Tampilkan postingan dengan label Poor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Poor. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : SAJEN

REVIEW : SAJEN


“Tiap orang yang bunuh diri di sini, pasti dikasih sajen.” 

Telah cukup lama rumah produksi Starvision tidak memproduksi film horor. Terakhir kali mereka bersentuhan dengan dunia memedi yakni melalui film dengan format omnibus bertajuk Hi5teria yang dilepas pada tahun 2012 silam. Sajen garapan Hanny Saputra – jejak rekam film horornya meliputi Mirror (2005) dan Dejavu: Ajian Puter Giling (2015) – menandai kembalinya Starvision ke ranah film seram setelah enam tahun terakhir memilih untuk fokus menghasilkan film bertemakan percintaan dan keluarga. Mengambil latar penceritaan di sebuah SMA swasta unggulan serta menampilkan barisan bintang-bintang muda bertampang rupawan yang masih segar seperti Amanda Manopo, Steffi Zamora, Angga Yunanda, Jeff Smith, serta Chantiq Schagerl, pada permukaannya Sajen memang sepintas tampak seperti “another Indonesian teen horror movie” yang gemar sekali mengambil lokasi teror di dua tempat: sekolah dan hutan belantara. Yang kemudian mengusik keingintahuan saya sehingga berniat mencicipi Sajen adalah tema yang diusungnya. Bukan sebatas ‘jangan masuki ruangan terlarang itu!’ atau ‘jangan langgar pantangan ini itu!’, film ini mencoba menguliti persoalan perundungan (bullying) yang memang marak terjadi di kalangan remaja berseragam putih abu-abu – bahkan belakangan merambah ke dunia maya. Perundungan menjadi cikal bakal munculnya sederet teror bernuansa supranatural yang menghiasi sepanjang durasi Sajen

Ya, perundungan yang terjadi dalam Sajen memang membawa korban jiwa. Penonton tidak pernah benar-benar diberi tahu identitas dari tiga korban pertama. Namun keberadaan tiga sajen di beberapa titik SMA Pelita Bangsa, yaitu toilet, perpustakaan, serta ruang komputer, menjadi semacam pengingat bahwa tragedi telah terjadi di sekolah ini selama beberapa kali. Keengganan pihak sekolah untuk mengusut tuntas kasus perundungan demi mempertahankan nama baik membuat arwah ketiga siswa tersebut tak tenang sehingga peristiwa-peristiwa seram masih kerap dijumpai. Alanda (Amanda Manopo), salah satu siswi paling berprestasi di SMA tersebut, menyadari penuh tentang hal ini dan berupaya untuk memutus rantai perundungan yang sekali ini dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora), Davi (Jeff Smith), beserta rekan-rekan satu geng mereka. Sayangnya, langkah Alanda ini tidak pernah mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan terdekatnya sehingga Alanda yang berjuang sendirian pun akhirnya terseret menjadi korban. Dalam satu malam, Alanda dijebak dengan alkohol yang menyebabkan dia mabuk, lalu tindak tanduknya selama mabuk ini direkam, dan disebarkan ke setiap siswa di sekolah. Video tersebut tak hanya mencemarkan nama baiknya tetapi juga berdampak pada hilangnya kesempatan Alanda untuk mendapatkan beasiswa. Tak tahan dengan penderitaan ini, Alanda memutuskan bunuh diri. Arwahnya yang dilingkupi kemarahan pun menciptakan gelombang teror yang lebih besar di SMA Pelita Bangsa. 


Sajen sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi tontonan yang menjanjikan. Di separuh awal durasi yang penampakannya hanya dihadirkan selintas lalu dan si pembuat film lebih banyak menekankan pada elemen drama yang menyoroti dampak perundungan, Sajen mampu tampil menggigit. Performa sangat baik dari Amanda Manopo sebagai siswi berprestasi yang tertindas membuat penonton dapat bersimpati kepadanya. Kita berharap misi Alanda untuk memberangus perundungan mencapai titik hasil, kita berharap dia berhasil menundukkan geng Bianca. Maka begitu kenyataan berkata lain, ada rasa pedih yang menggelayuti di dada. Dukungan akting tak kalah baiknya dari Nova Soraya sebagai sang ibu yang penuh duka (kehilangan suami dan anak semata wayang tercinta. Betapa pilunya!) membuat paruh awal ini terasa menyesakkan. Saking tak relanya kedua karakter ini ketiban apes, keinginan melihat datangnya momen-momen pembalasan dendam dari Alanda kepada rekan-rekannya di sekolah pun besar. Saya hanya ingin menyaksikan geng Bianca kena getahnya atas ulah mereka pada Alanda. Akan tetapi, semangat yang telah timbul dalam menanti apa yang akan dihadirkan oleh Hanny R Saputra beserta sang penulis skrip, Haqi Achmad, di sesi horor ini malah mendadak merontok begitu film telah menjejakkan diri pada ranah memedi secara resmi. Pemicunya, rentetan penampakan yang dihamparkan serampangan diiringi musik memekakkan telinga (masalah klasik!) ditambah tata rias hantu yang dikerjakan ala kadarnya, transisi antar adegan yang melompat-lompat tak karuan sehingga membuat sebagian adegan terasa tak berkesinambungan, dan akting sebagian besar pemain pendukung yang memprihatinkan. 

Saking memprihatinkannya, saya sampai tak kuasa menahan tawa berulang kali selama menyaksikannya. Tengok saja pada salah satu momen terepik dari film ini yang berlangsung di sebuah prom night. Alanda melampiaskan dendamnya bak Carrie White pada salah seorang siswi – termasuk melempar-lemparnya ke atas maupun ke samping – dan tak seorangpun (!) yang bereaksi melihat aktivitas gaib di depan mata ini. Mereka hanya berdiri mematung tanpa ekspresi seolah-olah apa yang mereka saksikan itu sesuatu yang sudah teramat sangat wajar. Jika ada yang menunjukkan reaksi, maka itu adalah saya yang melongo saking takjubnya dengan keberanian mereka yang luar biasa ini. Semestinya saya pun tidak usah setakjub itu karena ada satu momen dimana hantu Alanda merangkak ke luar dari televisi bak Sadako dengan maksud menakut-nakuti kepala sekolahnya yang berhati dingin, Bu Tanya (Minati Atmanegara), dan tanpa segan-segan, Bu Tanya mengusirnya begitu saja dengan cara melempar sebuah pensil (!) ke arah Alanda. Mengagumkan sekali, bukan? Saya cukup yakin bahwa salah satu persyaratan masuk di SMA Pelita Bangsa baik bagi siswa maupun staf mencakup poin, “Anda telah terbiasa berurusan dengan hal-hal mistis atau memiliki keberanian dalam mengadapi situasi supranatural.” Karena jika tidak, tentu mereka sudah panik tidak karuan saat menyaksikan empat hantu datang beriringan atau kepala nongol dari televisi, bukan? Gara-gara adegan ini, saya malah justru lebih merinding melihat para guru dan murid SMA Pelita Bangsa ketimbang hantu Alanda. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah alien berkedok manusia seperti dalam film Invasion of the Body Snatchers (1978) sehingga mustahil bagi mereka untuk memancarkan emosi. Bisa jadi, kan?

