Tampilkan postingan dengan label Horror. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Horror. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM

REVIEW : GONJIAM: HAUNTED ASYLUM


“The rumors were all true!” 

Keberadaan bekas Rumah Sakit Jiwa Gonjiam yang terletak di kota Gwangju, Korea Selatan, jelas merupakan sebuah aset berharga bagi perfilman Negeri Gingseng. Betapa tidak, popularitasnya sebagai salah satu lokasi terangker di dunia menurut versi CNN Travel dalam artikel berjudul “7 of the freakiest places on the planet”, ditambah latar belakangnya yang menyebutkan bahwa tempat ini menjadi saksi bisu atas terjadinya bunuh diri massal yang dilakukan oleh pasien RSJ bersangkutan, telah memberikan modal yang lebih dari cukup untuk diejawantahkan ke dalam bentuk film. Apabila kamu melakukan survey ke para penggila film horor atau generasi milenial yang gemar ditakut-takuti dan menyukai apapun yang sedang hits, rasa-rasanya mereka tidak akan keberatan untuk menyaksikan film seram mengenai RSJ angker ini. Lagipula, siapa sih yang bisa menolak pesona film horor tentang lokasi berhantu? Menyadari potensi besar yang dimiliki oleh RSJ Gonjiam, Jung Bum-shik yang sebelumnya menggarap Epitaph (2007) pun berinisiatif mengkreasi tontonan memedi bertajuk Gonjiam: Haunted Asylum. Teknik yang dipilih oleh si pembuat film dalam bercerita adalah found footage – seperti diterapkan oleh The Blair Witch Project (1999) dan Paranormal Activity (2007) – demi semakin menguarkan nuansa creepy dari tempat tersebut sekaligus memberi kesan riil pada penonton. 

Dibuka dengan adegan dua remaja nekat melakukan permainan uji nyali di bekas RSJ Gonjiam yang berakhir petaka, Gonjiam: Haunted Asylum lantas memperkenalkan kita pada seorang pemuda yang berniat untuk menerobos tempat yang sama. Si penggagas ide yang mempunyai kanal Youtube bernama Horror Times, Ha-joon (Wi Ha-joon), menganggap petaka yang menghinggapi dua remaja tersebut sebagai peluang emas baginya. Ha-joon membayangkan seberapa tinggi popularitas yang akan berhasil dicapai oleh kanal Youtube asuhannya apabila dia menyiarkan tayangan uji nyali secara langsung dari RSJ Gonjiam. Guna merealisasikan impiannya tersebut, Ha-joon pun merekrut enam anggota yang terdiri atas A-yeon (Oh A-yeon), Charlotte (Moon Ye-won), Sung-hoon (Park Sung-hoon), Seung-wook (Lee Seung-wook), Je-yoon (Yoo Je-yoon), dan Ji-hyun (Park Ji-hyun). Diiming-imingi imbalan uang yang didapat dari iklan, keenam anak muda ini mengiyakan tawaran dari Ha-joon untuk diterjunkan ke RSJ Gonjiam pada malam hari. Mereka akan berkeliaran di dalam gedung mencari aktivitas supranatural sementara Ha-joon berdiam di tenda untuk menyiarkan rekaman dari keenam relawan. Tentu saja seperti film horor pada umumnya, mulanya tidak ada kejanggalan yang dijumpai oleh sekelompok anak muda kurang kerjaan tersebut. Hingga kemudian mereka melakukan kesalahan klasik yang berujung pada teror demi teror mengerikan yang seketika mengancam keselamatan setiap personil. 


Dalam mencelotehkan pengalaman supranatural yang berlangsung dalam Gonjiam: Haunted Asylum, Jung Bum-shik sejatinya hanya memberikan tanda centang ke sederet keklisean yang mudah kalian jumpai di film sejenis. Segerombolan karakter stereotip yang sok berani menerima tantangan berhadapan dengan makhluk gaib karena mereka tidak pernah benar-benar memercayainya? Centang! Menerobos sebuah rumah (atau suatu tempat) yang disebut-sebut angker hanya untuk melakukan hal-hal tak berfaedah? Centang! Melakukan pemanggilan arwah di dalam tempat angker karena mereka menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar, lucu dan tidak berbahaya? Centang! Berpisah jalan dengan rombongan sementara (kita semua tahu) berpisah di film horor sama saja dengan bunuh diri? Centang! Dan, baru menyadari bahwa nyawa mereka terancam saat aktivitas supranatural telah berada di level tinggi atau dengan kata lain, saat segalanya telah terlambat? Centang! Ya, bagi kalian yang sudah khatam tontonan horor secara umum, found footage secara spesifik, bisa jadi akan beberapa kali memutar bola mata tatkala mendapati keputusan-keputusan ngawur yang diambil oleh para karakter dalam Gonjiam: Haunted Asylum. Selama setidaknya satu jam pertama yang nyaris tidak terjadi apa-apa (mengikuti tradisi film bergaya found footage), kita diminta memafhumi tindakan tujuh muda-mudi yang tingkat kebodohan beserta menjengkelkannya berada di level dewa. Saya sama sekali tidak keberatan jika penghuni RSJ Gonjiam memutuskan untuk memangsa mereka semua. Silahkan, dengan senang hati. 

Yang kemudian menyelamatkan Gonjiam: Haunted Asylum dari ‘kutukan’ yang acapkali menimpa film horor dengan pendekatan found footage (terbukti dari sedikitnya film sejenis yang berkualitas diatas rata-rata) adalah kombinasi memuaskan antara desain produksi, pengambilan gambar, serta kejelian sang sutradara. Desain produksi film ini amat niat, menyulap sebuah gedung SMA di Busan sehingga menyerupai lokasi sesungguhnya yang sanggup membuat ciut nyali hanya dengan memandang dari luar. Ditunjang pengambilan gambar yang tangkas sekaligus memberi kesan meyakinkan kepada penonton bahwa kita sedang menyaksikan live streaming dari RSJ Gonjiam, dan kejelian sang sutradara dalam menempatkan trik menakut-nakuti (walau sejatinya sebagian besar diantaranya amat klasik!) di waktu yang tepat membuat Gonjiam: Haunted Asylum memiliki sejumlah momen yang dapat membuat penonton meringkuk, melonjak, maupun berteriak di dalam bioskop. Tidak ada skoring musik memekakkan telinga di sini demi menciptakan kesan otentik. Lagipula siapa butuh musik untuk menciptakan kekagetan atau rasa ngeri saat latar tempatnya telah sanggup menghembuskan nuansa creepy sehingga membuat bulu kuduk ini meremang? Sedari tujuh muda-mudi menjejakkan kaki di RSJ Gonjiam, saya telah dilingkupi rasa tidak nyaman yang menggelisahkan sampai mencapai puncaknya di 20 menit terakhir yang menyeramkan. Apa yang terjadi di babak pamungkas ini sedikit banyak membuat saya akhirnya dapat menolerir penceritaan dan bangunan karakter film ini yang generik.

