Tampilkan postingan dengan label Starvision. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Starvision. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : SAJEN

REVIEW : SAJEN


“Tiap orang yang bunuh diri di sini, pasti dikasih sajen.” 

Telah cukup lama rumah produksi Starvision tidak memproduksi film horor. Terakhir kali mereka bersentuhan dengan dunia memedi yakni melalui film dengan format omnibus bertajuk Hi5teria yang dilepas pada tahun 2012 silam. Sajen garapan Hanny Saputra – jejak rekam film horornya meliputi Mirror (2005) dan Dejavu: Ajian Puter Giling (2015) – menandai kembalinya Starvision ke ranah film seram setelah enam tahun terakhir memilih untuk fokus menghasilkan film bertemakan percintaan dan keluarga. Mengambil latar penceritaan di sebuah SMA swasta unggulan serta menampilkan barisan bintang-bintang muda bertampang rupawan yang masih segar seperti Amanda Manopo, Steffi Zamora, Angga Yunanda, Jeff Smith, serta Chantiq Schagerl, pada permukaannya Sajen memang sepintas tampak seperti “another Indonesian teen horror movie” yang gemar sekali mengambil lokasi teror di dua tempat: sekolah dan hutan belantara. Yang kemudian mengusik keingintahuan saya sehingga berniat mencicipi Sajen adalah tema yang diusungnya. Bukan sebatas ‘jangan masuki ruangan terlarang itu!’ atau ‘jangan langgar pantangan ini itu!’, film ini mencoba menguliti persoalan perundungan (bullying) yang memang marak terjadi di kalangan remaja berseragam putih abu-abu – bahkan belakangan merambah ke dunia maya. Perundungan menjadi cikal bakal munculnya sederet teror bernuansa supranatural yang menghiasi sepanjang durasi Sajen

Ya, perundungan yang terjadi dalam Sajen memang membawa korban jiwa. Penonton tidak pernah benar-benar diberi tahu identitas dari tiga korban pertama. Namun keberadaan tiga sajen di beberapa titik SMA Pelita Bangsa, yaitu toilet, perpustakaan, serta ruang komputer, menjadi semacam pengingat bahwa tragedi telah terjadi di sekolah ini selama beberapa kali. Keengganan pihak sekolah untuk mengusut tuntas kasus perundungan demi mempertahankan nama baik membuat arwah ketiga siswa tersebut tak tenang sehingga peristiwa-peristiwa seram masih kerap dijumpai. Alanda (Amanda Manopo), salah satu siswi paling berprestasi di SMA tersebut, menyadari penuh tentang hal ini dan berupaya untuk memutus rantai perundungan yang sekali ini dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora), Davi (Jeff Smith), beserta rekan-rekan satu geng mereka. Sayangnya, langkah Alanda ini tidak pernah mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan terdekatnya sehingga Alanda yang berjuang sendirian pun akhirnya terseret menjadi korban. Dalam satu malam, Alanda dijebak dengan alkohol yang menyebabkan dia mabuk, lalu tindak tanduknya selama mabuk ini direkam, dan disebarkan ke setiap siswa di sekolah. Video tersebut tak hanya mencemarkan nama baiknya tetapi juga berdampak pada hilangnya kesempatan Alanda untuk mendapatkan beasiswa. Tak tahan dengan penderitaan ini, Alanda memutuskan bunuh diri. Arwahnya yang dilingkupi kemarahan pun menciptakan gelombang teror yang lebih besar di SMA Pelita Bangsa. 


