Tampilkan postingan dengan label Family. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Family. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Juni 2018

REVIEW : INCREDIBLES 2

REVIEW : INCREDIBLES 2


“Done properly, parenting is a heroic act.” 

Saat dirilis ke hadapan publik pada tahun 2004 silam, The Incredibles bisa dikatakan menawarkan sebuah sajian menyegarkan yang menawarkan perspektif berbeda terhadap tontonan superhero terlebih pada masa itu adaptasi komik Marvel dan DC belum mendominasi layar lebar (FYI, Marvel Cinematic Universe baru dimulai pada tahun 2008 melalui Iron Man). Berceloteh mengenai dua pahlawan berkekuatan super yang memutuskan untuk menjalani kehidupan normal layaknya manusia kebanyakan dengan membina rumah tangga, film arahan Brad Bird (The Iron Giant, Ratatouille) ini menyisipinya dengan isu serius semacam krisis paruh baya dan rempongnya mengasuh anak ‘luar biasa’ seraya mengajak penonton bersenang-senang sekaligus memberi cemooh ke segala keklisean film superhero – persis seperti yang dilakukan oleh dwilogi Deadpool tempo hari. Sayangnya, sekalipun resepsi yang diterima dari publik dan kritikus amat positif, The Incredibles tak seketika mendapat instalmen kelanjutan. Membutuhkan waktu lebih dari satu dekade bagi Pixar Animation Studios untuk memberikan lampu hijau bagi pembuatan Incredibles 2 yang masih menempatkan Brad Bird di kursi penyutradaraan dan penulisan naskah. Kesuksesan Marvel Cinematic Universe lalu sambutan hangat yang diberikan oleh publik maupun kritikus kepada Monsters University (2013) dan Finding Dory (2016) tampaknya telah meluluhkan hati para petinggi Pixar. Lebih-lebih, mereka melihat masih adanya potensi kisah kepahlawanan keluarga Parr untuk dikembangkan lebih jauh lagi. 

Memulai penceritaan tepat setelah film pertama berakhir, Incredibles 2 menyoroti bagaimana pengorbanan keluarga Parr yang terdiri dari Bob atau Mr. Incredible (Craig T. Nelson), Helen atau Elastigirl (Holly Hunter), Violet (Sarah Vowell), Dash (Huck Milner), serta Jack-Jack yang masih balita (Eli Fucile) dalam memberantas kejahatan ternyata tak memperoleh pengakuan yang sepantasnya dari pemerintah. Memperhitungkan kerusakan masif yang ditimbulkan akibat aksi-aksi para pahlawan kala beraksi, pemerintah memutuskan untuk melarang segala praktik kepahlawanan yang memanfaatkan kekuatan khusus. Akibat larangan ini, keluarga Parr pun mau tak mau menjauhi gemerlapnya sorotan media dan menyembunyikan identitas mereka yang sesungguhnya dari khalayak ramai. Situasi yang suram bagi para superhero ini perlahan tapi pasti mulai berubah tatkala seorang pebisnis sukses yang bergerak di bidang telekomunikasi bernama Winston Deavor (Bob Odenkirk) beserta sang adik, Evelyn (Catherine Keener), berinisiatif untuk membersihkan nama baik para superhero. Caranya dengan merekrut Elastigirl sebagai ‘brand ambassador’ lalu merekam setiap aksinya dalam memberantas kejahatan. Trik ini terbukti berhasil sehingga kepercayaan publik berhasil didapatkan, popularitas Elastigirl mendadak menjulang, dan Mr. Incredible pun terpaksa menggantikan posisi sang istri untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, keadaan lagi-lagi tak berjalan sesuai rencana ketika Elastigirl mesti berhadapan dengan seorang penjahat dengan motif dipertanyakan bernama Screenslaver.


Menonton Incredibles 2 di laya bioskop kala libur panjang ternyata sungguhlah pilihan tepat. Sedari menit pertama, Brad Bird telah mengondisikan penonton untuk bersemangat, tergelak-gelak, hingga berdebar-debar di kursi bioskop. Bagi saya yang kebetulan sedang membutuhkan hiburan untuk menghempaskan kepenatan dari pikiran, apa yang ditawarkan oleh Incredibles 2 jelas lebih dari cukup. Laganya seruuu, humornya pun lucuuu. Menengok produk akhirnya yang sanggup membuat hati bergembira, penantian para penggemar selama belasan tahun (intermezzo; saya ingat betul menyaksikan instalmen pertamanya di Tunjungan 21 saat masih bocah) tentu tidaklah sia-sia. Kesenangan yang telah terbentuk sedari menit pembuka yang berlangsung gegap gempita kala menampilkan aksi keluarga Parr beserta Frozone (Samuel L. Jackson, si Nick Fury) dalam menghentikan Underminer, mampu terjaga secara stabil hingga babak pamungkasnya yang akan membuat klimaks dari sejumlah film superhero terlihat cupu. Sosok antagonis dalam jilid ini memang tidak terlampau mengancam yang membuat barisan karakternya bertekuk lutut dan motif kejahatannya pun klasik – bisa dimengerti mengingat bagaimanapun juga, Incredibles 2 mesti menghibur penonton cilik – akan tetapi si pembuat film mengompensasinya bagi penonton dewasa dengan serentetan sekuens laga yang tidak sedikit diantaranya membuat saya berdebar-debar, materi ngelaba yang jitu dalam menggelitik saraf tawa, hingga jalinan pengisahan yang mengikat meski tergolong berat untuk ukuran film keluarga. 

Keberadaan humor dalam Incredibles 2 menjadi pelengkap yang sangat baik bagi serentetan sekuens laganya. Elemen komedik mengambil tongkat estafet dari elemen laga ketika film tidak sedang menyoroti sepak terjang Elastigirl yang (tentu saja) menyumbang sebagian momen aksi di Incredibles 2. Dengan kata lain, kamu bisa menemukannya saat sorotan beralih ke Mr. Incredible atau Bob yang kelimpungan dalam mengurus anak-anaknya. Bob mesti membantu Violet yang sedang kesengsem kepada salah satu laki-laki di sekolahnya yang apesnya tidak bisa mengingat siapa Violet karena satu dan lain hal, lalu membantu Dash yang kesulitan mengerjakan tugas-tugas matematika, hingga mencari solusi untuk mengontrol kekuatan Jack-Jack yang mengerikan. Aksi heroik Bob dalam menjalankan tugasnya sebagai Ayah Rumah Tangga ini tidak saja mengundang gelak tawa heboh yang salah dua momennya dipersembahkan oleh adegan pertarungan antara Jack-Jack dengan seekor rakun di halaman belakang rumah yang pecah sekali (Rocket Raccoon, is that you?) dan pertemuan singkat dengan desainer langganan keluarga, Edna Mode (Brad Bird), tetapi juga memberi kehangatan pada hati sekalipun tonjokkan emosinya tidak sekuat, katakanlah, Coco (2017).


