giant, Ratatouille) ini menyisipinya dengan isu serius semacam krisis paruh baya dan rempongnya mengasuh anak ‘luar biasa’ seraya mengajak penonton bersenang-senang sekaligus memberi cemooh ke segala keklisean film superhero – persis seperti yang dilakukan oleh dwilogi Deadpool tempo hari. Sayangnya, sekalipun resepsi yang diterima dari publik dan kritikus amat positif, The Incredibles tak seketika mendapat instalmen kelanjutan. Membutuhkan waktu lebih dari satu dekade bagi Pixar Animation Studios untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan Incredibles 2 yang masih menempatkan Brad Bird di kursi penyutradaraan dan penulisan naskah. Kesuksesan Marvel Cinematic Universe lalu sambutan hangat yang diberikan oleh publik maupun kritikus kepada Monsters University (2013) dan Finding Dory (2016) tampaknya telah meluluhkan hati para petinggi Pixar. Lebih-lebih, mereka melihat masih adanya potensi kisah kepahlawanan keluarga Parr untuk dikembangkan lebih jauh lagi. 

Memulai penceritaan tepat setelah film pertama berakhir, Incredibles 2 menyoroti bagaimana pengorbanan keluarga Parr yang terdiri dari Bob atau Mr. Incredible (Craig T. Nelson), Helen atau Elastigirl (Holly Hunter), Violet (Sarah Vowell), Dash (Huck Milner), serta Jack-Jack yang masih balita (Eli Fucile) dalam memberantas kejahatan ternyata tak memperoleh pengakuan yang sepantasnya dari pemerintah. Memperhitungkan kerusakan masif yang ditimbulkan akibat aksi-aksi para pahlawan kala beraksi, pemerintah memutuskan untuk melarang segala praktik kepahlawanan yang memanfaatkan kekuatan khusus. Akibat larangan ini, keluarga Parr pun mau tak mau menjauhi gemerlapnya sorotan media dan menyembunyikan identitas mereka yang sesungguhnya dari khalayak ramai. Situasi yang suram bagi para superhero ini perlahan tapi pasti mulai berubah tatkala seorang pebisnis sukses yang bergerak di bidang telekomunikasi bernama Winston Deavor (Bob Odenkirk) beserta sang adik, Evelyn (Catherine Keener), berinisiatif untuk membersihkan nama baik para superhero. Caranya dengan merekrut Elastigirl sebagai ‘brand ambassador’ lalu merekam setiap aksinya dalam memberantas kejahatan. Trik ini terbukti berhasil sehingga kepercayaan publik berhasil didapatkan, popularitas Elastigirl mendadak menjulang, dan Mr. Incredible pun terpaksa menggantikan posisi sang istri untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, keadaan lagi-lagi tak berjalan sesuai rencana ketika Elastigirl mesti berhadapan dengan seorang penjahat dengan motif dipertanyakan bernama Screenslaver.


Menonton Incredibles 2 di laya bioskop kala libur panjang ternyata sungguhlah pilihan tepat. Sedari menit pertama, Brad Bird telah mengondisikan penonton untuk bersemangat, tergelak-gelak, hingga berdebar-debar di kursi bioskop. Bagi saya yang kebetulan sedang membutuhkan hiburan untuk menghempaskan kepenatan dari pikiran, apa yang ditawarkan oleh Incredibles 2 jelas lebih dari cukup. Laganya seruuu, humornya pun lucuuu. Menengok produk akhirnya yang sanggup membuat hati bergembira, penantian para penggemar selama belasan tahun (intermezzo; saya ingat betul menyaksikan instalmen pertamanya di Tunjungan 21 saat masih bocah) tentu tidaklah sia-sia. Kesenangan yang telah terbentuk sedari menit pembuka yang berlangsung gegap gempita kala menampilkan aksi keluarga Parr beserta Frozone (Samuel L. Jackson, si Nick Fury) dalam menghentikan Underminer, mampu terjaga secara stabil hingga babak pamungkasnya yang akan membuat klimaks dari sejumlah film superhero terlihat cupu. Sosok antagonis dalam jilid ini memang tidak terlampau mengancam yang membuat barisan karakternya bertekuk lutut dan motif kejahatannya pun klasik – bisa dimengerti mengingat bagaimanapun juga, Incredibles 2 mesti menghibur penonton cilik – akan tetapi si pembuat film mengompensasinya bagi penonton dewasa dengan serentetan sekuens laga yang tidak sedikit diantaranya membuat saya berdebar-debar, materi ngelaba yang jitu dalam menggelitik saraf tawa, hingga jalinan pengisahan yang mengikat meski tergolong berat untuk ukuran film keluarga. 