Poor (2/5)


REVIEW : TRUTH OR DARE

REVIEW : TRUTH OR DARE


“The game is real. Wherever you go, whatever you do it will find you.” 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah produksi Blumhouse Productions berhasil menancapkan kukunya menjadi salah satu nama yang patut diperhitungkan di sinema horor. Betapa tidak, mereka sanggup menghasilkan pundi-pundi dollar dari film seram yang memiliki high-concept dengan bujet seminim mungkin (tidak pernah lebih dari $10 juta!) dan kualitas yang sebagian besar diantaranya dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa sajian yang membawa mereka membumbung tinggi antara lain Paranormal Activity (2009), Insidious (2011), The Purge (2013), Split (2017), sampai Get Out (2017) yang berjaya di panggung Oscar. Menyadari penuh bahwa formula ini terbukti berhasil, tentu tidak mengejutkan jika persembahan terbaru dari Blumhouse, Truth or Dare, yang digarap oleh Jeff Wadlow (Kick-Ass 2), masih menerapkan formula serupa. Premis yang diajukan sekali ini adalah “bagaimana jika permainan ‘jujur atau tantangan’ dibawa ke level lebih tinggi dengan konsekuensi berupa kematian apabila si pemain gagal menyelesaikan permainan?”. Harus diakui ini terdengar agak menggelikan sih, tapi di waktu bersamaan juga menggelitik rasa penasaran. Lebih-lebih trailer Truth or Dare yang dikemas begitu meyakinkan seolah-olah ini tontonan seram yang mengasyikkan semakin membuat hati ini sulit menampik godaan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah mungkin Truth or Dare dengan premis konyolnya ini mampu tersaji seru atau malah justru berakhir blunder? 

Truth or Dare sendiri mengawali penceritaannya dengan perjalanan enam sahabat; Olivia (Lucy Hale), Markie (Violett Beane), Lucas (Tyler Posey), Brad (Hayden Szeto), Tyson (Nolan Gerard Funk), dan Penelope (Sophia Ali), ke Meksiko untuk merayakan libur musim semi. Berbagai macam kegilaan anak muda khas film horor mereka lakukan sepanjang liburan seperti berpesta semalam suntuk, berhubungan seks, menenggak alkohol… you name it. Kegilaan ini kian tak bisa dipahami akal sehat saat mereka memutuskan untuk mengikuti ajakan seorang laki-laki yang baru dikenal Olivia di bar bernama Carter (Landon Liboirion) ke sebuah reruntuhan gereja. Di sana, mereka bermain ‘jujur atau tantangan’ yang secara cepat berubah menjadi canggung tatkala rahasia salah satu dari mereka tersentil. Suasana yang telah serba tidak mengenakkan ini kian bertambah parah tatkala Carter mengungkap tujuan utamanya membawa mereka ke tempat ini. Ternyata oh ternyata, permainan ‘jujur atau tantangan’ yang mereka mainkan ini tidak sesederhana tampaknya karena ada keterlibatan iblis didalamnya. Alhasil satu demi satu personil pun dihadapkan pada permainan ‘jujur atau tantangan’ versi supranatural sekembalinya mereka ke Amerika Serikat pada waktu dan tempat tak terduga dari seseorang (atau sejumlah orang) dengan seringai aneh menyerupai filter Snapchat yang buruk. Aturannya sederhana saja: tunaikan permainan tersebut hingga tuntas karena jika kamu gagal melaksanakannya… ajal akan dengan senang hati menjemputmu.


Untuk beberapa saat, Truth or Dare tampak seperti versi duplikat dari rangkaian film Final Destination. Sejumlah remaja berusaha mencurangi kematian yang mengejar mereka dengan urutan sesuai giliran mereka bermain ‘jujur atau tantangan’. Dari lubuk hati yang terdalam, saya pribadi sih berharap Truth or Dare akan menempuh jalur yang sama karena Final Destination termasuk tontonan seram yang seru (yaaa… setidaknya untuk tiga seri pertama) dengan penggambaran ‘cara untuk tewas’ yang kreatif. Akan tetapi, usai adegan pembukaan di sebuah pom bensin yang membangkitkan semangat untuk mengudap habis film ini, lalu dilanjut dengan kematian pertama yang melibatkan meja biliar, dan tantangan menyusuri pinggiran genteng seraya menenggak alkohol yang mendebarkan, perlahan tapi pasti Truth or Dare terasa seperti kehilangan arah dan kebingungan dalam mengembangkan premis miliknya. Berdasarkan premis yang diusung, Truth or Dare sebetulnya berpotensi bagus apabila: 

1) sadar diri bahwa premisnya memang menggelikan sehingga tidak ada upaya untuk menggulirkan kisah yang sok serius dan lebih memilih untuk menertawakan diri sendiri dengan menghadirkan eksekusi serba over the top 
2) memiliki aturan main yang jelas – tidak seenaknya diubah-ubah sampai bikin otak ini keriting memikirkannya, serta 
3) menghindari main aman dengan bersedia merangkul rating R (17 tahun ke atas) karena materinya yang membutuhkan pertaruhan akan kesulitan mencapai potensinya jika film enggan untuk menampilkan kekerasan dalam level cukup tinggi. 

Sayangnya, pihak pembuat film kekeuh mempertahankan Truth or Dare untuk tetap bermain-main di ranah horor dengan rating PG-13. Jeff Wadlow beserta tiga rekan penulis skrip malah memilih untuk menyisipi Truth or Dare dengan isu-isu berat tak perlu seperti homoseksual, bunuh diri, serta pelecehan seksual yang justru membuat film ini penuh sesak sekaligus tampak seperti salah satu episode sinetron percintaan remaja terlebih ada pula konflik mengenai pertikaian antar sahabat karena rebutan cowok. Ingin rasanya ku mengucap istighfar! Sederet isu ini sebetulnya memiliki potensi menjadi bumbu taburan yang mengikat apabila: 

1) premis yang diusung Truth or Dare tidak kelewat menggelikan untuk dibawa serius, serta 
2) ada perkembangan karakter mumpuni yang membuat penonton memahami lalu peduli terhadap masing-masing karakter. 


Tapi kenyataannya kan tidak demikian. Premisnya konyol dan karakter di film ini tak lebih dari sekumpulan stereotip karakter dalam film horor yang dangkal. Alhasil, selama separuh akhir, Truth or Dare tak saja menjelma menjadi FTV bertajuk “Aku Jatuh Cinta Pada Kekasih Sahabatku” tetapi juga ketoprak lantaran setiap tindakan para karakternya mengundang gelak tawa tak disengaja (ehem, mencari solusi dari Google dan Facebook? Dasar generasi milenial!). Mengingat rating PG-13 membatasi film untuk tampil liar; adegan pencabutan nyawa yang monoton dengan sebagian besar hanya menggunakan pistol dan tantangan yang makin lama justru makin drama (serius, ini setan sepertinya gemar nonton reality show atau sinetron deh!), maka daya tarik yang tersisa dari film ini adalah kekonyolannya yang tak berkesudahan dan Lucy Hale yang rupawan. Aktingnya? Ah lupakan saja.