Seperti halnya instalmen pertama, disamping memberi hiburan dalam bentuk pertarungan dan lawakan, Incredibles 2 turut menghadirkan guliran penceritaan menarik yang didalamnya mengandung komentar-komentar sosial yang relevan dengan situasi terkini. Isu yang dibicarakannya sekali ini berkaitan dengan women empowerment, pembagian peran dalam sektor rumah tangga, prasangka, keegoisan pemerintah, sampai ketergantungan terhadap teknologi. Walau kedengarannya berpotensi bikin dahi mengernyit, Brad Bird sanggup menyampaikannya secara lancar dan ringan tanpa mengurangi esensinya barang sedikitpun. Bagus! 

Note : Saat hendak menonton Incredibles 2, pastikan untuk tidak terlambat memasuki ruang pemutaran. Ada sebuah film pendek berjudul Bao sebelum film utama yang akan membuatmu ingin memberikan pelukan hangat kepada ibu tercinta. Kalau ini, buagus!

Outstanding (4/5)

Selasa, 20 Maret 2018

REVIEW : A WRINKLE IN TIME

REVIEW : A WRINKLE IN TIME


“You’re going to be tested every step of the way. Have faith in who you are.” 

Tidak ada yang menyalahkanmu apabila menaruh minat untuk menyaksikan A Wrinkle in Time di layar lebar. Siapa sih tidak tergoda saat bintang-bintang besar seperti Oprah Winfrey, Reese Witherspoon, sampai Chris Pine beradu akting dalam satu film yang materi penceritaannya diadaptasi dari literatur klasik rekaan Madeleine L'Engle? Menariknya lagi, film ini diproduksi oleh Walt Disney Pictures, mengambil jalur fiksi ilmiah, dan dikemas sebagai tontonan keluarga. Entah dengan kalian, namun saya memiliki ‘titik lemah’ terhadap film keluarga keluaran Disney sehingga nyaris tidak pernah sanggup untuk menolaknya (meski tidak jarang pula ini berakhir dengan kekecewaan). A Wrinkle in Time yang ditangani oleh pegiat sinema Ava DuVernay (Selma, 13th) pun terlihat telah mengantongi sejumlah syarat yang memungkinkannya untuk menjadi tontonan baik menengok jejak rekam siapa-siapa yang terlibat. Di atas kertas, satu-satunya tantangan yang mesti ditaklukkan film ini adalah mentransformasikan materi sumbernya yang konon kerap disebut “sulit difilmkan” ke bahasa gambar. Dibawah pengarahan sutradara terampil, tantangan ini sebetulnya bisa jadi perkara sepele – tengok saja Life of Pi garapan Ang Lee. Akan tetapi bagi sutradara yang kurang lihai bercerita, belum lagi masih gagap menangani film bujet besar, tantangan ini jelas sebuah masalah besar. Dan sayang beribu sayang untuk A Wrinkle in Time, Ava DuVernay tergolong ke dalam sutradara jenis kedua yang tidak mahir menyampaikan kisah kepada penonton. 

Karakter utama yang mesti kita beri perhatian lebih dalam A Wrinkle in Time adalah seorang remaja perempuan dengan otak encer bernama Meg Murry (Storm Reid). Sebelum memutuskan untuk mengisolasi diri dari pergaulan dan memasang muka masam sepanjang waktu yang membuatnya mengalami perisakan, Meg memiliki pribadi yang ceria serta tergolong siswi teladan di sekolahnya. Perubahan karakteristik yang sangat bertolak belakang ini disebabkan oleh menghilangnya sang ayah, Dr. Alexander Murry (Chris Pine), dalam misi memperbaiki alam semesta. Alex yang menaruh minat terhadap astrofisika, ditengarai telah menemukan tesseract – sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu – dan kini tersesat di dimensi lain. Mencoba untuk percaya bahwa sang ayah masih hidup, Meg akhirnya perlahan tapi pasti kehilangan kepercayaannya setelah selama empat tahun tak kunjung mendapat kejelasan. Upaya Meg dalam menekan rasa duka atas kehilangan lantas mengubahnya menjadi pribadi bermasalah dan terpinggirkan. Satu-satunya siswa yang bersedia menjalin ikatan pertemanan dengannya adalah Calvin (Levi Miller). Kehidupan Meg yang kacau balau ini mulai menjumpai titik terangnya tatkala adik angkatnya, Charles Wallace (Deric McCabe), memperkenalkannya kepada tiga perempuan misterius; Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy Kaling), yang belakangan diketahui sebagai pelancong astral. Melalui mereka, Meg mendapati fakta bahwa ayahnya masih hidup dan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkannya adalah Meg sendiri.


Berkaca pada sinopsis di atas maupun materi promosi yang telah digeber selama ini – terutama trailer, mudah untuk mengira bahwa A Wrinkle in Time adalah gelaran petualangan fiksi ilmiah tulen yang bisa dikudap beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga di waktu senggang. Jika kamu memiliki ekspektasi semacam ini, dan berharap film dapat membuatmu terhibur, saya menyarankan untuk cepat-cepat menghempaskannya. Karena kenyataan yang ada, A Wrinkle in Time cenderung lebih menyerupai film pengembangan diri ketimbang film eskapisme. Tentu bukan menjadi soal sama sekali tatkala film berusaha untuk menyampaikan pesan mengenai kekuatan cinta, penerimaan diri, dan berdamai dengan kehilangan. Dalam penanganan yang tepat, pesan-pesan klise semacam ini dapat menyentuh hati sekaligus menginspirasi penonton. Masalahnya, Ava DuVernay berusaha terlalu keras agar pesan tersebut dapat mengena sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa filmnya ini terasa begitu palsu. Dipaksakan. Dialog luar biasa ceriwisnya yang tidak jauh-jauh dari “kamu harus tetap menjadi dirimu sendiri!” atau “kamu itu penuh bakat!” muncul secara terus menerus seakan tidak tahu kapan harus berhenti. Alhasil, daun telinga serasa mau rontok saking capeknya mendengar pengulangan pesan. Ini mungkin tidak akan terdengar seburuk itu apabila A Wrinkle in Time memiliki guliran pengisahan mengikat maupun parade akting mumpuni yang memungkinkan kita seolah terlibat ke dalam film (ingat The Help?). Masalahnya (lagi! Film ini benar-benar penuh masalah!), dua-duanya tidak bisa kamu jumpai di sini. 