Acceptable (3/5)


REVIEW : SAJEN

REVIEW : SAJEN


“Tiap orang yang bunuh diri di sini, pasti dikasih sajen.” 

Telah cukup lama rumah produksi Starvision tidak memproduksi film horor. Terakhir kali mereka bersentuhan dengan dunia memedi yakni melalui film dengan format omnibus bertajuk Hi5teria yang dilepas pada tahun 2012 silam. Sajen garapan Hanny Saputra – jejak rekam film horornya meliputi Mirror (2005) dan Dejavu: Ajian Puter Giling (2015) – menandai kembalinya Starvision ke ranah film seram setelah enam tahun terakhir memilih untuk fokus menghasilkan film bertemakan percintaan dan keluarga. Mengambil latar penceritaan di sebuah SMA swasta unggulan serta menampilkan barisan bintang-bintang muda bertampang rupawan yang masih segar seperti Amanda Manopo, Steffi Zamora, Angga Yunanda, Jeff Smith, serta Chantiq Schagerl, pada permukaannya Sajen memang sepintas tampak seperti “another Indonesian teen horror movie” yang gemar sekali mengambil lokasi teror di dua tempat: sekolah dan hutan belantara. Yang kemudian mengusik keingintahuan saya sehingga berniat mencicipi Sajen adalah tema yang diusungnya. Bukan sebatas ‘jangan masuki ruangan terlarang itu!’ atau ‘jangan langgar pantangan ini itu!’, film ini mencoba menguliti persoalan perundungan (bullying) yang memang marak terjadi di kalangan remaja berseragam putih abu-abu – bahkan belakangan merambah ke dunia maya. Perundungan menjadi cikal bakal munculnya sederet teror bernuansa supranatural yang menghiasi sepanjang durasi Sajen

Ya, perundungan yang terjadi dalam Sajen memang membawa korban jiwa. Penonton tidak pernah benar-benar diberi tahu identitas dari tiga korban pertama. Namun keberadaan tiga sajen di beberapa titik SMA Pelita Bangsa, yaitu toilet, perpustakaan, serta ruang komputer, menjadi semacam pengingat bahwa tragedi telah terjadi di sekolah ini selama beberapa kali. Keengganan pihak sekolah untuk mengusut tuntas kasus perundungan demi mempertahankan nama baik membuat arwah ketiga siswa tersebut tak tenang sehingga peristiwa-peristiwa seram masih kerap dijumpai. Alanda (Amanda Manopo), salah satu siswi paling berprestasi di SMA tersebut, menyadari penuh tentang hal ini dan berupaya untuk memutus rantai perundungan yang sekali ini dilakukan oleh Bianca (Steffi Zamora), Davi (Jeff Smith), beserta rekan-rekan satu geng mereka. Sayangnya, langkah Alanda ini tidak pernah mendapat dukungan penuh dari kawan-kawan terdekatnya sehingga Alanda yang berjuang sendirian pun akhirnya terseret menjadi korban. Dalam satu malam, Alanda dijebak dengan alkohol yang menyebabkan dia mabuk, lalu tindak tanduknya selama mabuk ini direkam, dan disebarkan ke setiap siswa di sekolah. Video tersebut tak hanya mencemarkan nama baiknya tetapi juga berdampak pada hilangnya kesempatan Alanda untuk mendapatkan beasiswa. Tak tahan dengan penderitaan ini, Alanda memutuskan bunuh diri. Arwahnya yang dilingkupi kemarahan pun menciptakan gelombang teror yang lebih besar di SMA Pelita Bangsa. 


Sajen sejatinya memiliki potensi besar untuk menjadi tontonan yang menjanjikan. Di separuh awal durasi yang penampakannya hanya dihadirkan selintas lalu dan si pembuat film lebih banyak menekankan pada elemen drama yang menyoroti dampak perundungan, Sajen mampu tampil menggigit. Performa sangat baik dari Amanda Manopo sebagai siswi berprestasi yang tertindas membuat penonton dapat bersimpati kepadanya. Kita berharap misi Alanda untuk memberangus perundungan mencapai titik hasil, kita berharap dia berhasil menundukkan geng Bianca. Maka begitu kenyataan berkata lain, ada rasa pedih yang menggelayuti di dada. Dukungan akting tak kalah baiknya dari Nova Soraya sebagai sang ibu yang penuh duka (kehilangan suami dan anak semata wayang tercinta. Betapa pilunya!) membuat paruh awal ini terasa menyesakkan. Saking tak relanya kedua karakter ini ketiban apes, keinginan melihat datangnya momen-momen pembalasan dendam dari Alanda kepada rekan-rekannya di sekolah pun besar. Saya hanya ingin menyaksikan geng Bianca kena getahnya atas ulah mereka pada Alanda. Akan tetapi, semangat yang telah timbul dalam menanti apa yang akan dihadirkan oleh Hanny R Saputra beserta sang penulis skrip, Haqi Achmad, di sesi horor ini malah mendadak merontok begitu film telah menjejakkan diri pada ranah memedi secara resmi. Pemicunya, rentetan penampakan yang dihamparkan serampangan diiringi musik memekakkan telinga (masalah klasik!) ditambah tata rias hantu yang dikerjakan ala kadarnya, transisi antar adegan yang melompat-lompat tak karuan sehingga membuat sebagian adegan terasa tak berkesinambungan, dan akting sebagian besar pemain pendukung yang memprihatinkan. 