Poor (2/5)

Selasa, 20 Maret 2018

REVIEW : A WRINKLE IN TIME

REVIEW : A WRINKLE IN TIME


“You’re going to be tested every step of the way. Have faith in who you are.” 

Tidak ada yang menyalahkanmu apabila menaruh minat untuk menyaksikan A Wrinkle in Time di layar lebar. Siapa sih tidak tergoda saat bintang-bintang besar seperti Oprah Winfrey, Reese Witherspoon, sampai Chris Pine beradu akting dalam satu film yang materi penceritaannya diadaptasi dari literatur klasik rekaan Madeleine L'Engle? Menariknya lagi, film ini diproduksi oleh Walt Disney Pictures, mengambil jalur fiksi ilmiah, dan dikemas sebagai tontonan keluarga. Entah dengan kalian, namun saya memiliki ‘titik lemah’ terhadap film keluarga keluaran Disney sehingga nyaris tidak pernah sanggup untuk menolaknya (meski tidak jarang pula ini berakhir dengan kekecewaan). A Wrinkle in Time yang ditangani oleh pegiat sinema Ava DuVernay (Selma, 13th) pun terlihat telah mengantongi sejumlah syarat yang memungkinkannya untuk menjadi tontonan baik menengok jejak rekam siapa-siapa yang terlibat. Di atas kertas, satu-satunya tantangan yang mesti ditaklukkan film ini adalah mentransformasikan materi sumbernya yang konon kerap disebut “sulit difilmkan” ke bahasa gambar. Dibawah pengarahan sutradara terampil, tantangan ini sebetulnya bisa jadi perkara sepele – tengok saja Life of Pi garapan Ang Lee. Akan tetapi bagi sutradara yang kurang lihai bercerita, belum lagi masih gagap menangani film bujet besar, tantangan ini jelas sebuah masalah besar. Dan sayang beribu sayang untuk A Wrinkle in Time, Ava DuVernay tergolong ke dalam sutradara jenis kedua yang tidak mahir menyampaikan kisah kepada penonton. 

Karakter utama yang mesti kita beri perhatian lebih dalam A Wrinkle in Time adalah seorang remaja perempuan dengan otak encer bernama Meg Murry (Storm Reid). Sebelum memutuskan untuk mengisolasi diri dari pergaulan dan memasang muka masam sepanjang waktu yang membuatnya mengalami perisakan, Meg memiliki pribadi yang ceria serta tergolong siswi teladan di sekolahnya. Perubahan karakteristik yang sangat bertolak belakang ini disebabkan oleh menghilangnya sang ayah, Dr. Alexander Murry (Chris Pine), dalam misi memperbaiki alam semesta. Alex yang menaruh minat terhadap astrofisika, ditengarai telah menemukan tesseract – sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu – dan kini tersesat di dimensi lain. Mencoba untuk percaya bahwa sang ayah masih hidup, Meg akhirnya perlahan tapi pasti kehilangan kepercayaannya setelah selama empat tahun tak kunjung mendapat kejelasan. Upaya Meg dalam menekan rasa duka atas kehilangan lantas mengubahnya menjadi pribadi bermasalah dan terpinggirkan. Satu-satunya siswa yang bersedia menjalin ikatan pertemanan dengannya adalah Calvin (Levi Miller). Kehidupan Meg yang kacau balau ini mulai menjumpai titik terangnya tatkala adik angkatnya, Charles Wallace (Deric McCabe), memperkenalkannya kepada tiga perempuan misterius; Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy Kaling), yang belakangan diketahui sebagai pelancong astral. Melalui mereka, Meg mendapati fakta bahwa ayahnya masih hidup dan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkannya adalah Meg sendiri.


Berkaca pada sinopsis di atas maupun materi promosi yang telah digeber selama ini – terutama trailer, mudah untuk mengira bahwa A Wrinkle in Time adalah gelaran petualangan fiksi ilmiah tulen yang bisa dikudap beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga di waktu senggang. Jika kamu memiliki ekspektasi semacam ini, dan berharap film dapat membuatmu terhibur, saya menyarankan untuk cepat-cepat menghempaskannya. Karena kenyataan yang ada, A Wrinkle in Time cenderung lebih menyerupai film pengembangan diri ketimbang film eskapisme. Tentu bukan menjadi soal sama sekali tatkala film berusaha untuk menyampaikan pesan mengenai kekuatan cinta, penerimaan diri, dan berdamai dengan kehilangan. Dalam penanganan yang tepat, pesan-pesan klise semacam ini dapat menyentuh hati sekaligus menginspirasi penonton. Masalahnya, Ava DuVernay berusaha terlalu keras agar pesan tersebut dapat mengena sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa filmnya ini terasa begitu palsu. Dipaksakan. Dialog luar biasa ceriwisnya yang tidak jauh-jauh dari “kamu harus tetap menjadi dirimu sendiri!” atau “kamu itu penuh bakat!” muncul secara terus menerus seakan tidak tahu kapan harus berhenti. Alhasil, daun telinga serasa mau rontok saking capeknya mendengar pengulangan pesan. Ini mungkin tidak akan terdengar seburuk itu apabila A Wrinkle in Time memiliki guliran pengisahan mengikat maupun parade akting mumpuni yang memungkinkan kita seolah terlibat ke dalam film (ingat The Help?). Masalahnya (lagi! Film ini benar-benar penuh masalah!), dua-duanya tidak bisa kamu jumpai di sini. 

Ya, disamping dialog bak dilontarkan oleh motivator kelas teri, A Wrinkle in Time terasa sangat melelahkan untuk disimak lantaran penuturannya yang lambat dan hambar. Penonton cilik mungkin akan terkantuk-kantuk begitu mendapati laju film nyaris tak bergerak selama setengah jam awal, sedangkan penonton dewasa bakal garuk-garuk kepala ditengah-tengah upaya memahami kemauan si pembuat film sampai kemudian tiba pada kesimpulan: A Wrinkle in Time ini sungguh film yang pretensius. Berbicara kesana kemari, mengutarakan istilah-istilah rumit, hanya demi menegaskan tentang kekuatan cinta? Oh, come on! Ketimbang fokus pada “cara membuat film agar kelihatan pintar”, DuVernay semestinya lebih fokus pada “cara mempermainkan emosi penonton” karena A Wrinkle in Time hampir tidak mempunyainya yang sedikit banyak menyulitkan kita untuk menjalin ikatan kepedulian dengan karakter-karakternya. Terlebih lagi, barisan pemainnya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Storm Reid sebagai remaja bermasalah dan Deric McCabe sebagai adik angkat yang jenius memang menyumbangkan lakon apik ditengah segala keterbatasan yang melingkungi, akan tetapi trio Oprah Winfrey-Reese Witherspoon-Mindy Kaling terlihat begitu kikuk sampai-sampai berulang kali memunculkan ‘awkward moment’ tanpa disengaja. Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan? Menengok gelontoran bujet yang tidak main-main, jawaban dari tanya tersebut adalah visual. Itupun jangan diharapkan banyak-banyak karena tidak jarang visualnya hanya sedikit lebih baik dari pemandangan di screensaver.