Sajen sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi tontonan yang menjanjikan. Di separuh awal durasi yang penampakannya hanya dihadirkan selintas lalu dan si pembuat film lebih banyak menekankan pada elemen drama yang menyoroti dampak perundungan, Sajen mampu tampil menggigit. Performa sangat baik dari Amanda Manopo sebagai siswi berprestasi yang tertindas membuat penonton dapat bersimpati kepadanya. Kita berharap misi Alanda untuk memberangus perundungan mencapai titik hasil, kita berharap dia berhasil menundukkan geng Bianca. Maka begitu kenyataan berkata lain, ada rasa pedih yang menggelayuti di dada. Dukungan akting tak kalah baiknya dari Nova Soraya sebagai sang ibu yang penuh duka (kehilangan suami dan anak semata wayang tercinta. Betapa pilunya!) membuat paruh awal ini terasa menyesakkan. Saking tak relanya kedua karakter ini ketiban apes, keinginan melihat datangnya momen-momen pembalasan dendam dari Alanda kepada rekan-rekannya di sekolah pun besar. Saya hanya ingin menyaksikan geng Bianca kena getahnya atas ulah mereka pada Alanda. Akan tetapi, semangat yang telah timbul dalam menanti apa yang akan dihadirkan oleh Hanny R Saputra beserta sang penulis skrip, Haqi Achmad, di sesi horor ini malah mendadak merontok begitu film telah menjejakkan diri pada ranah memedi secara resmi. Pemicunya, rentetan penampakan yang dihamparkan serampangan diiringi musik memekakkan telinga (masalah klasik!) ditambah tata rias hantu yang dikerjakan ala kadarnya, transisi antar adegan yang melompat-lompat tak karuan sehingga membuat sebagian adegan terasa tak berkesinambungan, dan akting sebagian besar pemain pendukung yang memprihatinkan. 

Saking memprihatinkannya, saya sampai tak kuasa menahan tawa berulang kali selama menyaksikannya. Tengok saja pada salah satu momen terepik dari film ini yang berlangsung di sebuah prom night. Alanda melampiaskan dendamnya bak Carrie White pada salah seorang siswi – termasuk melempar-lemparnya ke atas maupun ke samping – dan tak seorangpun (!) yang bereaksi melihat aktivitas gaib di depan mata ini. Mereka hanya berdiri mematung tanpa ekspresi seolah-olah apa yang mereka saksikan itu sesuatu yang sudah teramat sangat wajar. Jika ada yang menunjukkan reaksi, maka itu adalah saya yang melongo saking takjubnya dengan keberanian mereka yang luar biasa ini. Semestinya saya pun tidak usah setakjub itu karena ada satu momen dimana hantu Alanda merangkak ke luar dari televisi bak Sadako dengan maksud menakut-nakuti kepala sekolahnya yang berhati dingin, Bu Tanya (Minati Atmanegara), dan tanpa segan-segan, Bu Tanya mengusirnya begitu saja dengan cara melempar sebuah pensil (!) ke arah Alanda. Mengagumkan sekali, bukan? Saya cukup yakin bahwa salah satu persyaratan masuk di SMA Pelita Bangsa baik bagi siswa maupun staf mencakup poin, “Anda telah terbiasa berurusan dengan hal-hal mistis atau memiliki keberanian dalam mengadapi situasi supranatural.” Karena jika tidak, tentu mereka sudah panik tidak karuan saat menyaksikan empat hantu datang beriringan atau kepala nongol dari televisi, bukan? Gara-gara adegan ini, saya malah justru lebih merinding melihat para guru dan murid SMA Pelita Bangsa ketimbang hantu Alanda. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah alien berkedok manusia seperti dalam film Invasion of the Body Snatchers (1978) sehingga mustahil bagi mereka untuk memancarkan emosi. Bisa jadi, kan?

Poor (2/5)


Rabu, 28 Februari 2018

REVIEW : YOWIS BEN

REVIEW : YOWIS BEN


“Wong-wong kudu paham, suatu saat kene iso dadi keren.” 