Saking memprihatinkannya, saya sampai tak kuasa menahan tawa berulang kali selama menyaksikannya. Tengok saja pada salah satu momen terepik dari film ini yang berlangsung di sebuah prom night. Alanda melampiaskan dendamnya bak Carrie White pada salah seorang siswi – termasuk melempar-lemparnya ke atas maupun ke samping – dan tak seorangpun (!) yang bereaksi melihat aktivitas gaib di depan mata ini. Mereka hanya berdiri mematung tanpa ekspresi seolah-olah apa yang mereka saksikan itu sesuatu yang sudah teramat sangat wajar. Jika ada yang menunjukkan reaksi, maka itu adalah saya yang melongo saking takjubnya dengan keberanian mereka yang luar biasa ini. Semestinya saya pun tidak usah setakjub itu karena ada satu momen dimana hantu Alanda merangkak ke luar dari televisi bak Sadako dengan maksud menakut-nakuti kepala sekolahnya yang berhati dingin, Bu Tanya (Minati Atmanegara), dan tanpa segan-segan, Bu Tanya mengusirnya begitu saja dengan cara melempar sebuah pensil (!) ke arah Alanda. Mengagumkan sekali, bukan? Saya cukup yakin bahwa salah satu persyaratan masuk di SMA Pelita Bangsa baik bagi siswa maupun staf mencakup poin, “Anda telah terbiasa berurusan dengan hal-hal mistis atau memiliki keberanian dalam mengadapi situasi supranatural.” Karena jika tidak, tentu mereka sudah panik tidak karuan saat menyaksikan empat hantu datang beriringan atau kepala nongol dari televisi, bukan? Gara-gara adegan ini, saya malah justru lebih merinding melihat para guru dan murid SMA Pelita Bangsa ketimbang hantu Alanda. Jangan-jangan mereka sebenarnya adalah alien berkedok manusia seperti dalam film Invasion of the Body Snatchers (1978) sehingga mustahil bagi mereka untuk memancarkan emosi. Bisa jadi, kan?

Poor (2/5)


REVIEW : TRUTH OR DARE

REVIEW : TRUTH OR DARE


“The game is real. Wherever you go, whatever you do it will find you.” 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah produksi Blumhouse Productions berhasil menancapkan kukunya menjadi salah satu nama yang patut diperhitungkan di sinema horor. Betapa tidak, mereka sanggup menghasilkan pundi-pundi dollar dari film seram yang memiliki high-concept dengan bujet seminim mungkin (tidak pernah lebih dari $10 juta!) dan kualitas yang sebagian besar diantaranya dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa sajian yang membawa mereka membumbung tinggi antara lain Paranormal Activity (2009), Insidious (2011), The Purge (2013), Split (2017), sampai Get Out (2017) yang berjaya di panggung Oscar. Menyadari penuh bahwa formula ini terbukti berhasil, tentu tidak mengejutkan jika persembahan terbaru dari Blumhouse, Truth or Dare, yang digarap oleh Jeff Wadlow (Kick-Ass 2), masih menerapkan formula serupa. Premis yang diajukan sekali ini adalah “bagaimana jika permainan ‘jujur atau tantangan’ dibawa ke level lebih tinggi dengan konsekuensi berupa kematian apabila si pemain gagal menyelesaikan permainan?”. Harus diakui ini terdengar agak menggelikan sih, tapi di waktu bersamaan juga menggelitik rasa penasaran. Lebih-lebih trailer Truth or Dare yang dikemas begitu meyakinkan seolah-olah ini tontonan seram yang mengasyikkan semakin membuat hati ini sulit menampik godaan. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah mungkin Truth or Dare dengan premis konyolnya ini mampu tersaji seru atau malah justru berakhir blunder? 

Truth or Dare sendiri mengawali penceritaannya dengan perjalanan enam sahabat; Olivia (Lucy Hale), Markie (Violett Beane), Lucas (Tyler Posey), Brad (Hayden Szeto), Tyson (Nolan Gerard Funk), dan Penelope (Sophia Ali), ke Meksiko untuk merayakan libur musim semi. Berbagai macam kegilaan anak muda khas film horor mereka lakukan sepanjang liburan seperti berpesta semalam suntuk, berhubungan seks, menenggak alkohol… you name it. Kegilaan ini kian tak bisa dipahami akal sehat saat mereka memutuskan untuk mengikuti ajakan seorang laki-laki yang baru dikenal Olivia di bar bernama Carter (Landon Liboirion) ke sebuah reruntuhan gereja. Di sana, mereka bermain ‘jujur atau tantangan’ yang secara cepat berubah menjadi canggung tatkala rahasia salah satu dari mereka tersentil. Suasana yang telah serba tidak mengenakkan ini kian bertambah parah tatkala Carter mengungkap tujuan utamanya membawa mereka ke tempat ini. Ternyata oh ternyata, permainan ‘jujur atau tantangan’ yang mereka mainkan ini tidak sesederhana tampaknya karena ada keterlibatan iblis didalamnya. Alhasil satu demi satu personil pun dihadapkan pada permainan ‘jujur atau tantangan’ versi supranatural sekembalinya mereka ke Amerika Serikat pada waktu dan tempat tak terduga dari seseorang (atau sejumlah orang) dengan seringai aneh menyerupai filter Snapchat yang buruk. Aturannya sederhana saja: tunaikan permainan tersebut hingga tuntas karena jika kamu gagal melaksanakannya… ajal akan dengan senang hati menjemputmu.


Untuk beberapa saat, Truth or Dare tampak seperti versi duplikat dari rangkaian film Final Destination. Sejumlah remaja berusaha mencurangi kematian yang mengejar mereka dengan urutan sesuai giliran mereka bermain ‘jujur atau tantangan’. Dari lubuk hati yang terdalam, saya pribadi sih berharap Truth or Dare akan menempuh jalur yang sama karena Final Destination termasuk tontonan seram yang seru (yaaa… setidaknya untuk tiga seri pertama) dengan penggambaran ‘cara untuk tewas’ yang kreatif. Akan tetapi, usai adegan pembukaan di sebuah pom bensin yang membangkitkan semangat untuk mengudap habis film ini, lalu dilanjut dengan kematian pertama yang melibatkan meja biliar, dan tantangan menyusuri pinggiran genteng seraya menenggak alkohol yang mendebarkan, perlahan tapi pasti Truth or Dare terasa seperti kehilangan arah dan kebingungan dalam mengembangkan premis miliknya. Berdasarkan premis yang diusung, Truth or Dare sebetulnya berpotensi bagus apabila: 

1) sadar diri bahwa premisnya memang menggelikan sehingga tidak ada upaya untuk menggulirkan kisah yang sok serius dan lebih memilih untuk menertawakan diri sendiri dengan menghadirkan eksekusi serba over the top 
2) memiliki aturan main yang jelas – tidak seenaknya diubah-ubah sampai bikin otak ini keriting memikirkannya, serta 
3) menghindari main aman dengan bersedia merangkul rating R (17 tahun ke atas) karena materinya yang membutuhkan pertaruhan akan kesulitan mencapai potensinya jika film enggan untuk menampilkan kekerasan dalam level cukup tinggi. 