Ya, disamping dialog bak dilontarkan oleh motivator kelas teri, A Wrinkle in Time terasa sangat melelahkan untuk disimak lantaran penuturannya yang lambat dan hambar. Penonton cilik mungkin akan terkantuk-kantuk begitu mendapati laju film nyaris tak bergerak selama setengah jam awal, sedangkan penonton dewasa bakal garuk-garuk kepala ditengah-tengah upaya memahami kemauan si pembuat film sampai kemudian tiba pada kesimpulan: A Wrinkle in Time ini sungguh film yang pretensius. Berbicara kesana kemari, mengutarakan istilah-istilah rumit, hanya demi menegaskan tentang kekuatan cinta? Oh, come on! Ketimbang fokus pada “cara membuat film agar kelihatan pintar”, DuVernay semestinya lebih fokus pada “cara mempermainkan emosi penonton” karena A Wrinkle in Time hampir tidak mempunyainya yang sedikit banyak menyulitkan kita untuk menjalin ikatan kepedulian dengan karakter-karakternya. Terlebih lagi, barisan pemainnya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Storm Reid sebagai remaja bermasalah dan Deric McCabe sebagai adik angkat yang jenius memang menyumbangkan lakon apik ditengah segala keterbatasan yang melingkungi, akan tetapi trio Oprah Winfrey-Reese Witherspoon-Mindy Kaling terlihat begitu kikuk sampai-sampai berulang kali memunculkan ‘awkward moment’ tanpa disengaja. Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan? Menengok gelontoran bujet yang tidak main-main, jawaban dari tanya tersebut adalah visual. Itupun jangan diharapkan banyak-banyak karena tidak jarang visualnya hanya sedikit lebih baik dari pemandangan di screensaver.


Poor (2/5)

Sabtu, 02 Desember 2017

REVIEW : COCO

REVIEW : COCO


“Never forget how much your family loves you.” 

Melalui Inside Out (2015) yang amat inovatif baik dari sisi cerita maupun visual dan Finding Dory (2016) juga bisa dikatakan sebagai sekuel yang baik, Pixar membuktikan bahwa mereka masih mempunyai sentuhan magis. Namun kehadiran The Good Dinosaur (2016) dan Cars 3 (2017) yang kurang mampu memenuhi ekspektasi – untuk ukuran film kreasi Pixar, keduanya terhitung medioker – lagi-lagi menyurutkan harapan bahwa studio animasi terbesar di dunia ini masih bisa diandalkan. Apakah mungkin keajaiban ide dan presentasi yang ditawarkan oleh Inside Out bukan sebatas keberuntungan belaka? Bisa jadi memang sebatas keberuntungan. Itulah mengapa saya tidak terlalu meyakini produk terbaru mereka, Coco, yang guliran kisahnya didasarkan pada perayaan tahunan di Meksiko, Dia de Muertos (pada hari ini dipercaya mereka yang sudah tiada kembali ke dunia untuk mengunjungi sanak saudara yang masih hidup), sekaligus sedikit banyak mengingatkan ke The Book of Life (2014) yang mempunyai fondasi kisah senada. Jika ada yang kemudian membuat hati ini tergerak untuk menyimak Coco, maka itu adalah rasa ingin tahu terhadap bagaimana Pixar bermain-main dengan kultur Meksiko serta keterlibatan Lee Unkrich (sutradara film favorit saya, Toy Story 3) di kursi penyutradaraan. Memboyong sikap skeptisisme ke dalam gedung bioskop, tanpa disangka-sangka saya mendapatkan kejutan sangat manis dari Coco

Karakter utama dalam Coco adalah seorang bocah berusia 12 tahun bernama Miguel Rivera (Anthony Gonzalez) yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga pembuat sepatu serta mengharamkan permainan musik secara turun temurun. Larangan bermusik ini mencuat usai nenek canggah Miguel yang telah dikaruniai seorang putri bernama Coco (Ana Ofelia Murguia) ditelantarkan begitu saja oleh sang suami yang pergi berkelana demi menggapai mimpinya sebagai seorang musisi. Alhasil, Miguel yang memiliki bakat besar dalam hal memainkan alat musik serta berdendang ria pun mau tak mau mesti menjalani passion-nya ini secara sembunyi-sembunyi dan tidak pernah mengetahui identitas sebenarnya dari sang kakek canggah yang telah dihempaskan dari silsilah keluarga. Konflik internal dalam keluarga Rivera ini mencapai puncaknya pada perayaan Dia de Muertos kala Miguel mencoba untuk membuktikan kepada anggota keluarganya bahwa tidak ada yang salah dengan musik dan dia berupaya untuk berpartisipasi dalam kompetisi lokal. Keputusan Miguel yang membuat berang sang nenek (Renee Victor) sampai-sampai gitar miliknya dipatahkan ini membawa si bocah pada tindakan nekat, yakni mengambil gitar milik penyanyi legendaris Ernesto de la Cruz (Benjamin Bratt) di makamnya. Tindakan nekat tersebut seketika menghantarkan Miguel memasuki Dunia Orang Mati dan mempertemukannya dengan para leluhurnya.


Dibandingkan rekan-rekan sejawatnya sesama pembuat film animasi, Pixar memang bisa dibilang berada di level yang berbeda terutama dalam kaitannya memperhatikan detil-detil rumit dalam pembuatan animasinya sehingga terlihat amat nyata di mata penonton. Tengok saja bagaimana mereka mengkreasi helai bulu Sulley dalam Monsters University (2013), ekosistem bahari pada Finding Dory, atau beragam jenis mobil di Cars 3. Menakjubkan. Coco sebagai rilisan terbaru mereka pun tidak jauh berbeda. Sedari menit-menit pembuka, Coco telah membuat diri ini terperangah dengan keajaiban visualnya yang tergarap mendetail. Penggambaran sudut-sudut desa yang menjadi kampung halaman keluarga Rivera terlihat seperti dicuplik dari rekaman gambar yang diambil langsung di lokasi ketimbang rekaan para animator menggunakan komputer, kerutan-kerutan yang menghiasi kulit wajah nenek Coco, potongan adegan film klasik yang dibintangi Ernesto di televisi, sampai kelenturan jari jemari Miguel kala memetik senar gitar. Ini semua diperoleh, bahkan sebelum si protagonis menjejakkan kaki di Dunia Orang Mati yang menghadirkan tampilan visual yang lebih gila dan inovatif. Sulit untuk tidak berdecak kagum saat kamu melihat apa yang bisa diperbuat oleh para tengkorak dalam gerak langkahnya dan panorama penuh warna yang ditawarkan di Dunia Orang Mati. 