Poor (2/5)

Selasa, 06 Maret 2018

REVIEW : BENYAMIN BIANG KEROK

REVIEW : BENYAMIN BIANG KEROK


“Suruh mereka bikin akses khusus ke hapenya Pengki. Kalau gue kontak, dia kagak bisa reject. Kalau dia matiin, gue bisa hidupin!” 

Kesuksesan luar biasa yang direngkuh oleh Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (jilid pertamanya tercatat sebagai film Indonesia paling banyak ditonton sepanjang masa) ternyata menginspirasi Falcon Pictures selaku rumah produksi untuk sekali lagi ‘melestarikan’ karakter legendaris dalam perfilman Indonesia. Kali ini, pilihan mereka jatuh kepada karakter-karakter yang dimainkan oleh komedian sekaligus seniman kenamaan, mendiang Benyamin Sueb. Dua judul yang dipilih adalah Benyamin Biang Kerok (1972) dan Biang Kerok Beruntung (1973) garapan Nawi Ismail. Bukan berwujud remake maupun reboot, Benyamin Biang Kerok versi mutakhir ini sebatas meminjam judul beserta karakter saja tanpa ada kesinambungan perihal plot. Demi memperoleh hasil akhir yang ciamik, tidak tanggung-tanggung Falcon pun merekrut Hanung Bramantyo guna menempati posisi sebagai dalang dan aktor serba bisa Reza Rahadian sebagai pengganti posisi Benyamin Sueb. Di atas kertas, menyatukan dua nama besar di perfilman tanah air saat ini (keduanya mengoleksi lebih dari satu Piala Citra lho!) untuk menafsirkan ulang film komedi klasik memang terlihat menjanjikan. Akan tetapi, apa yang terlihat begitu menjanjikan di atas kertas sayangnya acapkali tidak sejalan dengan realita di lapangan dan (sayangnya lagi) ini berlaku pada Benyamin Biang Kerok versi 2018. Alih-alih mampu menjadi ‘pewaris’ yang layak, film ini justru memberi kita definisi dari frasa ‘kacau balau’. 

Dalam Benyamin Biang Kerok interpretasi Hanung, sosok Pengki (Reza Rahadian) tidak lagi digambarkan sebagai seorang supir yang kerap menjahili majikannya dan mempergunakan mobil sang majikan untuk tebar pesona kepada para perempuan. Di sini, dia dideskripsikan sebagai seorang pemuda kaya raya yang tidak berguna. Yang dikerjakannya setiap hari tidak pernah jauh-jauh dari melatih anak-anak di kampung sebelah rumahnya untuk bermain sepakbola serta melakoni misi rahasia bersama dua sahabatnya, Somad (Adjis Doaibu) dan Achie (Aci Resti). Bagi sang ibu, Nyak Mami (Meriam Bellina), yang menjalankan bisnis IT dengan sukses sampai-sampai memiliki hubungan baik dengan para pemangku jabatan, apa yang dilakukan oleh Pengki tidak lebih dari kesia-siaan belaka. Dia sejatinya ingin melihat putranya tersebut lebih menyerupai dirinya sebagai pebisnis ulung ketimbang menyerupai suaminya, Babe (Rano Karno), yang memilih untuk hidup sederhana. Ditengah upaya Nyak Mami melatih Pengki untuk menjadi pebisnis, Pengki justru terdistraksi dengan kehadiran seorang perempuan bernama Aida (Delia Hussein) yang merupakan simpanan dari mafia kelas kakap, Said (H. Qomar). Demi menyelamatkan Aida yang telah membuat Pengki jatuh hati dari cengkraman Said sekaligus membebaskan warga kampung sebelah dari penggusuran, Pengki bersama Somad dan Achie pun merancang misi pembobolan ke markas Said. Suatu misi yang lantas semakin memperkeruh hubungan antara Said dengan Nyak Mami yang memang tidak terjalin baik. 


Sebetulnya, disamping kolaborasi Hanung dengan Reza, faktor lain yang membuat Benyamin Biang Kerok tampak menggoda di atas kertas adalah konsepnya yang menggugah selera. Coba dengarkan ini: satir sosial dengan sentuhan budaya Betawi ala Get Married (salah satu film terbaik garapan Hanung!) yang dibalut elemen laga dan fiksi ilmiah. Menarik sekali, bukan? Meski seperti bukan padupadan yang tepat, tapi ini sedikit banyak mampu membangkitkan ketertarikan terhadap film ini. Yang kemudian membuat Benyamin Biang Kerok ternyata tidak berjalan sesuai pengharapan adalah si pembuat film terjebak dengan konsep ambisiusnya sendiri sehingga mengalami kebingungan hendak membawa film ke arah mana. Sentilan sentilun terhadap isu sosial politik yang berkembang di tanah air seperti penggusuran, penyuapan, sampai jual beli perempuan, dimunculkan sekenanya saja tanpa pernah dipergunjingkan lebih mendalam. Elemen fiksi ilmiahnya dihadirkan tanpa pernah memberi signifikansi apapun kepada penceritaan selain berusaha membuat film terlihat keren. Unsur Betawi hanya dimanfaatkan sebagai penghias agar tuntutan ‘memboyong kearifan lokal’ bisa terpenuhi. Dan guliran laganya yang memperoleh sentuhan dari film spionase tidak sanggup memompa adrenalin penonton. Semua-muanya dimasukkan begitu saja sampai-sampai terasa saling tumpang tindih. Pokoknya yang penting meriah walau ini berarti kemeriahan yang kosong dan hambar. Dalam melontarkan canda tawa yang merupakan jualan utamanya pun, nyaris tak terhitung berapa kali Benyamin Biang Kerok terpeleset dan kesulitan mengenai target secara tepat. 