Sayangnya, pihak pembuat film kekeuh mempertahankan Truth or Dare untuk tetap bermain-main di ranah horor dengan rating PG-13. Jeff Wadlow beserta tiga rekan penulis skrip malah memilih untuk menyisipi Truth or Dare dengan isu-isu berat tak perlu seperti homoseksual, bunuh diri, serta pelecehan seksual yang justru membuat film ini penuh sesak sekaligus tampak seperti salah satu episode sinetron percintaan remaja terlebih ada pula konflik mengenai pertikaian antar sahabat karena rebutan cowok. Ingin rasanya ku mengucap istighfar! Sederet isu ini sebetulnya memiliki potensi menjadi bumbu taburan yang mengikat apabila: 

1) premis yang diusung Truth or Dare tidak kelewat menggelikan untuk dibawa serius, serta 
2) ada perkembangan karakter mumpuni yang membuat penonton memahami lalu peduli terhadap masing-masing karakter. 


Tapi kenyataannya kan tidak demikian. Premisnya konyol dan karakter di film ini tak lebih dari sekumpulan stereotip karakter dalam film horor yang dangkal. Alhasil, selama separuh akhir, Truth or Dare tak saja menjelma menjadi FTV bertajuk “Aku Jatuh Cinta Pada Kekasih Sahabatku” tetapi juga ketoprak lantaran setiap tindakan para karakternya mengundang gelak tawa tak disengaja (ehem, mencari solusi dari Google dan Facebook? Dasar generasi milenial!). Mengingat rating PG-13 membatasi film untuk tampil liar; adegan pencabutan nyawa yang monoton dengan sebagian besar hanya menggunakan pistol dan tantangan yang makin lama justru makin drama (serius, ini setan sepertinya gemar nonton reality show atau sinetron deh!), maka daya tarik yang tersisa dari film ini adalah kekonyolannya yang tak berkesudahan dan Lucy Hale yang rupawan. Aktingnya? Ah lupakan saja.

Poor (2/5)
REVIEW : KUNTILANAK (2018)

REVIEW : KUNTILANAK (2018)


“Sing kuat, sing melihara.” 

(Entah dengan kalian, tapi sebagai seorang Jawa tulen, saya sebetulnya merasa janggal dan terganggu dengan mantra ini. Kenapa sih tidak sepenuhnya dalam Bahasa Jawa? Sing kuwat sing ngingoni? Malah lebih terasa nuansa mistisnya to?)

Sineas di perfilman Indonesia pasca mati suri memang tergolong rajin menelurkan film horor. Akan tetapi, diantara ratusan judul yang telah dipertontonkan secara resmi ke hadapan publik, hanya segelintir saja yang bisa dikategorikan ‘oke’ hingga ‘bagus’. Kuntilanak (2006) garapan Rizal Mantovani adalah satu dari segelintir judul tersebut. Meski bagi saya secara pribadi film ini lebih condong ke seru ketimbang seram, tidak bisa disangkal bahwa Kuntilanak mempunyai penggarapan yang niat dengan mitologi yang cukup menarik buat dikulik. Menilik pencapaian judul tersebut di masa lampau secara kualitas maupun kuantitas (dibuktikan oleh kehadiran dua film kelanjutan yang sayangnya tak seberapa oke namun tetap larisss), bukan sesuatu yang mengherankan tatkala MVP Pictures mencoba untuk membangkitkannya kembali pada satu dekade kemudian. Yaaa… hitung-hitung mengikuti tren ‘reborn’ yang kini tengah marak lah. Mengusung semangat baru, Kuntilanak versi 2018 yang juga digarap oleh Rizal Mantovani tak lagi mengandalkan kekuatan Mbak Samantha (Julie Estelle) untuk mengusir cantik Jeung Kunti dari dunia manusia melainkan bergantung pada kenekatan segerombolan bocah. Jalinan pengisahannya pun tidak sambung-menyambung menjadi satu dengan trilogi lawas sekalipun tembang Lingsir Wengi yang bikin bulu kuduk meremang itu masih diperdendangkan dan cermin antik pembawa petaka masih menampakkan diri. 

Guliran penceritaan dalam Kuntilanak versi termutakhir ini menempatkan fokusnya kepada lima bocah yatim piatu, yakni Dinda (Sandrinna Michelle Skornicki), Kresna (Andryan Bima), Ambar (Ciara Nadine Brosnan), Panji (Adlu Fahrezy), dan Miko (Ali Fikry), yang diadopsi oleh seorang kaya bernama Tante Donna (Nena Rosier). Mulanya sih, kelima bocah ini tinggal di rumah gedongan milik Tante Donna dengan aman sentosa sampai kemudian si pemilik rumah pamit sejenak untuk mengunjungi keluarganya di luar negeri. Dinda dan kawan-kawan dititipkan pada keponakan si tante, Lydia (Aurelie Moeremans), yang kebetulan sedang menjalin hubungan dengan presenter acara mistis, Glenn (Fero Walandouw). Bermaksud ingin memberi kejutan kepada Tante Donna, Glenn dan Lidya mengganti cermin di kamar si tante dengan sebuah cermin baru yang diangkut Glenn dari sebuah rumah angker yang disinggahinya. Tanpa diketahui oleh dua manusia ini, cermin tersebut merupakan portal menuju alam gaib yang didiami memedi bernama Kuntilanak. Tanpa diketahui oleh dua manusia ini pula, portal tersebut telah terbuka dan telah menelan korban. Alhasil, keanehan demi keanehan yang sulit dijabarkan dengan akal sehat pun mulai dirasakan oleh lima sekawan beserta Lydia di rumah Tante Donna. Saat Jeung Kunti meningkatkan ‘permainan’ menjadi petaka pengancam nyawa, maka tidak ada yang bisa menghentikannya kecuali si pemilik wangsit. Seseorang yang dianugerahi kelebihan untuk menyelesaikan perkara dengan makhluk-makhluk dari dimensi seberang.