Bagusnya, Coco enggan untuk mengorbankan guliran pengisahannya demi mencapai visual yang berada di kelas premium itu. Racikan kisah dari Unkrich dan Adrian Molina yang mengusung tema utama seputar kematian serta keluarga dengan pendekatan yang cenderung riang (sehingga bisa dikudap oleh penonton cilik) sanggup menempatkan penonton Coco dalam tiga fase emosi seperti bersemangat, tertawa, hingga tersedu-sedu. Tiga fase emosi yang sukar dijumpai saat menyaksikan The Good Dinosaur maupun Cars 3 tempo hari. Fase bersemangat dipantik oleh guliran kisah petualangan Miguel menyusuri Dunia Orang Mati demi menjumpai sang idola, Ernesto, dan upaya para leluhurnya untuk membawanya pulang ke Dunia Orang Hidup yang dipenuhi lika-liku dalam prosesnya. Fase tertawa muncul berkat humor-humor kocak yang menyertai perjalanan Miguel, terutama dari Hector (Gael Garcia Bernal) yang membantunya melacak keberadaan Ernesto. Dan fase tersedu-sedu bersumber dari pesan klasik namun tetap relevan yang disodorkan oleh Coco; tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain keluarga. Bangunan karakter yang mudah untuk diberikan simpati (penonton secara sukarela memberi dukungan penuh kepada Miguel untuk menggapai mimpinya) membuat setiap emosi yang tersemat dalam sejumlah momen dapat tersalurkan seperti semestinya. Kemampuan Coco untuk memanjakan mata penonton melalui visual dan membuai hati melalui tuturan kisahnya ini menjadi bukti bahwa Pixar memang masih belum kehilangan sentuhan magisnya sama sekali. Warbiyasak!

Note : Jangan datang terlambat karena sebelum film dimulai, terdapat sebuah film pendek bertema Natal yang menampilkan karakter-karakter dari Frozen berjudul Olaf's Frozen Adventure.

Outstanding (4/5)


Jumat, 11 Agustus 2017

REVIEW : RAFATHAR

REVIEW : RAFATHAR


“Ini bukan bayi biasa. Ini bayi mutan, Bos.” 

Ada satu film keluarga dari era 90-an yang rutin ditayangkan beberapa bulan sekali oleh salah satu televisi swasta tanah air berjudul Baby’s Day Out (1994). Dalam film tersebut, kita melihat serentetan kekonyolan yang dialami sejumlah pelaku tindak kriminal akibat dipecundangi seorang bayi yang mereka culik dari keluarga kaya. Guliran penceritaan kurang lebih senada bisa dijumpai pula dalam film laga berbumbu komedi Rob-B-Hood (2006) yang dibintangi Jackie Chan dan film komedi romantis Demi Cinta (2017), produksi MNC Pictures dimana para penculik malah dibuat jatuh hati kepada si bayi. Dari ketiga film tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa pekerjaan menculik bayi dalam film fiktif yang sepintas tampak sangat mudah dieksekusi rupanya jauh lebih memusingkan dari yang perkirakan. Percobaan terbaru dalam menjalankan misi ‘menculik bayi’ dilakukan oleh Raffi Ahmad dan Nagita Slavina dalam Rafathar (2017) yang konon dibuat sebagai kado ulang tahun bagi putra tercinta mereka, Rafathar Malik Ahmad. Bekerjasama dengan Umbara bersaudara; Bounty sebagai sutradara sementara Anggy di kursi produser, Rafathar dikreasi sebagai film laga komedi yang diharapkan mampu menghibur seluruh anggota keluarga. Berhasilkah? 

Rafathar berkisah mengenai sepasang perampok profesional bernama Jonny Gold (Raffi Ahmad) dan Popo Palupi (Babe Cabita) yang ditugaskan oleh atasannya, Bos Viktor (Agus Kuncoro), untuk menculik seorang bayi, Rafathar (Rafathar Malik Ahmad), yang diadopsi oleh pasangan kaya, Mila (Nur Fazura) dan Bondan (Arie Untung). Seperti halnya para penculik di film-film yang telah disebutkan di atas, Jonny beserta Popo pun menganggap sepele tugas ini. Apa sih yang mungkin merepotkan dari menculik bayi? Yang tidak mereka antisipasi, Rafathar adalah bayi yang amat aktif serta mempunyai kekuatan telekinetik yang memungkinkannya mengendalikan logam dengan mudah. Alhasil, Jonny dan Popo kelimpungan dalam menangani Rafathar. Ini masih belum ditambah mereka harus menghadapi kejaran dari Detektif Julie (Nagita Slavina) yang dipercaya orang tua angkat Rafathar untuk mengusut tuntas kasus penculikan sang buah hati ini dan Kolonel Demon (Verdi Solaiman) yang menyimpan agenda terselubung dibalik niatnya membantu Mila beserta Julie dalam menemukan Rafathar. Ditengah-tengah segala kekacauan, perlahan tapi pasti Rafathar mulai mencuri hati kedua penculiknya sehingga Jonny dan Popo pun belakangan memutuskan untuk menyelamatkan Rafathar dari cengkraman Bos Viktor. 


Bagai mengombinasikan Baby’s Day Out dan Rob-B-Hood, Rafathar sejatinya terdengar menjanjikan di atas kertas. Konsepnya tergolong segar untuk ukuran film petualangan keluarga dari tanah air yang acapkali bercerita tentang petualangan para bocah di dalam hutan seolah-olah hanya itu yang bisa diceritakan. Namun besarnya potensi yang dimiliki oleh Rafathar pada akhirnya berakhir sebatas potensi saat beberapa persoalan menghalangi film produksi RNR Movies dan Umbara Brothers Film untuk berkembang lebih jauh. Persoalan terbesar pertama yang menghinggapi Rafathar adalah materi humornya yang (maaf beribu maaf) tidak lucu. Beberapa diantaranya memang masih bisa membuat saya menyunggingkan senyum terutama saat melibatkan Agus Kuncoro yang menggunakan banyak logat dan Babe Cabita yang bolak-balik amnesia, tapi sebagian besar diantaranya mempunyai daya bunuh yang lemah. Terasa mentah kala dilontarkan sampai-sampai bingung hendak bereaksi seperti apa. Mengingat secara fitrah Rafathar adalah sebuah film komedi, ketidaksanggupan dalam menghadirkan derai tawa jelas suatu masalah apalagi film ini banyak bergantung pada lawakan dan pemakaian CGI untuk mengalirkan kisah ketimbang mengandalkan kekuatan naskah serta akting pemain. Alhasil, film seringkali hampa dan hambar untuk diikuti sehingga durasi 90 menit pun terasa sangat panjang. 

Belum lagi, pemakaian CGI dalam Rafathar termasuk persoalan terbesar kedua yang menghinggapi film. Berulang kali muncul tanpa esensi jelas dan terlampau dipaksakan yang malah mengekspos kelemahannya. Tampak sangat kasar. Adegan ondel-ondel raksasa maupun mengejar-ngejar Rafathar yang berlangsung di dalam rumah, apartemen, sampai jalanan memang tergarap cukup baik. Tapi lain halnya saat kita membicarakan soal robot berwujud ATM dan kulkas serta klimaksnya yang membuat kepala berdenyut-denyut pusing. Apabila bujet dan waktu tidak memadai untuk memvisualisasikannya, bukankah lebih bijak jika adegan disederhanakan saja tanpa harus didorong-dorong agar tampil bombastis? Penggunaan CGI kurang matang sedari pertengahan hingga babak ketiga ini sejujurnya sangat mengganggu kekhidmatan menonton karena kita seolah-olah tengah menyaksikan film yang belum tuntas. Kekhidmatan menonton juga terganggu lantaran Rafathar berada di posisi serba tanggung. Mau menyasar penonton segala usia kok plotnya terlalu njelimet buat kanak-kanak dan humornya seringkali nyerempet. Namun di sisi lain, mau mengambil hati penonton usia belasan ke atas, terbentur oleh kombinasi antara plot kurang mengikat, kelakar garing, dan CGI kasar. Alhasil, (lagi-lagi) Rafathar seringkali hampa dan hambar untuk diikuti sehingga durasi 90 menit pun terasa sangat panjang. Sungguh sangat disayangkan. 