Ini dapat dikategorikan masalah besar lantaran Benyamin Biang Kerok memproklamirkan dirinya sebagai film komedi. Perlu diketahui bersama bahwa dosa terbesar dari sebuah film komedi adalah saat suara jangkrik di kebun sebelah malah terdengar lebih membahana ketimbang suara derai tawa penonton di dalam bioskop. Dalam artian, kegaringannya lebih nyata nan manja daripada kelucuannya. Benyamin Biang Kerok, sayangnya (menghela nafas panjang)….. merangkul erat dosa tersebut bak sahabat karib. Selama durasi merentang hingga 95 menit, total jendral hanya sebanyak dua kali dapat terkekeh-kekeh kecil sementara sisanya hanya bisa memasang muka datar plus kebingungan lantaran menerka-nerka dimana letak kelucuannya. Kebingungan juga dipersembahkan oleh tanya, “bukankah sutradara film ini adalah orang yang sama dengan pembuat Get Married yang lucunya ger-geran itu? Lalu kenapa di sini sensitivasnya dalam ngelaba bisa tiba-tiba raib? Apa karena (lagi-lagi) film ini keberatan konsep?”. Belum juga menemukan jawab atas pertanyaan tersebut, belum juga benar-benar bisa menikmati film, Benyamin Biang Kerok mendadak memberikan kejutan sangat menyakitkan: cliffhanger (ending menggantung karena bersambung). Tidak seperti Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 yang memenggalnya dengan halus – bahkan menginformasikan melalui judul bahwa film terdiri lebih dari satu jilid, Benyamin Biang Kerok melakukannya secara kasar yang membuat penonton seketika heboh. Bahkan sinetron di layar beling yang tayang saban hari lebih halus dalam memberi cliffhanger (serius!). Jika memang diniatkan dibagi ke dalam dua jilid, kenapa tidak ada transparansi sedari awal sehingga penonton tidak merasa dicurangi? Lagipula, apa plot film memang sedemikian padatnya sampai harus dipaksa direntangkan ke dua judul? 

Kesemrawutan yang menghiasi sepanjang durasi Benyamin Biang Kerok semakin terasa sempurna berkat keputusan si empunya film untuk mengakhiri durasi secara semena-mena. Alhasil, sebelum melangkahkan kaki ke luar bioskop, saya mengoleskan minyak angin aromatherapy ke kepala terlebih dahulu agar tidak pingsan. Ini sungguh suatu ujian, Tuan dan Nyonya! Padahal, andaikata tidak diperparah oleh cliffhanger (serius, sakit hatinya seperti ditikung), Benyamin Biang Kerok sejatinya masih bisa (sedikit) dimaafkan. Penyelamatnya adalah performa tiga pemain utamanya; Reza Rahadian, Meriam Bellina, dan H. Qomar, yang cukup bagus ditengah segala keterbatasan. Meski lebih sering terlihat mengimitasi Benyamin Sueb daripada berlakon sesuai interpretasi pribadi, Reza tetap dapat memberikan energi tersendiri pada film berkat kehadirannya. Hal yang sama berlaku pula pada Meriam sebagai emak-emak galak yang interaksinya bersama Reza berikan dua adegan lucu yang membuat saya terkekeh dan H. Qomar sebagai villain jenaka nan mengancam. Tanpa performa mereka, tidak bisa dibayangkan betapa kering kerontangnya film ini. Bisa-bisa elemen musikal yang untungnya tergarap asyik – menampilkan Pengki berdendang dan berlenggak-lenggok bersama beberapa karakter pembantu – akan menjadi penyelamat tunggal Benyamin Biang Kerok.



Poor (2/5)

Kamis, 22 Februari 2018

REVIEW : LONDON LOVE STORY 3

REVIEW : LONDON LOVE STORY 3


“Cinta sejati tidak punya sebuah akhir. Aku mohon sama kamu, jangan menyerah.” 

Mungkin tidak sedikit dari kalian yang bertanya-tanya, kok bisa sih intrik dalam kisah cinta Caramel (Michelle Ziudith) dengan Dave (Dimas Anggara) yang tidak rumit-rumit amat ini membutuhkan sampai tiga jilid London Love Story untuk diselesaikan? Jawabannya sebetulnya sederhana saja – dan saya cukup yakin, kalian pasti telah mengetahuinya – yakni produk diterima dengan baik oleh publik. Instalmen pertama London Love Story menandai untuk pertama kalinya film produksi Screenplay Films mampu mencapai 1 juta penonton, sementara seri keduanya sekalipun mengalami penurunan tetap dapat dikategorikan laris manis. Menilik pencapaian ini, tentu tidak mengherankan jika kemudian drama percintaan yang mendayu-dayu ini diekspansi ke dalam tiga seri sampai-sampai judulnya tidak lagi relevan dengan latar penceritaan. Ya, London hanya muncul sekitar 15 menit di seri kedua yang sebagian besar memanfaatkan panorama Swiss sebagai jualan utama dan hanya sekejap saja di seri ketiga yang memboyong latar kisah ke Bali sehingga lebih tepat rasanya jika London Love Story 3 beralih judul menjadi Bali Love Story

London Love Story 3 membuka kisahnya dengan adegan wisuda Caramel (saya baru nyadar ternyata selama ini dia kuliah lho, Guys!) yang dilanjut acara lamaran. Jangan bayangin lamaran yang dihadiri sanak saudara ya karena di sini lamarannya berlangsung di atas kapal pesiar yang mengarungi Sungai Thames. Usai dilamar oleh Dave, Cara pun memutuskan untuk pulang kampung ke Indonesia – bersama dengan calon suaminya yang tajir melintir itu, tentu saja. Mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Dewata, tempat dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tidak lama setelah mengutarakan niat ini kepada orang tua Cara, dua sejoli ini pun bertolak ke Bali dengan maksud mengenang momen-momen perjumpaan mereka seraya (mungkin) mencari lokasi pernikahan yang cocok di hati. Berselancar, jalan-jalan di pantai, dan berkeliling dengan mobil mevvah adalah hal pertama yang keduanya lakukan sesampainya di Bali. Sayangnya belum juga puas bernostalgia, mereka diusik oleh kehadiran Rio (Derby Romero) yang membawa pesan dari masa lalu. Tidak hanya sosok Rio yang membuat liburan Cara dan Dave kurang khidmat, tetapi juga sebuah kecelakaan mobil yang menyebabkan kaki Cara terancam lumpuh untuk selamanya.


Sejujurnya, saya cukup menikmati London Love Story 2. Dibandingkan film pembukanya yang cenderung “suka-suka gue” dalam bertutur, jilid ini lebih bisa ditolerir dengan konflik dan barisan karakter yang (sedikit) lebih bisa diterima oleh nalar. Bahkan, muncul rasa pedih tatkala sosok Gilang (Rizky Nazar) – yang sejatinya lebih menarik disimak ketimbang Dave dan Cara – ‘dibunuh’ oleh si pembuat film demi memberi keleluasaan bagi dua sejoli utama untuk melanjutkan hubungan mereka. Mengetahui ada perbaikan pada seri kedua, maka jelas bohong jika saya mengatakan tidak optimis terhadap babak pamungkas London Love Story. Saya optimis sekali. Siapa tahu kisah percintaan Cara-Dave bisa berakhir segreget Cinta-Rangga, yekannnn? Ya siapa tahu. Untungnya saya tidak pernah mengutarakan angan-angan (berlebihan) ini kepada siapapun karena jika melihat hasil akhir London Love Story 3, saya yakin beberapa kawan akan mengatakan, “loe halu banget, sumpah!.” Berharap lebih terhadap film percintaan remaja buatan Screenplay Films jelas bukanlah pilihan. Malah diri ini juga sangat menyesal telah berbaik sangka kepada London Love Story 3 karena alih-alih menghadirkan penutup layak yang membuat kita terkenang pada kisah asmara Cara-Dave, seri ini justru lebih menyerupai dagelan yang bertujuan untuk menertawakan kisah cinta mereka berdua. 