Apabila kamu membawa ekspektasi “seram nih! Seru nih!” saat memutuskan untuk membeli tiket Kuntilanak di loket bioskop, maka redam segera. Level ‘seram’ maupun ‘seru’ yang dimiliki oleh Kuntilanak versi anyar ini bisa dikatakan tidak ada apa-apanya kala disandingkan dengan instalmen terdahulu. Sebetulnya, Rizal Mantovani membuka gelaran ini dengan menjanjikan ketika memberikan tinjauan dalam prolog mengenai kemampuan seperti apa yang dimiliki oleh cermin pembawa petaka. Atmosfer mencekamnya dapat terdeteksi, penceritaannya pun mempunyai dapat pikat mencukupi sehingga kita memiliki ketertarikan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di menit-menit berikutnya. Langkah yang telah mantap ini, sayangnya tidak berlangsung lama. Sedikit demi sedikit, daya cekam beserta daya pikat film mulai menguap seiring berjalannya durasi. Hingga pada satu titik saya pun bertanya-tanya, “apakah saya sedang menyaksikan film horor dengan bintang anak-anak atau justru film petualangan anak-anak dengan bumbu horor?.” Yang saya rasakan, ini tak ubahnya film petualangan anak-anak semacam Petualangan Sherina (2000) atau Naura dan Genk Juara (2017) yang kebetulan mengambil pendekatan horor tanpa ada sekuens musikal. Elemen lawak yang dimaksudkan untuk mencairkan ketegangan tergolong melimpah ruah sampai-sampai mendistraksi elemen horornya. Bahkan, ada pula tambahan backsound yang terasa salah tempat (dan tentu saja tidak diperlukan) setiap kali salah satu karakter mencoba untuk melucu. Alih-alih terkekeh, saya justru ingin mengeluarkan penyumbat telinga saking mengganggunya. 

Bisa dipahami bahwa pihak pembuat film ingin menghadirkan tontonan seram yang ramah bagi penonton akil baligh. Hanya saja, keputusan untuk memilih bermain aman dengan tetap berada di area ‘remaja’ ketimbang mengikuti jejak sumber inspirasi Kuntilanak yakni It (2017) yang berani menjajaki teritori ‘dewasa’ ini nyatanya bukanlah keputusan yang bijak. Kuntilanak seringkali berada di posisi serba tanggung. Memedinya terlalu menyeramkan bagi penonton akil baligh dan usia di bawahnya, tetapi guliran penceritaan rekaan Alim Sudio (Chrisye, Ayat-Ayat Cinta 2) berikut teror si memedi terlalu menjemukan bagi penonton yang telah merasakan seramnya kehidupan yang sesungguhnya. Disamping itu, Kuntilanak pun terlalu ceria sebagai sebuah film yang memproklamirkan dirinya sebagai film horor. Satu-satunya teror yang menggoreskan sekelumit rasa takut yakni ketika Dinda melihat sesosok perempuan menembangkan Lingsir Wengi di depan televisi pada tengah malam. Selebihnya? Sebatas parade trik menakut-nakuti klasik yang dimunculkan secara sesuka hati tanpa set up memadai dan repetitif. Aturan main jump scare terbaca dengan jelas; setiap karakter mendapatkan setidaknya satu kali momen berhadapan langsung dengan Jeung Kunti, sementara aturan main bersama Jeung Kunti (dalam artian, mitologinya) hanya dibahas di permukaan saja tanpa pernah dieksplorasi lebih mendalam. Itulah mengapa begitu film mencapai setengah jalan, saya sudah terkantuk-kantuk tidak karuan. Salah satu alasan yang lantas membuat saya bisa bertahan menyaksikan Kuntilanak dengan penceritaan berlarut-larut ini adalah performa para pemain cilik yang asyik. Setidaknya, mereka tampak menikmati bermain di film ini.

Acceptable (2,5/5)


Rabu, 20 Juni 2018

mother! (2017) (3,5/5)

mother! (2017) (3,5/5)


You never loved me. You just loved how much I loved you. 

RottenTomatoes: 68% | IMDb: 6,7/10 | Metascore: 75/100 | NikenBicaraFilm: 3,5/5

Rated: R | Genre: Drama, Horror, Mystery

Directed by Darren Aronofsky ; Produced by Scott Franklin, Ari Handel ; Written by Darren Aronofsky ; Starring Jennifer Lawrence, Javier Bardem, Ed Harris, Michelle Pfeiffer ; Cinematography Matthew Libatique ; Edited by Andrew Weisblum ; Production companyProtozoa Pictures ; Distributed by Paramount Pictures ; Release date September 15, 2017 (United States) ; Running time121 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $30 million ; Box office $44.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sepasang suami istri (Jennifer Lawrence dan Javier Bardem) tinggal berdua di sebuah rumah terpencil. Suatu hari mereka kedatangan tamu misterius yang bertindak sesuka hati.

Review / Resensi :
Tidak dapat dipungkiri, mother! (mother! dengan huruf m kecil dan tanda seru di bagian belakangnya) adalah salah satu film paling kontroversial tahun 2017 sekaligus paling banyak dibicarakan. Sebagaimana The Tree of Life (Terrence Malick, 2011), publik tampaknya terbagi menjadi dua kubu: love it or hate it. Di Cinemascore, mother! dapat nilai F, dimana hal ini membuat mother! selevel dengan The Wicker Man-nya Nicholas Cage. Skor buruk ini tampaknya juga mempengaruhi penghasilan box office yang didapatkan, mother! cuma dapat 44,5 juta dollar dari budget yang 30 juta dollar. Saya rasa melepas film seperti ini ke publik umum juga bukan hal yang tepat, apalagi jika penonton tertipu karena menyangkanya sebagai film horror biasa belaka - belum lagi nama Jennifer Lawrence sebagai top billing cast bisa membuat publik mengira akan menonton film horror mainstream. Nggak cuma dapat mixed review dari audiens, para kritikus pun sebenarnya terbagi jadi dua. Hampir sebagian besar kritikus menyukainya, namun Rex Reed dari The New York Observer dengan jahatnya menyebut mother! sebagai film paling buruk abad ini, sementara Caryn James dari BBC menyebut film ini sebagai pretentious mess. Di situs Rotten Tomatoes skor yang didapatkan mother! juga cuma 68%.  Saya sendiri cenderung untuk tidak terlalu suka. Saya mengagumi keberanian yang dilakukan sutradara  Darren Aronofsky (dan Paramount Pictures yang bertindak sebagai distributor), namun saya tidak bisa mengatakan bahwa mother! adalah sebuah film yang cerdas. Mother! bahkan bukan film yang ingin saya tonton lagi suatu saat, dan itu bukan karena adegan kontroversi di bagian akhirnya....