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_QZYd

Poor (2/5)


Selasa, 11 April 2017

REVIEW : THE BOSS BABY

REVIEW : THE BOSS BABY


“If I don’t succeed in this mission, I will live here forever with you!” 
“Okay, I will help you. But just to get rid of you.” 

Ada similaritas antara The Boss Baby dengan Storks (2016): bangunan konflik dua film animasi tersebut beranjak dari satu pertanyaan polos yang kerap diajukan oleh para bocah, “darimana sih asal muasal munculnya bayi?”. Jawaban fiktif paling kondang dilontarkan di kalangan orang tua negeri barat adalah dihantar seekor bangau putih. Storks mengamini dongeng bangau pengantar bayi tersebut, lalu memberinya sentuhan modern besar-besaran. Sementara The Boss Baby, mengkreasi versi berbeda untuk menjawab pertanyaan perihal asal muasal munculnya bayi. Animasi terbaru kepunyaan Dreamworks Animation selepas Trolls di penghujung tahun lalu yang dasar kisahnya disadur secara bebas dari buku cerita bergambar rilisan tahun 2010 berjudul sama rekaan Marla Frazee ini menyatakan bahwa bayi merupakan hasil produksi sebuah perusahaan. Bukan perusahaan biasa, tentu saja, mengingat korporasi khusus penghasil bayi bernama Baby Corp ini berbasis nun jauh di atas permukaan bumi – bisa dibilang, surga – dan karyawan-karyawan yang mendedikasikan waktu serta tenaganya di sana terdiri dari bayi-bayi menggemaskan dengan kemampuan selayaknya orang dewasa. What a twist, huh? 

Salah satu pekerja di Baby Corp adalah karakter utama dari film yang dipanggil The Boss Baby (disuarakan oleh Alec Baldwin). Sang karakter tituler dititahkan atasannya ke bumi untuk mencegah perusahaan penyedia anak-anak anjing lucu, Puppy Co., berekspansi menyusul direncanakannya peluncuran produk baru yang berpotensi menggerus kekuatan bisnis Baby Corp. Konon, menurut data statistik yang dimiliki perusahaan penghasil bayi tersebut, manusia dewasa masa kini lebih mendamba keberadaan anak anjing ketimbang bayi. Dengan misi menghentikan Puppy Co., The Boss Baby pun menyamar sebagai putra baru dari keluarga Templeton yang konfigurasinya tersusun atas Ted (Jimmy Kimmel), Janice (Lisa Kudrow), dan Tim (Miles Christopher Bakshi). Kedatangan The Boss Baby seketika menguarkan aroma mengancam bagi Tim yang mulanya adalah putra semata wayang. Betul saja, semenjak adanya ‘sang adik’, perhatian Ted beserta Janice kepada Tim berkurang cukup drastis. Tidak ada lagi lagu pengantar tidur, apalagi bermain bersama. Tim yang mencurigai gerak-gerik adik barunya sedari awal lantas menyusun rencana untuk membongkar kedoknya lalu menyingkirkannya. Permusuhan diantara kakak beradik ini pun tak lagi terelakkan.


Seperti halnya ketika menyaksikan Storks tahun lalu, The Boss Baby pun meninggalkan tiga macam rasa: takjub, hangat, dan bahagia. Takjub, karena Tom McGrath (trilogi Madagascar, Megamind) punya cara yang gila dan imajinatif untuk menciptakan sederet momen pemacu semangat sekaligus pemicu gelak tawa. Hangat, karena film menggelontorkan pesan mengenai keluarga yang mengena di hati. Dan bahagia, karena The Boss Baby sanggup mempermainkan emosi sedemikian rupa – dari tawa sampai tangis – sepanjang durasinya mengalun. Boleh dikata, inilah salah satu kejutan termanis dari Hollywood di kuartal awal tahun 2017. The Boss Baby melampaui ekspektasi dari penontonnya yang rasa-rasanya tidak sedikit diantaranya berharap hanya sekadar disodori visualisasi tingkah polah menggemaskan para bayi. Bahkan, daya pikat dari film telah mengemuka sedari film memulai langkah awalnya. Ada narasi mengikat dari Tobey Maguire selaku narator dan Tim dewasa yang mendeskripsikan bagaimana masa kecilnya yang bahagia serta sarat akan imajinasi meluap-luap. Ada pula hamparan pemandangan imut yang menyoroti bayi-bayi baru didandani oleh mesin untuk kemudian disortir: bergabung bersama perusahaan atau menjalani kehidupan normal sebagai bayi. The Boss Baby kian menarik buat diikuti ketika akhirnya si bayi datang (dengan cara yang menggelitik saraf tawa!), lalu mengontrol penuh keluarga Templeton. 

Kunci dari menit-menit berikutnya yang mengasyikkan adalah imajinasi tak terbatas dari si pembuat film. Tidak sekreatif maupun segila-gilaan Storks sih (siapapun yang punya gagasan soal wolfpack, dia jenius!), tetapi persebaran momen seru nan kocak di The Boss Baby lebih merata. Dengan kata lain, dapat dijumpai dengan mudah lewat beberapa titik. Beberapa yang cukup meninggalkan kesan mendalam lantaran efektif menciptakan ledakan tawa antara lain kejar-kejaran antara Tim dengan komplotan bayi-bayi di halaman belakang, mimpi buruk Tim yang memperlihatkan adiknya bertransformasi ke berbagai wujud, ‘keakraban’ Tim dengan si bos demi meyakinkan Ted dan Janice bahwa mereka telah akur, upaya kakak beradik ini menyelinap masuk ke dalam Puppy Co. guna mencuri berkas, sampai penuntasan misi di paruh akhir yang penuh “boom boom bang!” pula kekocakan. Keliaran imajinasi ini beruntung bisa mencapai potensinya berkat sumbangsih bagus dari departemen pengisi suara. Alec Baldwin merupakan pilihan tepat dalam menyuarakan karakter bayi yang lagaknya amat bossy – sedikit banyak mengingatkan pada sosok Stewie dari serial animasi Family Guy – dan membuat penonton gregetan sekaligus ingin memberi kasih sayang di waktu bersamaan. Lalu ada Miles Christopher Bakshi yang begitu energik. Bersama Baldwin, dia membentuk chemistry apik sehingga terciptanya ikatan persaudaraan diantara Tim dan The Boss Baby bisa dicecap dan ketika film berada di titik emosionalnya penonton pun dapat turut tersentuh.