Beberapa waktu lalu, Yowis Ben yang menandai untuk pertama kalinya Bayu Skak menempati posisi pemeran utama sekaligus sutradara – mendampingi Fajar Nugros, menciptakan kontroversi tak perlu di kalangan netizen-maha-benar lantaran dialog dalam film sebanyak 80% menggunakan Bahasa Jawa. Bermacam-macam bentuk kecaman dilayangkan dari menuduh berniat memecahbelah bangsa sampai bernada mengejek yang menyerang ke stereotip masyarakat Jawa. Memiliki segudang bahasa daerah yang tersebar di seantero Indonesia, tentu bukan sesuatu yang mengherankan jika kemudian ada film buatan sineas tanah air yang mempergunakan bahasa daerah tertentu untuk keperluan menghantarkan cerita. Dalam beberapa tahun terakhir saja, geliatnya mulai terasa yang diprakarsai oleh film-film asal Makassar yang mendapat sorotan di tahun 2016 silam berkat laris manisnya Uang Panai (menembus 500 ribu penonton!) dan film-film dari Yogyakarta seperti Siti (2015) atau Turah (2017) yang langganan wara-wiri ke ajang penghargaan. Yowis Ben tak ubahnya judul-judul tersebut yang bercerita menggunakan bahasa daerah demi mempertahankan autentisitas (mengingat latar utamanya di Malang, Jawa Timur, yang masyarakatnya memang berbahasa Jawa) dan penebalan pada rasa. Yang kemudian membedakan Yowis Ben dengan judul-judul tersebut hanyalah pada skalanya karena film ini diproduksi oleh Starvision yang terhitung sebagai pemain besar di perfilman Indonesia. 

Karakter sentral yang menjadi motor penggerak Yowis Ben adalah siswa SMA bertampang pas-pasan dengan kondisi finansial pas-pasan pula bernama Bayu (Bayu Skak). Tentu saja Bayu bukanlah siswa tenar karena bakat atau pencapaian akademiknya di sekolah. Bayu cukup dikenal oleh rekan-rekannya karena dia membantu menjajakan pecel buatan ibunya sehingga memiliki panggilan “Pecel Boy”. Statusnya sebagai siswa jelata ini jelas membuatnya kesusahan untuk menambat hati para perempuan, terlebih lagi Bayu secara spesifik mengincar siswi-siswi populer. Saat Bayu jatuh hati kepada Susan (Cut Meyriska) yang tak ubahnya primadona sekolah, dia memutuskan untuk melakukan perubahan dalam dirinya demi meningkatkan ‘strata sosial’. Bersama dengan sahabatnya, Doni (Joshua Suherman), yang tengah berusaha mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, Bayu berinisiatif membentuk band. Dari hasil menyebar pamflet seadanya, dua sahabat ini berhasil merekrut pemukul bedug masjid yang diam-diam memiliki bakat terselubung sebagai drummer, Yayan (Tutus Thomson). Turut bergabung bersama mereka yakni murid pindahan yang digilai karena tampangnya, Nando (Brandon Salim). Mengusung nama Yowis Ben yang tercetus dari musyawarah berujung pertikaian, band ini mengusung satu misi: pembuktian diri. Suatu misi yang ternyata mudah saja untuk dicapai sampai kemudian cobaan menghadang dalam wujud seorang perempuan yang seketika mengancam keutuhan band. 


Ditilik dari sisi gagasan cerita, Yowis Ben sejatinya tidak menghadirkan sesuatu yang baru. Plot formulaiknya mengenai seorang pemuda yang membentuk band demi menaklukkan hati seorang pemudi telah beberapa kali kita jumpai dalam film sejenis, termasuk Suckseed (2011) dan Sing Street (2016). Yang lantas memberi keasyikkan tersendiri dalam menyaksikan Yowis Ben adalah asupan humor yang kental, tembang-tembang renyah di telinga dan penuturannya yang enerjik. Sedari menit pembuka, film yang mengejawantahkan skrip rekaan Bagus Bramanti dan Gea Rexy ini memang telah tancap gas. Perkenalan kepada sosok Bayu ditempuh dengan cara ngelaba yang sekaligus bertujuan untuk membiasakan penonton kepada tone yang diterapkan oleh film. Bisa dibilang, sepanjang Yowis Ben mengalun di separuh awal durasi, canda tawa adalah menu utamanya. Canda tawanya bersumber dari humor-humor receh nirfaedah yang (saya meyakini) merupakan santapan sehari-hari kera-kera ngalam dan sebagian penonton. Adanya faktor kedekatan ini memiliki peranan penting terhadap bagaimana humor-humor yang dilontarkan bisa terdengar sangat lucu. Keputusan si pembuat film untuk tetap mempertahankan dialog dalam Bahasa Jawa dengan dialek Malangan harus diakui bukan saja berani tetapi juga tepat guna. Andai dialognya ditranslasi ke Bahasa Indonesia, kelucuan yang ditimbulkan mungkin tidak ‘ger-geran’ seperti ini dan malah bisa jadi berakhir jayus karena memang tidak semua guyonannya cocok diucapkan dalam Bahasa Indonesia. 