Saya nggak cukup yakin apakah cara menonton mother! yang terbaik adalah dengan tidak membaca satu review-pun tentang film ini yang bisa jadi mengandung sedikit spoiler, supaya saat kamu nonton pertama kalinya kamu akan merasa otakmu benar-benar dikacaukan oleh Aronofsky. Tapi jika memang menurutmu ini cara yang baik, maka ada baiknya stop baca review ini sampai di sini, soalnya review saya akan mengandung spoiler. Saya pribadi sih ngerasa sebaiknya kamu tahu apa yang Aronofsky maksudkan sebelum nonton, supaya ada sedikit bekal biar paham inti filmnya. Hal ini yang saya lakukan pada saat nonton film ini. Arofonosky dan Jennifer Lawrence (yang by the way, keduanya pacaran pas produksi film ini) sendiri dalam inteview-nya untuk promosi juga sudah ngasih bocoran tentang inti mother!: sebuah alegori relijius tentang Tuhan, ibu bumi, dan manusia. Setelah menggarap film tentang bahtera nabi Nuh lewat Noah (2013), Darren Aronofsky - yang kabarnya seorang atheis, menjadikan mother! sebagai intrepretasinya sendiri akan kisah dalam Alkitab. 

Tampaknya alegori ini sudah cukup jelas dengan tidak diberikannya nama spesifik pada setiap karakter yang ada. Javier Bardem, adalah seorang penulis puisi yang mengalami writer's block (dan tulisannya nantinya tentu saja mengacu pada firman Tuhan, Alkitab). Karakter Bardem disebut Him, (Him dengan huruf kapital H), so it's pretty obvious that he's God. Istrinya, Jennifer Lawrence, adalah mother, mengacu pada mother earth - ibu bumi. Tugasnya tampaknya mendukung karir sang suami sambil merawat dan mempercantik rumah yang mereka tinggali. Hubungan keduanya tampaknya seperti hubungan pernikahan yang tidak sehat - suami yang egois dan istri yang nrimo-an. Mungkin di kepala Arofonosky demikianlah hubungan antara Tuhan dan bumi: sebuah pernikahan yang nggak sehat dan hubungan cinta yang berat sebelah. Suatu hari mereka kedatangan seorang pria misterius, man (Ed Harris) - yang merujuk pada Adam, dan istrinya woman (Michelle Pfeiffer) - yang merujuk pada Eve (Hawa). Keduanya bertindak seenaknya, merepotkan karakter Lawrence, sementara karakter Bardem tampaknya sangat menikmati kehadiran keduanya. Lalu karakter Lawrence makin kewalahan dan kebingungan ketika tamu-tamu aneh terus berdatangan ke rumah mereka dan bertindak sesuka hati...

Jika tidak tahu tentang alegori Tuhan, bumi, manusia dll, maka mungkin kita berpikir mother! sekedar sekedar film horror versi lain dari Rosemary's Baby (1968). Belum lagi mother! juga merilis poster yang merupakan homage akan film horror klasik itu. Banyak elemen yang mungkin juga akan mengingatkan kita akan film Rosemary's Baby. Jennifer Lawrence adalah Mia Farrow, dan Javier Bardem adalah John Cassavetes. Pasangan suami istri Ed Harris dan Michelle Pfeiffer adalah tetangga nyentrik Rosemary dan suami, yang diperankan Sidney Blackmer dan Ruth Gordon. Namun sampai di sini saja kesamaan keduanya, karena pada third act-nya Aronofsky menyuguhkan adegan long sequence full of chaos: kerusuhan, pembunuhan, penyiksaan, hingga puncaknya daging bayi yang dimakan ramai-ramai. Tiga puluh menit bagian akhirnya sangat twisted, kita seperti sedang bermimpi buruk. Penonton awam yang nggak paham film semacam ini mungkin akan merasa film ini membingungkan dan membuat mual. 

Aronofsky kabarnya mendapat inspirasi untuk membuat mother! setelah membaca berita-berita penuh kekacauan yang kini terjadi di dunia. Ditambah mengetahui fakta bahwa ia seorang environmentalist, maka pesan dalam mother! kayaknya sudah terbaca dengan jelas: betapa mother earth (Jennifer Lawrence) sudah memberikan segalanya untuk Tuhan (Javier Bardem) dan tamunya (manusia), tapi manusia tetap saja seenaknya sendiri dan nggak tahu terima kasih. I get this point, tapi apakah pesan ini bisa disampaikan dengan baik melalui filmnya? 

Sayangnya menurut saya enggak. This movie is intense and disturbing, but I can't feel and learn anything new. Kalau emang Aronofsky hendak kasih nasihat ke saya untuk menjaga bumi, saya lebih tersentuh dengan kampanye diet plastik National Geographic atau nontonin dokumenter beruang kutub di BBC yang sekarat karena efek global warming. Jika memang pesan yang ingin disampaikan Aronofsky adalah agar manusia tidak bertindak seenaknya sendiri di dunia dan mensyukuri apa yang sudah mother earth lakukan kepada kita, saya tidak mendapatkannya di sini (atau memang bukan itu yang sedang Aronofsky lakukan?). Kesan yang saya dapatkan di sini cuma bahwa Aronofsky mempersonifikasi Tuhan (Javier Bardem) sebagai sosok egois, narsistik dan haus pujian - tapi juga pengampun, walaupun hal ini hanya supaya ia tetap dipuji dan membiarkan mother earth yang menanggung bebannya. Sementara pesan yang nancap di benak saya cuma overpopulasi berbahaya buat bumi dan fanatisme buta pada agama membuatnya semakin kacau. 

Saya mengagumi keberanian yang dilakukan Aronofsky dengan mempersonifikasi Tuhan dan Bumi, beberapa alegorinya juga sudah cukup jelas (you can read it here), namun banyak hal masih membuat kita bertanya-tanya. Saya ngerasa naskahnya tidak cukup solid, dan script-nya sendiri ga bagus-bagus banget. Ada banyak hal dari film ini yang terasa membingungkan, tapi sementara sebagian orang berusaha menebak isi kepala Aronofsky, saya merasa Aronofsky sendiri sebenarnya kebingungan untuk mengejawentahkan ide-ide di kepalanya. Saya ga cuma bicara cairan kuning aneh yang diminum mother - yang masih belum jelas maksudnya apa, tapi saya juga masih berusaha memahami hubungan Him dan mother dalam pernikahan mereka yang tidak imbang dan patriarkal, persetubuhan mendadak keduanya dan sejauh mana relevansinya dengan Alkitab, karakter man (Ed Harris) yang merokok seenaknya sendiri (dan berprofesi sebagai dokter ortopedi), interaksi antara woman (Michelle Pfeiffer) dan mother yang aneh, dan detail-detail lainnya yang sulit saya tuliskan di sini. Adakah detail-detail itu penting dan punya makna khusus? Ataukah detail-detail ini dipaksakan dan asal saja? 