Keberadaan humor dalam Incredibles 2 menjadi pelengkap yang sangat baik bagi serentetan sekuens laganya. Elemen komedik mengambil tongkat estafet dari elemen laga ketika film tidak sedang menyoroti sepak terjang Elastigirl yang (tentu saja) menyumbang sebagian momen aksi di Incredibles 2. Dengan kata lain, kamu bisa menemukannya saat sorotan beralih ke Mr. Incredible atau Bob yang kelimpungan dalam mengurus anak-anaknya. Bob mesti membantu Violet yang sedang kesengsem kepada salah satu laki-laki di sekolahnya yang apesnya tidak bisa mengingat siapa Violet karena satu dan lain hal, lalu membantu Dash yang kesulitan mengerjakan tugas-tugas matematika, hingga mencari solusi untuk mengontrol kekuatan Jack-Jack yang mengerikan. Aksi heroik Bob dalam menjalankan tugasnya sebagai Ayah Rumah Tangga ini tidak saja mengundang gelak tawa heboh yang salah dua momennya dipersembahkan oleh adegan pertarungan antara Jack-Jack dengan seekor rakun di halaman belakang rumah yang pecah sekali (Rocket Raccoon, is that you?) dan pertemuan singkat dengan desainer langganan keluarga, Edna Mode (Brad Bird), tetapi juga memberi kehangatan pada hati sekalipun tonjokkan emosinya tidak sekuat, katakanlah, Coco (2017).


Seperti halnya instalmen pertama, disamping memberi hiburan dalam bentuk pertarungan dan lawakan, Incredibles 2 turut menghadirkan guliran penceritaan menarik yang didalamnya mengandung komentar-komentar sosial yang relevan dengan situasi terkini. Isu yang dibicarakannya sekali ini berkaitan dengan women empowerment, pembagian peran dalam sektor rumah tangga, prasangka, keegoisan pemerintah, sampai ketergantungan terhadap teknologi. Walau kedengarannya berpotensi bikin dahi mengernyit, Brad Bird sanggup menyampaikannya secara lancar dan ringan tanpa mengurangi esensinya barang sedikitpun. Bagus! 

Note : Saat hendak menonton Incredibles 2, pastikan untuk tidak terlambat memasuki ruang pemutaran. Ada sebuah film pendek berjudul Bao sebelum film utama yang akan membuatmu ingin memberikan pelukan hangat kepada ibu tercinta. Kalau ini, buagus!

Outstanding (4/5)

Sabtu, 23 Juni 2018

YoWis Ben (2018) 720p WebDL Download

YoWis Ben (2018) 720p WebDL Download


Bayu menyukai Susan sejak lama, namun merasa minder dengan keadaan dirinya yang pas-pasan. Bayu bertekad mengubah dirinya menjadi lebih populer dari Roy, pacar Susan yang gitaris band. Ia membentuk band bersama teman-temannya, yang dinamai Yowis Ben. Langkah Bayu dan teman-temannya tidak mudah. Terjadi perpecahan antar personil band. Berhasilkah Bayu mempertahankan band-nya dan mendapatkan Susan?

 TONTON CUPLIKAN 


Judul                  : YoWis Ben (2018)
Genre                 : Drama, Comedy
Pemain               : Bayu Ska, Cut Meyriska
Kualitas              : WebDL 720p
Size                    : 900MB
Link Download  : Openload

Jumat, 22 Juni 2018

Gringo (2018) Bluray 720p

Gringo (2018) Bluray 720p


Gringo merupakan sebuah film komedi dan aksi yang dipenuhi dengan intrik dramatis. Film ini mengambil latar di Meksiko. Dalam film Gringo diceritakan kisah seorang pengusaha yang baik hati bernama Harold Soyinka (diperankan oleh David Oyelowo) yang harus menerima kenyataan karena ia dibohongi oleh rekan bisnisnya sendiri.
Karena merasa tidak terima, akhirnya Harold melakukan pertempuran yang makin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan ia menyimpang dari yang dulunya menjadi seorang warga yang taat dengan hukum negara namun dalam pertempuran tersebut ia berubah sebagai seorang kriminal. Hal ini tentunya mengundang tanya: apakah Harold keluar dari jati dirinya yang sebenarnya?

 TONTON CUPLIKAN 



Judul                  : Gringo(2018)Bluray 720p
Genre                 : Comedy, Thriller, Crime
Pemain               : Joel Edgerton & Charlize Theron
Kualitas              : 720P
Size                    : 1GB
Link Download  : Openload

Kamis, 21 Juni 2018

Si Juki The Movie (2017) Download

Si Juki The Movie (2017) Download


Si Juki adalah seorang selebriti yang sedang berada pada puncak ketenarannya. Sikapnya yang polos, jenaka, dan berani untuk beda membuatnya dicintai semua orang. Hingga sebuah kesalahan membuatnya berbalik menjadi musuh nomor satu masyarakat. Di saat yang sama sebuah meteor jatuh mengancam untuk menghancurkan Indonesia. Ketika Erin, seorang ilmuwan muda berbakat meminta bantuan Juki untuk menghentikan meteor, dapatkah Juki menyelamatkan Indonesia?

 TONTON CUPLIKAN 



Judul                  : Si Juki The Movie (2017)
Genre                 : Comedy, Animation
Pemain               : Juki, dkk
Kualitas              : 480P
Size                    : 510MB
Link Download  : Openload