Faktor lain yang turut menentukan tersalurkannya banyolan dalam Yowis Ben dengan baik adalah performa jajaran pelakonnya. Baik Bayu Skak, Joshua Suherman, Brandon Salim, serta Tutus Thomson (yang kemunculannya senantiasa mencuri perhatian!) bermain secara santai dan effortless. Mereka menghadirkan chemistry lekat sehingga kita dapat memercayai bahwa keempatnya memang memiliki ikatan persahabatan. Tek-tokan diantara sesama mereka yang dipenuhi jancuk-jancukan terasa amat seru, begitu pula penampilan dari Arief Didu sebagai ‘penasehat spiritual’ Bayu, Erick Estrada sebagai penggemar nomor satu Yowis Ben, dan duo pelawak legendaris Jawa Timur, Cak Kartolo-Cak Sapari, sebagai pelanggan warung pecel yang kian meningkatkan level kelucuan film ini. Jika ada titik lemah, maka itu terletak pada Cut Meyriska yang memegang peranan krusial di separuh akhir. Aktingnya yang cenderung sinetron-ish memang bukan kesalahan tunggal karena terhitung sedari mencuatnya elemen dramatik, Yowis Ben mulai goyah. 

Kisah percintaan Bayu-Susan yang tereksekusi canggung cenderung tak meyakinkan dan sosok Susan yang tidak pernah tertambat di hati penonton karena pengenalan karakternya hanya sepintas lalu serta karakterisasinya yang tidak konsisten (serius, saya bingung. Apakah Susan ini benar-benar mencintai Bayu?) membuat saya mempertanyakan keputusan si pembuat film untuk memindahkan fokus penceritaan ke dua sejoli ini dan makin dipertanyakan setelah karakterisasi Susan bertransformasi secara drastis. Andai jalinan pengisahan tetap setia pada teritori persahabatan dan band tanpa harus dipaksa berbelok ke ranah romansa dan drama yang tidak juga tergarap matang, fun factor beserta greget Yowis Ben bisa jadi akan lebih tinggi. Cukup disayangkan mengingat Yowis Ben sejatinya sudah sangat menyenangkan untuk ditonton sebelum jatah tampil Susan tiba-tiba diperbanyak.


Note : Yowis Ben dilengkapi dengan subtitle Bahasa Indonesia yang komunikatif. Jadi kalian yang tak paham Bahasa Jawa, tak perlu risau bakal dibuat kebingungan.

Acceptable (3/5)

Kamis, 17 Agustus 2017

REVIEW : THE UNDERDOGS

REVIEW : THE UNDERDOGS


“Kita dari SMA nggak berubah karena kita do nothing. Makanya sekarang kita harus do something." 