Saya sebenarnya cukup menyukai langkah yang dilakukan Aronofsky lewat Matthew Libatique, sinematografer langganannya, yang memilih menggunakan hand-held camera dan mengikuti kemanapun karakter Lawrence melangkah. Sepanjang film kamera sangat dominan menyorot wajah Jennifer Lawrence secara close-up, dan sesekali menampilkan situasi yang ada lewat sudut pandang Lawrence. Konon katanya 66 menit dari 121 menit film ini menampilkan wajah Jennifer Lawrence. Ini adalah beban yang cukup berat yang harus diemban Jennifer Lawrence karena separuh film adalah tentang ekspresi wajahnya,  ditambah lagi karakternya adalah karakter yang rumit. Tapi sayangnya... saya tidak merasa performanya luar biasa. I know she's a good actress and I love her personality, namun kayaknya arahan Aronofsky membuatnya hampir selalu menampilkan ekspresi naif dan kebingungan yang lama-lama terasa menjemukan. Dan saya ga bisa menemukan koneksi antara akting dan peran Jennifer Lawrence itu dengan gagasan besar yang ingin disampaikan film ini sendiri. Am I supposed to feel bad and sorry about her? Saya hanya menemukan diri saya sama tersesat dan kebingungannya dengan karakter Lawrence. I'm not dragged into her character and its movie itself. 

Overview:
Mengutip dari apa yang ditulis Julia Alexander di polygon.com, mother! membagi penonton menjadi 3 kubu: penonton yang tidak tahu maksud film ini dan tidak menyukainya, penonton yang merasa tahu maksud film ini dan menyukainya, dan penonton yang merasa tahu apa yang Aronofsky lakukan dan tidak menyukainya. Saya, termasuk yang ketiga. Mother! adalah sebuah film alegori yang berani, kontroversial, intens, dan unsur misteriya juga membuat kita penasaran untuk menontonnya sampai akhir. Namun di balik alegori yang berani itu, saya tidak cukup bisa mendapatkan dan memahami gagasan besar yang ingin disampaikan oleh Darren Aronofsky. Ini adalah film yang berani, namun sebenarnya nggak terlalu cerdas dan tidak kompleks (atau saya aja yang kurang paham?). Saya nggak merasa terkoneksi dengan karakter utamanya, pun saya merasa Darren Aronofsky juga tidak cukup kuat dan solid dalam menyampaikan hal yang ingin ia sampaikan. Tapi seenggaknya Aronofsky berhasil menjadikan mother! sebagai bahan perbincangan setiap penonton yang sudah menonton film ini. Tapi semoga saja penonton tidak cuma sekedar membicarakan kontroversi bayi yang dimakan ramai-ramai atau dada Jennifer Lawrence yang kelihatan dari balik bajunya yang nerawang, namun juga pesan moral kuat yang ingin disampaikannya. 

Senin, 18 Juni 2018

Suspiria (1977) (4/5)

Suspiria (1977) (4/5)


"Susie, do you know anything about... witches?"
 
RottenTomatoes: 91% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 79/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R | Genre : Horror

Directed by Dario Argento ; Produced by Claudio Argento ; Written by Dario Argento, Daria Nicolodi ; Based on Suspiria de Profundis by Thomas De Quincey ; Starring Jessica Harper, Stefania Casini, Flavio Bucci, Miguel Bosé, Barbara Magnolfi, Susanna Javicoli, Eva Axén, Alida Valli, Joan Bennett ; Narrated by Dario Argento, William Kiehl (English version) ; Music by Goblin, Dario Argento ; Cinematography Luciano Tovoli ; Edited by Franco Fraticelli ; Production companySeda Spettacoli ; Distributed by Produzioni Atlas Consorziate ; Release date1 February 1977 ; Running time98 minutes : Country Italy ; Language Italian, Russian, English, German, Latin

Story / Cerita / Sinopsis :
Suzy Bannion (Jessica Harper) tiba di Tanz Dance Academy di Freiburg - Jerman, untuk belajar balet, tanpa mengetahui bahwa hal-hal aneh menantinya di sana.

Review / Resensi: 
Sebagai penikmat film yang moody, sejauh ini saya hanya nonton film yang memang ingin saya tonton aja. Berhubung saya bukan penikmat film-film klasik, maka film-film di bawah tahun 90-an yang sudah saya tonton juga masih sangat sedikit. Jadi, saya nggak akan ngeklaim diri ini sebagai movie expert (atau istilah yang belakangan lagi ngetrend: movie elitist?). Kenapa saya nggak suka nonton film klasik? Karena sejujurnya, buat saya film-film lama itu terasa sangat... awkward. Menurut saya, biasanya film klasik tetap disukai oleh banyak orang karena unsur nostalgianya. Tapi kalau penonton awam (apalagi generasi milenial yang lahir di tahun 2000-an) disuruh nonton film klasik, saya nggak yakin mereka akan mengapresiasi dengan baik. Saya aja kalo disuruh nonton film horror lawas bukannya takut malah pengen ketawa. Suspiria -  salah satu film horror-klasik yang sering disebut sebagai salah satu film horror terbaik dari dekade 70-80an - termasuk salah satu film lama yang buat saya terasa awkward kalo ditonton jaman sekarang. Maka ampuni saya jika review saya berikut ini terasa agak asal-asalan dan kurang bisa memberi penghormatan yang layak ....

Suspiria dimulai dari kedatangan Suzy Bannion (Jessica Harper) di bandara dari Amerika Serikat untuk belajar balet di Tanz Dance Academy, Jerman. Kedatangannya di tengah malam dan diiringi badai hujan itu disambut dengan peristiwa aneh, seorang perempuan bernama Pat - yang belakangan diketahui salah satu murid Tanz Dance Academy - lari dengan ketakutan dari akademi tersebut. Tak lama kemudian Pat ditemukan mati dengan cara mengenaskan. Peristiwa-peristiwa yang lebih anehpun kemudian terjadi di akademi tersebut, membuat Suzy curiga bahwa akademi tersebut menyimpan suatu misteri yang harus diungkap.