Paham sekali alasan dibalik keputusan produser untuk merentangkan London Love Story hingga ke seri ketiga. Hanya saja, sulit disangkal bahwa kisah kasih Cara-Dave yang secethek sungai di musim kemarau ini jelas tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Alhasil, konfliknya pun berputar-putar disitu-situ saja dengan berbagai kekonyolan yang mengikutinya. Selama tiga seri, karakter-karakter inti yang terlibat dalam cinta segitiga Cara-Dave-Gilang mengalami kecelakaan. Ada yang koma, ada yang lumpuh, ada pula yang meninggal. Apakah mereka terkena kutukan? Bisa jadi. Yang jelas, si pembuat film menganggap satu-satunya cara membuat penonton termehek-mehek adalah memberi musibah kepada karakter kesayangan mereka ini. London Love Story 3 terasa semakin menjadi-jadi kekonyolannya berkat rengekan Cara mengenai kaki lumpuhnya yang tak berkesudahan (sampai-sampai muncul keinginan buat berteriak, "Mbak, Istighfar, Mbak!" lalu melakban mulutnya) dan penyelesaian yang membuat saya menyadari bahwa ‘keajaiban’ beserta ‘kebetulan’ adalah kata kunci yang dijunjung tinggi oleh franchise ini. Andai saja konklusi pada Ayat-Ayat Cinta 2 tempo hari tidak memelintir logika sedemikian rupa, mungkin saya sudah memberikan standing ovation heboh untuk penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh London Love Story 3. Film ini membuktikan bahwa keajaiban cinta sejati itu memang nyata adanya.

Poor (2/5)



Sabtu, 09 September 2017

REVIEW : PETAK UMPET MINAKO

REVIEW : PETAK UMPET MINAKO


Apakah kamu pernah mendengar permainan asal Jepang yang disebut Hitori Kakurenbo? Pada dasarnya, permainan ini tak ubahnya petak umpet di Indonesia. Yang kemudian membedakannya adalah keterlibatan makhluk halus di dalamnya. Ya, teman mainmu tidak saja manusia, tetapi juga lelembut dari alam seberang yang memenuhi ajakan bermain usai dipanggil melalui sebuah ritual menggunakan medium boneka. Terdengar mengerikan? Tentu saja, bahkan bisa dikata berbahaya karena si makhluk halus sangat mungkin turut mengincar jiwamu. Salah satu korban dari permainan ini adalah seorang blogger bernama Sarah yang keberadaannya tak jelas rimbanya selepas mengunggah video yang menunjukkan dirinya iseng-iseng menjajal Hitori Kakurenbo. Kesahihan kabar ini memang masih dipertanyakan, namun satu yang jelas, dia telah menggemparkan dunia maya. Saking gemparnya, seorang penulis bernama pena @manhalfgod pun tergelitik untuk mengejawantahkannya ke dalam bentuk novel ratusan halaman bertajuk Petak Umpet Minako yang lantas diadaptasi menjadi film layar lebar berjudul sama oleh Billy Christian (Kampung Zombie, Rumah Malaikat). 

Tokoh utama dalam Petak Umpet Minako bukan lagi Sarah, melainkan seorang pemuda bernama Baron (Miller Khan). Di suatu malam bersamaan dengan berlangsungnya reuni SMA yang enggan untuk dihadirinya, Baron menerima pesan singkat dari kekasihnya, Gaby (Wendy Wilson), yang mendesaknya datang ke acara reunian di gedung bekas sekolah mereka dulu. Meski ogah-ogahan, toh akhirnya Baron memutuskan mampir demi membahagiakan sang kekasih. Sesampainya di lokasi, betapa terkejutnya protagonis utama kita begitu mendapati bahwa acara reunian yang disangkanya akan dipenuhi gelak tawa justru berakhir petaka. Teman-temannya berlumuran darah, berlarian kesana kemari, bahkan beberapa diantaranya telah menjelma menjadi mayat hidup. Apa yang sesungguhnya terjadi di sini? Usut punya usut, ternyata sang biang kerok adalah Vindha (Regina Rengganis) yang mengajak teman-temannya bermain Hitori Kakurenbo tanpa pernah menyadari betapa besarnya resiko yang akan mereka hadapi. Arwah dalam boneka bernama Minako yang dipergunakan Vindha sebagai medium lantas menghisap habis jiwa manusia-manusia yang ikut bermain hingga membuat tubuh si boneka menyerupai manusia. Minako tak akan berhenti melakukannya sampai dia dinyatakan sebagai pemenang permainan. 


Di atas kertas, Petak Umpet Minako memang terdengar seperti film horor yang menjanjikan. Saya sendiri menunjukkan ketertarikan cukup tinggi tatkala mengetahui bahwa film ini bakal didasarkan pada urban legend asal Jepang yakni permainan petak umpet yang melibatkan hantu. Yang kemudian semakin menggenjot keingintahuan, materi promosinya berupa poster dan trailer digarap tidak main-main (bisa dibilang posternya adalah salah satu yang terbaik tahun ini). Apa mungkin ini sebuah pertanda kalau ekspektasi mendapat tontonan seram bakal dipenuhi oleh Petak Umpet Minako? Ternyata oh ternyata, saya kelewat berbaik sangka, saudara-saudara sekalian. Melangkahkan kaki ke dalam bioskop dengan riang penuh semangat, tak disangka-sangka saya malah keluar bioskop dengan gontai sampai-sampai mesti dibopong mbak-mbak penyobek tiket jaringan bioskop angka romawi. Seolah-olah jiwa ini ikut diserap oleh Minako. Ya bagaimana tidak lemas, meski durasinya hanya 87 menit, Petak Umpet Minako terasa sangat lamaaaaaaaaaa sekali. Rasa-rasanya saya ingin melayangkan saran kepada pihak bioskop agar menyediakan fitur “penonton boleh mempercepat durasi film sesuai selera” sehingga saat menjumpai film serupa yang tidak ketulungan bertele-telenya, diri ini tidak perlu risau bakal jenuh, capek, maupun menyesal lantaran sudah membuang-buang banyak waktu. 