Note : The Boss Baby mempunyai adegan tambahan di pertengahan dan ujung credit title. Lucu, tapi tidak memiliki signifikansi. Silahkan mau disimak atau ditinggal keluar. 

Exceeds Expectations (3,5/5)


Kamis, 23 Maret 2017

REVIEW : BEAUTY AND THE BEAST

REVIEW : BEAUTY AND THE BEAST


“Think of the one thing that you've always wanted. Now find it in your mind's eye and feel it in your heart.” 

Telah menjadi rahasia umum bahwa Disney telah mengakrabi kata ‘magis’ sedari lama. Tengok saja produk-produk animasi tradisionalnya dari generasi awal seperti Snow White and The Seven Dwarfs (1937) beserta kawan-kawannya maupun dari era keemasannya yang dimulai sedari The Little Mermaid (1989) sampai Tarzan (1999) – ini masih belum ditambah sejumlah judul live action dan animasi rekaan CGI yang juga ciamik. Visualisasinya tergurat indah membuat mata terbelalak, tuturan kisahnya meninggalkan rasa hangat yang menjalar manja di dada, dan rentetan nomor musikalnya terdengar renyah di telingga. Mudahnya, Disney mempunyai banyak koleksi film yang memaknai istilah “keajaiban sinema” atau ya, “magis” tadi. Salah satu judul yang tergabung di dalamnya yakni Beauty and the Beast (1991), sebuah film animasi penting yang merupakan interpretasi anyar dari dongeng Prancis klasik gubahan Jeanne-Marie Leprince de Beaumont. Mengapa dikata penting? Karena Beauty and the Beast semacam membukakan gerbang bagi genre animasi agar dapat berkompetisi di kategori utama Oscars, Best Picture. Disamping itu, film ini pun menandai pertama kalinya Disney mempersilahkan film animasinya diboyong ke panggung Broadway. Mempunyai cukup banyak catatan rekor membanggakan – belum ditambah lagu temanya yang legendaris itu – tentu tiada mengherankan jika lantas Beauty and the Beast dipilih untuk mengikuti jejak Cinderella dan The Jungle Book: diejawantahkan ke bentuk live action

Beauty and the Beast adalah dongeng romansa mengenai kisah cinta antara seorang perempuan ayu bernama Belle (Emma Watson) dengan seorang lelaki berparas buruk rupa akibat terkena kutukan yang dipanggil Beast (Dan Stevens). Belle tinggal di sebuah desa kecil bersama ayahnya, Maurice (Kevin Kline), sedangkan Beast menghuni kastil yang area sekitarnya senantiasa bersalju tak peduli apapun musimnya bersama pelayan-pelayan setianya yang berubah wujud menjadi perabotan rumah tangga. Satu-satunya cara bagi mereka untuk bisa kembali menjadi manusia atau dengan kata lain mematahkan kutukan adalah apabila ada cinta sejati hinggap ke sang majikan, Beast. Sayangnya, mengingat Beast jauh dari kata rupawan dan lokasi kastil yang amat sangat terpencil, mengharap datangnya asmara bagaikan pungguk merindukan bulan – suatu kemustahilan yang nyaris absolut. Nafas lega mulai berhembus ketika pada suatu hari, Belle menyerahkan dirinya secara sukarela kepada Beast untuk menggantikan posisi Maurice sebagai tahanan lantaran kepergok hendak mengambil bunga mawar di halaman kastil dalam perjalanan menuju ke kota. Beast menganggap apa yang dilakukan Belle adalah suatu kebodohan, namun para pelayannya justru melihat adanya harapan dari keberadaan Belle. Mungkinkah dia adalah seseorang yang akan membantu mematahkan kutukan? Membawa harapan tinggi, dipimpin oleh Lumiere (Ewan McGregor), para pelayan pun mengatur strategi agar kebencian yang menyelimuti hubungan Belle dan Beast perlahan tapi pasti tergantikan oleh hadirnya percikan-percikan asmara. 

Rasa-rasanya kebanyakan penonton Beauty and the Beast versi anyar tentu sudah familiar dengan jalinan penceritaan yang diusung film garapan Bill Condon (Dreamgirls, The Twilight Saga: Breaking Dawn) ini. Dongeng yang menjadi sumber asal film ini memang amat populer dan telah diceritakan berulang kali menggunakan beragam pendekatan – baik patuh hingga mendekonstruksinya – sampai-sampai sudah hampir tidak menyisakan celah untuk dibubuhi inovasi. Mungkin menyadari hal tersebut ditambah lagi versi animasi Disney rilisan 1991 yang dijadikan rujukan terbilang mahakarya, maka ya, Condon tidak kelewat lancang sehingga memberi banyak tambahan bahan kepada versi teranyar dari Beauty and the Beast ini. Dia memegang erat prinsip “if it ain’t broke, don’t fix it.” Tidak melenceng, tetapi juga tidak mirip sepenuhnya dengan materi kutipannya. Pembeda paling kentara, hubungan kedua karakter utama lebih dieksplor, begitu pula motivasi para pelayan untuk terbebas dari kutukan, dan beberapa lagu baru dimasukkan. Dampaknya durasi pun agak kebablasan memanjangnya walau tak terlalu jadi soal toh berhasil memberi kedalaman pada penceritaan dan paling penting, Beauty and the Beast penuhi segenap ekspektasi. Membuatku terperangah oleh kemegahan visualnya, terlarut dalam alunan melodinya, serta terpikat dengan permainan lakonnya. Atensi telah terbetot sedari adegan pelepas kutukan di gelaran pesta dansa pada awal mula yang berlangsung cukup singkat namun sama sekali tidak kekurangan intensitas. Nuansa kelam pula suram yang mencuat darinya lantas tergantikan oleh keriangan dalam nomor musikal dengan tata koreografi apik, “Belle”


Inilah titik lontar dari nomor-nomor musikal penghias film yang mayoritas merupakan pangkal dari terciptanya kemegahan visual yang dipunyai Beauty and the Beast – bisa dimengerti mengingat jejak rekam Condon kerap bersinggungan dengan film musikal seperti Chicago dan Dreamgirls. “Belle” adalah pemanasan sebelum menuju “Gaston” yang enerjik nan lucu serta “Be Our Guest” dengan visualisasi megah yang bikin geleng-geleng kepala sekaligus rahang menganga lebar-lebar. Mempunyai dampak hebat pada emosi, dua nomor musikal ini bisa dikata merupakan momen emas yang dipunyai oleh Beauty and the Beast. Dan oh, tentu saja tambahkan lagu tema film agar pas sebagai trio. Suara Emma Thompson sebagai Mrs. Potts memang tidak semenghanyutkan Angela Lansbury dari versi animasi kala mendendangkan lagu tema “Beauty and the Beast” untuk mengiringi dansa pertama kalinya Beast dengan Belle, tapi masih ada sebersit sisi magis mencuat dari adegan ikonik tersebut yang nyata sekali turut terangkat pula berkat tata kostum menawan (meski harus saya akui, efeknya tidak sehebat gaun biru bercahayanya Cinderella). Bukan semata-mata terbantu kinerja kolaborasi antara departemen kostum dengan musik, daya takjub yang dipunyai film juga bersumber dari sektor desain produksi yang mengkreasi setiap jengkal latar tempat secara indah, lalu disempurnakan oleh sektor efek khusus yang memungkinkan penonton meyakini bahwa apapun yang terpampang di layar nyata adanya, dan kian dipertangguh barisan pemain berlakon jitu. 