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena Youtubers di tanah air telah meningkat secara drastis. Bisa dikata, saban hari adaaaa saja pengguna baru situs berbagi video Youtube yang menjajal peruntungannya di dunia maya. Bagi sebagian pihak, Youtubers layak untuk diidolakan. Kreativitas mereka dalam mengkreasi konten menjadi bahan santapan yang begitu menarik buat disimak sehingga berlangganan beberapa kanal lalu mantengin layar gawai berjam-jam pun rela dilakukan. Sementara bagi sebagian pihak lain, Youtubers layak untuk dicaci. Cukup sering saya mendengar beberapa orang (entah di dunia nyata atau netizen) mencibir kualitas konten dari video yang dibuat atau semata-mata menyerang kepribadian si pembuat tanpa pernah benar-benar memahami motivasi dibalik pembuatan kanalnya. Apa betul sesederhana ingin merengkuh popularitas? Bukankah mungkin saja mereka membuatnya karena disinilah letak passion mereka? Bidang ini memang memberi iming-iming surgawi berupa mendaki tangga popularitas secara instan. Namun dibalik itu semua, membutuhkan proses panjang yang juga tidak bisa dikata mudah. Seolah menyadari tingginya persepsi negatif publik terhadap para Youtubers, Adink Liwutang melalui The Underdogs yang menandai pertama kalinya bagi dia menduduki kursi penyutradaraan mencoba untuk mengklarifikasi dengan membagi perspektif positif mengenai Youtubers. 

Karakter utama dalam The Underdogs adalah empat sahabat sedari SMA yang tidak memiliki teman sebaya lain diluar lingkaran mereka sendiri serta kerap mengalami perisakan di sekolah; Ellie (Sheryl Sheinafia) yang dianggap aneh lantaran memiliki jiwa seni tinggi, Bobi (Jeff Smith) yang dikucilkan akibat sering melaporkan siswa-siswa pelanggar aturan, Dio (Brandon Salim) yang kesulitan berinteraksi disebabkan sifat pemalunya, dan Nanoy (Babe Cabita) yang telah berulang kali tinggal kelas. Selepas SMA, keempatnya berkeyakinan kehidupan sosial masing-masing akan berubah dan masyarakat akan mulai menerima mereka apa adanya. Tapi kenyataan ternyata berkata lain. Ditengah kekecewaan karena nasib yang masih begitu-begitu saja, sebuah ide gila pun tercetus usai menyaksikan wawancara trio Youtubers SOL (Ernest Prakasa, Young Lex, Han Yoo Ra) yang personilnya mempunyai riwayat seperti Ellie dan kawan-kawan. Mereka memutuskan untuk menjadi Youtubers. Yang tidak mereka antisipasi, mengkreasi konten untuk video tidaklah segampang kelihatannya. Berbagai percobaan dilakukan hanya berujung pada kegagalan yang membuat mereka nyaris menyerah. Dalam upaya terakhir, mereka nekat membuat video musik rap ditengah segala keterbatasan. Tanpa dinyana-nyana, video ini berhasil viral dan melesatkan grup mereka yang bernama The Underdogs. Popularitas memang akhirnya sanggup diraih, namun di lain pihak persahabatan mereka turut terancam dibuatnya.


Bukan sebatas berbicara mengenai kiat-kiat mencapai ketenaran menggunakan medium Youtube, penonton diajak untuk memahami betul fenomena Youtubers yang tengah merebak ketimbang sebatas menghakimi tanpa pernah mengerti apa yang sebetulnya terjadi. Si pembuat film menyodorkan para personil The Underdogs sebagai studi kasus. Keempatnya mempunyai masalah pribadi di rumah; orang tua Ellie senantiasa bertengkar, ayah Bobi menghendaki putranya melanjutkan bisnis keluarga, Dio masih dianggap anak kecil oleh sang ibu, sementara keluarga Nanoy menganggapnya aib, ditambah masalah bersama sebagai outsider yang kemudian melecut mereka untuk membuat video sebagai ajang pembuktian diri. Menunjukkan bahwa mereka bisa, menunjukkan bahwa mereka tidak sepatutnya dianggap sebelah mata. Proses yang melatari perjuangan grup ini sedari sebelum video pertama diunggah hingga memperoleh ketenaran turut mengingatkan kita bahwa menciptakan kanal pun memerlukan kombinasi antara keberanian, kreativitas, serta konsistensi. Tidak semudah “bikin ini yuk!” lalu rekam kemudian unggah dan sebar di media sosial. Ada lika-liku dalam perjalanan The Underdogs yang kemudian memberikan kesempatan bagi Alitt Susanto bersama Bene Dion Rajagukguk selaku penulis skenario untuk menyematkan pesan positif mengenai memaknai persahabatan, keberanian untuk mengekspresikan diri, kemauan untuk merubah diri ke arah lebih baik,  melawan perisakan hingga menyikapi perbedaan. 