Sulit untuk benar-benar bisa menikmati Petak Umpet Minako karena film menghadapi setumpuk permasalahan yang menyergap di hampir setiap departemen pembangunnya. Baik itu penyutradaraan, naskah, akting, penyuntingan, maupun musik. Premis mengikat yang dimilikinya seketika mentah hanya beberapa menit setelah film dimulai. Billy Christian terlalu bersemangat ingin mengajak penonton bersenang-senang sampai lupa menyisakan sedikit durasi untuk membentuk pondasi kisah sekaligus mengenalkan barisan tokohnya. Alhasil, sepanjang durasi pikiran terus berkecamuk dan mulut tak henti-hentinya nyeletuk, “kok bisa begini?” lalu “kok bisa begono?” kemudian “eh, itu siapa ya?” dan “lah, kok dia jadi begitu?”. Besarnya lubang menganga yang dibiarkan begitu saja oleh si pembuat film membuat jajaran pemainnya terjungkal masuk ke dalamnya. Mereka tampak kebingungan menginterpretasi peran masing-masing sehingga penonton pun semakin kebingungan memikirkan bagaimana caranya bersimpati kepada karakter yang mereka mainkan. Ini masih belum ditambah penyuntingan tak rapi hasil dari keputusan mengaplikasikan teknik bercerita maju mundur cantik yang malah menggugurkan ketertarikan mengikuti pergerakan kisah dan musik pengiring yang ampun berisiknya. Sungguh sangat disayangkan, padahal Petak Umpet Minako sejatinya punya potensi menjadi film horor memikat.

Poor (2/5)


Jumat, 11 Agustus 2017

REVIEW : RAFATHAR

REVIEW : RAFATHAR


“Ini bukan bayi biasa. Ini bayi mutan, Bos.” 

Ada satu film keluarga dari era 90-an yang rutin ditayangkan beberapa bulan sekali oleh salah satu televisi swasta tanah air berjudul Baby’s Day Out (1994). Dalam film tersebut, kita melihat serentetan kekonyolan yang dialami sejumlah pelaku tindak kriminal akibat dipecundangi seorang bayi yang mereka culik dari keluarga kaya. Guliran penceritaan kurang lebih senada bisa dijumpai pula dalam film laga berbumbu komedi Rob-B-Hood (2006) yang dibintangi Jackie Chan dan film komedi romantis Demi Cinta (2017), produksi MNC Pictures dimana para penculik malah dibuat jatuh hati kepada si bayi. Dari ketiga film tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa pekerjaan menculik bayi dalam film fiktif yang sepintas tampak sangat mudah dieksekusi rupanya jauh lebih memusingkan dari yang perkirakan. Percobaan terbaru dalam menjalankan misi ‘menculik bayi’ dilakukan oleh Raffi Ahmad dan Nagita Slavina dalam Rafathar (2017) yang konon dibuat sebagai kado ulang tahun bagi putra tercinta mereka, Rafathar Malik Ahmad. Bekerjasama dengan Umbara bersaudara; Bounty sebagai sutradara sementara Anggy di kursi produser, Rafathar dikreasi sebagai film laga komedi yang diharapkan mampu menghibur seluruh anggota keluarga. Berhasilkah? 

Rafathar berkisah mengenai sepasang perampok profesional bernama Jonny Gold (Raffi Ahmad) dan Popo Palupi (Babe Cabita) yang ditugaskan oleh atasannya, Bos Viktor (Agus Kuncoro), untuk menculik seorang bayi, Rafathar (Rafathar Malik Ahmad), yang diadopsi oleh pasangan kaya, Mila (Nur Fazura) dan Bondan (Arie Untung). Seperti halnya para penculik di film-film yang telah disebutkan di atas, Jonny beserta Popo pun menganggap sepele tugas ini. Apa sih yang mungkin merepotkan dari menculik bayi? Yang tidak mereka antisipasi, Rafathar adalah bayi yang amat aktif serta mempunyai kekuatan telekinetik yang memungkinkannya mengendalikan logam dengan mudah. Alhasil, Jonny dan Popo kelimpungan dalam menangani Rafathar. Ini masih belum ditambah mereka harus menghadapi kejaran dari Detektif Julie (Nagita Slavina) yang dipercaya orang tua angkat Rafathar untuk mengusut tuntas kasus penculikan sang buah hati ini dan Kolonel Demon (Verdi Solaiman) yang menyimpan agenda terselubung dibalik niatnya membantu Mila beserta Julie dalam menemukan Rafathar. Ditengah-tengah segala kekacauan, perlahan tapi pasti Rafathar mulai mencuri hati kedua penculiknya sehingga Jonny dan Popo pun belakangan memutuskan untuk menyelamatkan Rafathar dari cengkraman Bos Viktor. 


Bagai mengombinasikan Baby’s Day Out dan Rob-B-Hood, Rafathar sejatinya terdengar menjanjikan di atas kertas. Konsepnya tergolong segar untuk ukuran film petualangan keluarga dari tanah air yang acapkali bercerita tentang petualangan para bocah di dalam hutan seolah-olah hanya itu yang bisa diceritakan. Namun besarnya potensi yang dimiliki oleh Rafathar pada akhirnya berakhir sebatas potensi saat beberapa persoalan menghalangi film produksi RNR Movies dan Umbara Brothers Film untuk berkembang lebih jauh. Persoalan terbesar pertama yang menghinggapi Rafathar adalah materi humornya yang (maaf beribu maaf) tidak lucu. Beberapa diantaranya memang masih bisa membuat saya menyunggingkan senyum terutama saat melibatkan Agus Kuncoro yang menggunakan banyak logat dan Babe Cabita yang bolak-balik amnesia, tapi sebagian besar diantaranya mempunyai daya bunuh yang lemah. Terasa mentah kala dilontarkan sampai-sampai bingung hendak bereaksi seperti apa. Mengingat secara fitrah Rafathar adalah sebuah film komedi, ketidaksanggupan dalam menghadirkan derai tawa jelas suatu masalah apalagi film ini banyak bergantung pada lawakan dan pemakaian CGI untuk mengalirkan kisah ketimbang mengandalkan kekuatan naskah serta akting pemain. Alhasil, film seringkali hampa dan hambar untuk diikuti sehingga durasi 90 menit pun terasa sangat panjang. 

Belum lagi, pemakaian CGI dalam Rafathar termasuk persoalan terbesar kedua yang menghinggapi film. Berulang kali muncul tanpa esensi jelas dan terlampau dipaksakan yang malah mengekspos kelemahannya. Tampak sangat kasar. Adegan ondel-ondel raksasa maupun mengejar-ngejar Rafathar yang berlangsung di dalam rumah, apartemen, sampai jalanan memang tergarap cukup baik. Tapi lain halnya saat kita membicarakan soal robot berwujud ATM dan kulkas serta klimaksnya yang membuat kepala berdenyut-denyut pusing. Apabila bujet dan waktu tidak memadai untuk memvisualisasikannya, bukankah lebih bijak jika adegan disederhanakan saja tanpa harus didorong-dorong agar tampil bombastis? Penggunaan CGI kurang matang sedari pertengahan hingga babak ketiga ini sejujurnya sangat mengganggu kekhidmatan menonton karena kita seolah-olah tengah menyaksikan film yang belum tuntas. Kekhidmatan menonton juga terganggu lantaran Rafathar berada di posisi serba tanggung. Mau menyasar penonton segala usia kok plotnya terlalu njelimet buat kanak-kanak dan humornya seringkali nyerempet. Namun di sisi lain, mau mengambil hati penonton usia belasan ke atas, terbentur oleh kombinasi antara plot kurang mengikat, kelakar garing, dan CGI kasar. Alhasil, (lagi-lagi) Rafathar seringkali hampa dan hambar untuk diikuti sehingga durasi 90 menit pun terasa sangat panjang. Sungguh sangat disayangkan. 