Konfigurasi pelakon pendukung adalah juaranya. Ewan McGregor bersama Emma Thompson, Ian McKellen (Cogsworth), serta Audra McDonald (Madame de Garderobe) dari sektor pelayan setia acapkali mencuri perhatian sekalipun jatah tampil memungkinkan mereka lebih sering berakting dari suara. Interaksi lekat diantara mereka memberi rasa hangat, sementara tingkah polah dan celetukan-celetukan mereka tak jarang mengundang gelak tawa renyah dari penonton. Dua pemain yang diposisikan sebagai antagonis, Luke Evans (Gaston) dan Josh Gad (LeFou), pun memperkuat dinamika film. Evans membuat sosok Gaston yang terobsesi ingin mempersunting Belle terlihat sungguh menjengkelkan tanpa harus kelewat karikatural – kita paham pemicu tabiat buruknya, dan Gad yang ekspresif membawa keceriaan lainnya sekaligus memperkuat karakter Gaston. Lantas, bagaimana dengan Emma Watson dan Dan Stevens? Mereka sama sekali tidak mengecewakan. Ya, ada kalanya air muka Emma Watson berasa datar di beberapa titik yang menyulitkan sosok Belle untuk bisa lebih hidup namun untungnya terbayarkan oleh kebolehannya dalam menaklukkan tantangan berolah vokal seperti halnya para pemain lain (kejutan manis dipersembahkan oleh Stevens saat melantunkan nomor “Evermore”) dan adanya senyawa-senyawa asmara yang bisa dicecap antara dirinya dengan Stevens. Paling tidak, emosi yang dibutuhkan film masih bisa dirasakan dan itu terbukti dari mata yang dibuat berkaca-kaca ketika Beauty and the Beast hendak tutup durasi.

Outstanding (4/5)


Minggu, 19 Februari 2017

REVIEW : THE LEGO BATMAN MOVIE

REVIEW : THE LEGO BATMAN MOVIE


“Wait a minute. Bruce Wayne is Batman... 's roommate?” 

Gelap, muram, serta depresif adalah citra Batman yang acapkali dimunculkan dalam film-film sang Manusia Kelelawar dewasa ini terutama sejak era Christopher Nolan. Tidak mengherankan jika kemudian cukup banyak khalayak ramai yang menaruh anggapan bahwa film yang melibatkan superhero kepunyaan DC Comics ini memang seharusnya dilingkungi kemuraman dan nestapa, sampai-sampai usai menontonnya justru tersisa perasaan murung alih-alih bahagia. Ugh. Apakah sungguh teramat mustahil untuk mengkreasi sebuah film Batman yang di dalamnya dipenuhi suka cita? Warner Bros. agaknya belum berani menjawab pertanyaan tersebut lewat instalmen resmi sang superhero (mungkin masih trauma dengan Batman & Robin? Who knows), namun mereka memiliki itikad baik untuk menjajalnya di The Lego Batman Moviespin-off dari film animasi The Lego Movie yang gesrek itu. Mengusung semangat dari semesta filmnya yang penuh warna, meriah, serta cenderung semau-mau gue, The Lego Batman Movie memberi perspektif menyegarkan dalam menuturkan kisah pahlawan dari Gotham City ini: bahwa Batman pun manusia biasa yang bisa berkelakar.

Jalinan pengisahan The Lego Batman Movie bermula dari upaya Batman (Will Arnett) dalam menuntaskan misi mencegah salah satu musuh abadinya, Joker (Zach Galifianakis), untuk meluluhlantakkan Gotham City. Dapat diterka dengan mudah, misi ini berjalan sukses seperti semestinya. Yang mungkin tidak kita antisipasi, ada drama mencuat diantara dua pihak dari kubu bersebrangan tersebut. Joker mengklaim dirinya sebagai musuh terbesar Batman, sementara sang Ksatria Kegelapan enggan mengakuinya. Mendengar jawaban “tidak” meluncur dari mulut Batman, sakit hati pun melanda Joker. Seperti layaknya seorang psikopat yang memperoleh penolakan, Joker merancang aksi balas dendam. Memanfaatkan momen pengumuman Barbara Gordon (Rosario Dawson) menjadi komisionaris polisi baru di Gotham, aksi dieksekusi. Tidak menciptakan kegaduhan, justru mengajak musuh-musuh Batman untuk menyerah bersama seakan ingin mengetes, “bagaimana ya perasaan Batman jika tidak ada lagi kejahatan yang harus diatasinya?.” Batman sendiri menyadari, ini merupakan awal mula dari rencana besar Joker demi menghancurkan Gotham. Dibantu oleh pelayan setianya, Alfred (Ralph Fiennes), beserta Barbara atau Batgirl dan Dick Grayson atau Robin (Michael Cera), Batman pun sekali lagi berupaya untuk menghentikan kegilaan Joker.


Pola yang diusung oleh The Lego Batman Movie sama persis dengan sesepuhnya. Kegilaan menyenangkan ditebar sebanyak mungkin, digenjot semaksimal mungkin, sedari detik pertama sampai film tutup durasi. Bahkan bersamaan dengan logo-logo studio yang mengalunnya perlahan sekali itu menampakkan wujudnya, banyolan telah dilontarkan. Banyolannya bernada ejekan menyentil dan inilah yang akan kamu dapatkan sepanjang film. Sasaran tembak si pembuat film beraneka macam, tidak sebatas pada semesta komik maupun film Batman itu sendiri dimulai dari era 40-an, 60-an, 90-an, hingga 2000-an mencakup Batman v Superman yang dihujani keripik pedas Maicih itu. Film juga ikutan ngenyek superhero dari studio sebelah (ehem, Marvel!), kemudian petinggi-petinggi studio, sampai film-film gede yang mempunyai karakter jahat legendaris (you name it!). Betul, lawakan-lawakan The Lego Batman Movie banyak mengandalkan pada referensi budaya populer. Apabila kamu bisa menangkap lemparan referensi si pembuat film, bersiaplah buat tertawa berderai-derai sepanjang 104 menit. Tapi kalaupun banyak yang meleset, tidak perlu risau karena film arahan Chris McKay ini masih menawarkan jalinan pengisahan yang imajinatif, seru, serta segar. 