Asyiknya, pesan tersebut tak pernah sekalipun terdengar menceramahi penonton dan berhasil melebur mulus ke dalam jalinan pengisahan yang dialirkan sangat baik menjadi bahasa gambar oleh Adink Liwutang. Ya, sekalipun membawa misi memupus persepsi negatif khalayak ramai terhadap Youtubers, The Underdogs tak melupakan hakikatnya untuk mengajak penonton bersenang-senang. Sedari babak introduksi sampai credit title yang disisipi bloopers usai, film secara konsisten melempar bom-bom humor yang sebagian besar diantaranya berhasil meledak tepat pada waktunya. Bentuk lawakannya bisa dibilang cukup kaya dan kreatif; ada slapstick, disulut situasi, pertukaran dialog komikal, plesetan hingga permainan referensi, sehingga memunculkan ketertarikan untuk mengetahui banyolan seperti apa yang dilontarkan kemudian. Keberhasilan humor mengenai para hadirin ini tentu tak bisa dilepaskan dari lakon barisan pemainnya. Masing-masing dari mereka – baik Sheryl Sheinafia, Brandon Salim, Jeff Smith, maupun Babe Cabita – tampil solid dan membentuk chemistry meyakinkan. Sheryl, Brandon, dan Jeff mampu mengimbangi Babe yang sekali ini tampil lebih liar dari biasanya. Peran dia sejatinya masih tipikal yakni karakter pesakitan, namun naskah, pengarahan, serta lawan main memungkinkannya untuk menggila habis-habisan tanpa pernah menjurus ke menyebalkan atau mengganggu. 

Kejutan lainnya, Babe juga bisa menangani momen dramatik. Oh ya, porsinya memang tidak sebesar Sheryl dan Jeff yang kentara sedari awal dipersiapkan untuk membuat hati penonton terenyuh, tapi tetap saja ini kejutan manis. Apiknya chemistry yang terjalin diantara pemeran utama membuat penonton tak merasa kesulitan untuk terhubung dengan persoalan pribadi masing-masing karakter yang salah satunya mungkin saja pernah (atau sedang) kamu alami. Pola penceritaannya memang masih menganut ‘from zero to hero’ yang bisa kamu tebak kemana muaranya, akan tetapi cara sang sutradara menuturkan kisah dan adanya ikatan yang terbentuk antara penonton dengan para karakter membuat kita tak keberatan mengikuti perjalanan grup The Underdogs menggapai puncak. Perjalanan ini bukannya terbebas dari masalah. Memasuki babak ketiga saat konflik berdatangan dari berbagai sisi, laju agak tersendat. Resolusinya pun tak seluruhnya terjabarkan dengan baik lantaran bisa dijumpai ada satu dua yang kesannya ujug-ujug dan sedikit banyak mengkhianati salah satu pesan film yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini bahkan mie instan sekalipun. Yang kemudian menghindarkannya dari problematika lebih dalam, The Underdogs menutup gelaran kisah dengan hangat dan lucu. Semangat bersenang-senangnya yang menghiasi sepanjang film tak bisa pula dikesampingkan. Bagaimanapun, The Underdogs telah berhasil menghadirkan sebuah tontonan yang sangat menghibur. Jika mengutip salah satu judul lagu yang dibawakan para karakter utama, The Underdogs itu AZQ (dibaca: asyik) sekali!

Exceeds Expectations (3,5/5)