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_QZYd

Poor (2/5)


Minggu, 30 Juli 2017

REVIEW : TEN: THE SECRET MISSION

REVIEW : TEN: THE SECRET MISSION



“Negara ini merdeka bukan karena bambu runcing, tapi karena ahli-ahli bela diri yang ahli menggunakan bambu runcing.”

Merekrut Iko Uwais atau Joe Taslim untuk membintangi film laga Indonesia itu sudah terlalu mainstream. Banyak yang berpikiran hal senada. Lagipula, secara bujet juga jelas akan membumbung tinggi. Kalau tidak balik modal kan, bikin hati merana. Para petinggi 0708 Films (bekerjasama dengan Starvision untuk distribusi) yang terlanjur kebelet ingin mengkreasi sebuah film penuh baku hantam dan suara-suara desingan peluru punya solusi jitu supaya bujet tetap murah meriah: bagaimana kalau kita rekrut saja para aktor amatiran dari kalangan model untuk ber bak bik buk ria? Agar sisi fun tetap sangat berasa, ditambah lagi pasar utama genre ini adalah laki-laki, modelnya tentu bukan berasal dari kalangan finalis L-Men melainkan majalah dewasa Popular. Ya, para perempuan cantik bertubuh seksi yang biasanya berlenggak-lenggok di atas catwalk atau mengikuti pemotretan dengan busana yang sangat menonjolkan lekuk-lekuk tubuh kini diajak serta oleh Helfi Kardit (Arisan Berondong, Arwah Goyang Karawang) untuk bermain peran di Ten: The Secret Mission. Perannya tidak sembarangan lho, mereka akan menjelma sebagai perempuan-perempuan tangguh yang dipercaya untuk berpartisipasi dalam misi penyelamatan. Terdengar mengasyikkan dan menggelikan di saat bersamaan, bukan? 

Pihak yang mempunyai gagasan cemerlang buat merekrut para model majalah dewasa ini adalah Satuan Inteligen Rahasia Negara atau SIS (The Secret Intelligent Service). Sang pemimpin, Jenderal (Roy Marten), mulanya ragu-ragu karena tidak meyakini para model ini mempunyai kemahiran mumpuni untuk diterjunkan ke misi pembebasan sandera. Namun Kolonel John (Jeremy Thomas) memilki alasan tersendiri mengapa perempuan-perempuan pilihannya yang secara keseluruhan berjumlah sepuluh orang dapat diandalkan. Dalam sesi perkenalan yang dijabarkan ke penonton secara amat sangat ringkas – saya berani bertaruh, kalian pasti akan kesulitan membedakan antara satu dengan yang lain sepanjang film – kita mengetahui bahwa para model ini bukanlah sembarang model. Mereka diam-diam adalah mantan atlet bela diri dari cabang berbeda-beda yang sebagian besar terpaksa beralih profesi menjadi model demi menyambung hidup. Dengan demikian, mereka sejatinya sudah punya modal mencukupi buat beraksi. Agar makin terarah dan tidak serampangan kala melumpuhkan musuh, Mayor Cathy (Karenina Maria Anderson) dan Kapten Dalton (Gibran Marten) dipercaya untuk menggembleng para model ini dalam sesi pelatihan penuh peluh di sebuah camp untuk outbound


Berdasarkan premis dan sinopsis yang dikedepankan, kita tentu telah bisa melihat bahwa Ten: The Secret Mission adalah film main-main belaka. Menanggapinya kelewat serius, hanya memberi efek samping berupa kepala nyut-nyutan tidak karuan. Sang sutradara, Helfi Kardit memang sedari mula sadar diri untuk tidak pernah menargetkan karya terbarunya ini berada di kelas yang sama dengan The Raid. Sumber referensinya sendiri banyak berasal dari film laga kelas B yang memiliki karakteristik seperti berbujet minim, tak terlalu mempedulikan kelayakan teknis apalagi artistik, dan penceritaannya kerapkali ‘suka-suka gue’ sampai-sampai melampaui nalar. Pokoknya, yang penting ada cerita! Ten: The Secret Mission pun mengamini karakteristik tersebut. Jika kamu menganggap sinopsis yang ditawarkannya sudah sungguh ajaib, percayalah itu masih belum ada apa-apanya. Tunggu sampai kamu mendengar rentetan dialog yang diucapkan para karakter dalam film atau tindakan yang mereka lakukan. Saya akan memberimu tantangan: bisakah kamu menahan hasrat untuk tidak tertawa geli di kursi bioskop saat dialog berbunyi “negara ini merdeka bukan karena bambu runcing, tapi karena ahli-ahli bela diri yang ahli menggunakan bambu runcing” atau “mereka memang tidak mahir menembak, Jendral. Tapi begitu saya tekan tombol, saya yakin semua akan berubah menjadi pembunuh ganas” meluncur dari mulut salah satu karakter? 

...dan itu hanya segelintir diantaranya, saudara-saudaraku tercinta. Hampir sepanjang durasi, dialog yang menghiasi Ten: The Secret Mission memang berada di level layak ditertawakan. Mencoba sok serius seperti mencomot dari buku teks mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, namun ketidaksesuaian konteks membuatnya terdengar konyol ketimbang ceriwis. Tindakan para karakternya yang entah berasal dari planet mana pun sebelas dua belas. Salah satu paling membekas di ingatan adalah saat dua model bersembunyi di balik pohon demi menghindari serangan musuh, lalu sebuah durian jatuh dan menggelinding ke arah mereka. Apabila ini Sunya (film garapan Harry Suharyadi yang juga memiliki adegan durian jatuh), penonton diminta memikirkan maknanya. Tapi karena ini adalah Ten: The Secret Mission, maka pada klimaks yang secara mengejutkan mampu menghadirkan pertarungan dengan tata laga cukup seru, durian tersebut bertransformasi menjadi... brass knuckle! Ya, salah satu model yang menemukan durian tersebut akhirnya memutuskan untuk memanfaatkan kulit durian sebagai senjata dalam bertarung. Sungguh cerdas dan diluar dugaan, to? Dan begitulah Ten: The Secret Mission. Cerdas memang sama sekali tidak tepat buat dilampirkan ke film ini, tapi diluar dugaan jelas sangat mewakilinya. Saat saya beberapa kali mengira kekonyolan dalam film telah mencapai puncaknya, Helfi terus memberikan kejutan-kejutan dengan menaikkan level kekonyolan sehingga film diluar dugaan dapat tersaji menghibur. Menghibur dalam kapasitasnya sebagai film kelas B, tentu saja.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_2c9k4

Poor (2/5)