Imajinatif lantaran menonton The Lego Batman Movie seperti melihat seorang bocah berimajinasi liar tengah asyik menciptakan dunianya sendiri yang mencampurbaurkan banyak elemen dalam permainan legonya, seru berkat alur cepatnya menghadirkan serentetan aksi menyenangkan selayaknya sebuah film superhero (hanya pembedanya, ini dalam format animasi), dan menyegarkan karena penonton memperoleh kesempatan didongengi kisah kepahlawan Batman menggunakan gaya bercerita yang cenderung berbeda. Tidak lagi bermuram durja, melainkan penuh kegembiraan. The Lego Batman Movie paham betul bagaimana caranya menempatkan diri. Tahu kapan saatnya berhura-hura dengan menampilkan sang karakter tituler dalam gaya slengean, tahu kapan saatnya harus serius yang menyumbangkan momen-momen menyentuh nan menghangatkan hati pada film. Serius disini tatkala film mengulik sisi rapuh dari Bruce Wayne/Batman seperti trauma masa lalu yang berujung ke kesendiriannya dan keengganannya mempunyai hubungan serius, sekaligus ketika menjalankan kewajibannya sebagai film untuk segala umur dengan menyempalkan pesan-pesan bermakna mengenai pentingnya keluarga, kepercayaan dan kerjasama. Hasilnya, sebuah paket hiburan keluarga yang komplit.

Outstanding (4/5)


Selasa, 07 Februari 2017

REVIEW : A DOG'S PURPOSE

REVIEW : A DOG'S PURPOSE


“I tried to make sense out of all the things I’d seen. Was there a point to this journey of life, and how did bacon fit in?” 

Banyak yang mengatakan, “anjing adalah sahabat terbaik manusia.” Mengingat saya lebih memilih kucing ketimbang anjing untuk dijadikan hewan peliharaan – karena satu dan lain hal, kebenarannya tidak bisa saya verifikasi. Tapi satu yang jelas ditengok dari kacamata awam saya, film mengenai anjing utamanya jika mengupas tuntas hubungan antara si hewan dengan majikannya, jarang sekali berakhir mengecewakan. Beberapa judul yang menjadi kesukaan secara personal, antara lain Air Bud (jilid pertama, bukan sekuel-sekuelnya), My Dog Skip, Marley & Me, serta paling sering dibicarakan oleh khalayak ramai, Hachi: A Dog’s Tale. Nah, sutradara dari judul terakhir disebut, Lasse Hallstrom, baru-baru ini melepas sebuah film anyar yang juga menempatkan anjing sebagai tokoh sentral dan didasarkan pada novel laris, A Dog’s Purpose. Sedikit membedakannya dengan beberapa film anjing yang telah disebut, ada elemen fantasi dicelupkan ke dalam A Dog’s Purpose. Kita bisa mendengar isi pikiran dari si anjing dan sosoknya pun diceritakan mampu bereinkarnasi berulang kali demi memenuhi satu tujuan hidup: membawa sang pemilik menemukan kebahagiannya. 

Merentangkan latar penceritaan dari era 1950-an hingga 2000-an, A Dog’s Purpose memperkenalkan kita kepada seekor anjing Golden Retriever bernama Bailey (disuarakan oleh si Olaf dari Frozen, Josh Gad). Persentuhan Bailey dengan dunia manusia dimulai secara resmi saat Ethan Montgomery (K.J. Apa) menyelamatkannya dari dehidrasi dan memutuskan untuk memeliharanya. Tidak butuh waktu lama bagi Bailey untuk menyesuaikan diri hidup ditengah-tengah keluarga Montgomery yang harmonis dan kepribadiannya yang periang memberikan warna tersendiri bagi setiap anggota keluarga, khususnya Ethan. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat akrab dan satu yang tidak dipahami oleh Bailey, manusia berubah seiring berjalannya waktu. Tiba-tiba hadir Hannah (Britt Robertson) di pelukan Ethan, ayah Ethan berubah menjadi alkoholik yang pemarah, lalu Ethan harus meninggalkan kampung halamannya demi mengenyam bangku kuliah. Belum sempat Bailey mencerna semua kegilaan ini serta tujuan hidupnya sebagai seekor anjing, ajal menjemputnya... dan semuanya kembali dari awal dengan majikan, ras, plus dekade berbeda! 

Gagasan A Dog’s Purpose jelas menggelitik. Perihal seekor anjing yang sanggup bereinkarnasi berkali-kali guna menguak makna dari eksistensinya. Terdengar sangat filosofis dan deep deep gimanaaa gitu, yah? Mempertanyakan tujuan kehidupan. Meski sepintas terkesan akan sedikit berat, Lasse Hallstrom tak lantas membebani penonton dengan lontaran dialog-dialog yang memerlukan perenungan mendalam untuk ditemukan maknanya mengingat bagaimanapun juga, A Dog’s Purpose adalah film keluarga yang ditujukan ke berbagai lapisan usia. Jawaban atas pertanyaan yang diajukan Bailey pun sederhana saja seperti kata-kata penghias kartu motivasi. Terlepas dari elemen fantasinya dimana si anjing berkelana ke beberapa dekade, sejatinya pola penceritaan A Dog’s Purpose tidak jauh berbeda dengan dog movies lainnya: dimulai oleh perjumpaan yang hangat, dilanjut ke fase persahabatan yang penuh dinamika timbul, dan ditutup oleh perpisahan merobek hati. Generik? Sebut apapun sesukamu, namun pola yang kemudian agak dibelokkan oleh si pembuat film guna mengakomodir tema reinkarnasinya ini masih tergolong efektif kala diaplikasikan dalam A Dog’s Purpose

Well, tema reinkarnasinya sendiri sekalipun menarik di satu sisi, nyatanya cukup mendistraksi di sisi lain. Melompat-lompat secara cepat – kecuali segmen Ethan di awal mula, membuat emosi penonton tak pernah terbentuk dengan sempurna. Buyar begitu saja lantaran film telah mengalihkan fokusnya. Ya, majikan Bailey yang lain; polisi duda, mahasiswi jomblo, serta pasangan miskin yang abusive, memang tak diberi porsi tampil memadai. Mereka ada sekadar untuk menguatkan keyakinan Bailey mengenai tujuan hidupnya di penghujung film sehingga selain Ethan, barisan karakter-karakter di film ini berbentuk satu dimensi. Tidak pernah lebih. Pun demikian, terlepas dari ketidakseimbangan ini, A Dog’s Purpose masih bekerja seperti seharusnya sebagai sebuah dog movies. Paling tidak, A Dog’s Purpose berhasil hadirkan tawa renyah akibat melihat tingkah enerjik Bailey yang kerap memicu kejadian-kejadian konyol, berikan rasa hangat yang muncul usai menyimak relasi akrab antara Bailey bersama majikan kesayangannya, Ethan – khususnya di paruh akhir yang sayang beribu sayang telah dibocorkan momen emasnya melalui trailer, dan pada akhirnya mengembangkan senyum begitu melangkahkan kaki ke luar bioskop. It’s a decent feel-good movie.

Acceptable (3/5)