Dario Argento adalah sutradara Italia yang cukup berpengaruh di dunia film horror pada dekade 70-80an, terutama pada subgenre giallo - sebutan untuk film dan literatur thriller - horror dari Italia. Mengutip dari Wikipedia, genre giallo ini punya elemen misteri dan seringnya juga mengandung unsur slasher, fiksi kriminal, thriller dan horror psikologis, sexploitation, dan terkadang supranatural. Dario Argento menyutradarai sebuah trilogi yang disebutnya "The Three Mothers", yang berkisah tentang penyihir kuno di tiga kota modern yang berbeda. Suspiria adalah film pertama dalam trilogi tersebut, dan sering disebut sebagai salah satu karya terbaik Argento sekaligus paling populer. Anyway, Luca Guadagnino (Call Me By Your Name, 2017) tahun ini ngeremake Suspiria (atau Guadagnino lebih suka menyebutnya sebagai "interpretasi bebas") yang dibintangi oleh Dakota Johnson dan Tilda Swinton, dengan - oh yes - Thom Yorke dari Radiohead sebagai pengisi musiknya. Trailernya baru aja keluar, and omg it's scary af. Nah, sekarang kamu tahu kenapa saya akhirnya mbelani untuk nonton versi ori Suspiria kan? 

Tagline pada poster Suspiria berbunyi seperti ini: "The Only Thing More Terrifying Than The Last 12 Minutes Of This Film Are The First 92". Wow, emangnya seseram dan sebagus apa sih Suspiria ini?



Oke, saya akan ngasih opini jujur sehubungan dengan saya yang baru nonton 41 tahun sejak filmnya pertama kali ditayangkan. Saya sudah bilang kan kalo saya agak sedikit punya masalah dengan nonton film lama? Buat saya yang terbiasa nonton film mondern. saya susah untuk ngelepas konteks bahwa film ini dibuat tahun '77. Pertama, yang paling mengganggu, tentu aja Suspiria masih sangat terbatas dalam perkara practical dan special effect-nya. Hal ini bikin efek gore yang muncul bukannya nakutin, malah buat saya pengen ketawa (*maafin*). Darah yang muncul, lebih terlihat seperti saos tomat ga jelas yang sering kita jumpai saat makan bakso pinggir jalan atau malah kayak selai strawberry. Kedua, editing dan pengambilan gambarnya masih sangat lama dan kasar. Belum lagi teknik yang digunakan masih teknik dubbing yang umum dilakukan kala itu di industri perfilman Italia. Ketiga, saya selalu agak terganggu dengan film lama karena akting para pemainnya terasa nggak natural dan dibuat-buat. Termasuk Jessica Harper yang akting pas pusingnya terasa sangat lebay di mata saya. Keempat, saya nonton ini sama mama saya. Beliau selalu nyinyir tiap nonton film horror, dan saat nonton Suspiria ini beliau jadi komentator yang berisik setiap tokoh utamanya melakukan kebodohan. Gimana mood saya nggak makin ancur. (Tapi yang bikin saya heran, film cult-classic macam Suspiria ini beliau nyinyirin, tapi di lain sisi beliau serius banget kalau nonton Karma di Anteve. Ya Allah ~).

Tapi saya bisa memahami betapa seramnya Suspiria pada masa itu. Nggak seperti Rosemary's Baby (1968) atau The Exorcist (1973) yang agak bertele-tele dalam ceritanya, Suspiria langsung menyajikan adegan gore penyiksaan seorang perempuan di menit-menit awal. Adegan brutalnya emang agak "wagu" kalo ditonton sekarang, tapi kalo inget film ini dibikin tahun '77, scene gore-nya sudah termasuk eksplisit dan ngeri. Favorit saya tentu aja puas adegan nyemplung ke "kamar berduri" - salah satu scene cerdas dimana Argento menampilkan adegan ini dalam satu menit yang bikin ngilu. Argento juga pintar menyisipkan momen-momen suspense yang menegangkan dan terasa khas Hitchcock, salah satunya ketika kita diajak menjelajahi ruangan demi ruangan Tanz Academy dan suara parau misterius nan menyeramkan dari sosok bayangan aneh.

Yang paling spesial dari Suspiria tentu saja bahwa Suspiria bukan sekedar film horror, tapi film horror yang artsy. Saya rasa ini hal paling mengesankan dari Suspiria yang membuatnya relevan hingga saat ini. Saya suka dekorasi dan interior bangunan yang ada, dengan ciri khas retro dan art-deco yang super cantik (dan creepy). Eksterior Tanz Academy dengan cat merahnya terasa gothic, kabarnya terinspirasi langsung dari Haus de Walfisch di Jerman. Ciri bangunannya mengingatkan saya dengan sebuah hotel di Lawang, Malang yang kabarnya banyak hantunya. Gimana ga serem.


Yang juga sangat impresif dan mengukuhkan Argento sebagai auteuristic director adalah penggunaan cahayanya dengan dominasi warna merah yang terasa bold, dramatis, dan psychedelic. Untuk mencapai palette warna-warna yang kaya ini, Suspiria menggunakan teknik proses pasca produksi dengan mesin Technicolor (apa itu? Saya juga ga ngerti-ngerti banget haha). Suspiria adalah salah satu film terakhir yang menggunakan ini. Menonton Suspiria mengingatkan saya dengan visual style film-film Nicolas Winding Refn, dan kabarnya Suspiria memang salah satu film yang menginspirasi doi. Guilermo del Toro juga kabarnya terinspirasi dari Suspiria saat menggarap Crimson Peak.

Eits, dan jangan lupakan juga soundtrack music tak terlupakan dari band progresif rock Goblin yang bekerjasama dengan Dario Argento sendiri. Tidak seperti film-film horror sunyi yang meminimalkan penggunaan suara dan memanfaatkan bunyi-bunyian bernada tinggi yang seram di saat yang tepat, Suspiria adalah film horror yang berisik. Hal ini bahkan sudah dimulai dari awal film dimulai, scoring music dari Goblin ft Argento sudah didendangkan dan menjadi penanda tentang hal-hal buruk yang akan terjadi. Musiknya terdengar aneh, animalistik, dengan racauan parau nggak jelas yang beneran seperti suara setan dari neraka. Sangat eksperimental pada masanya, bikin saya berpikir bahwa dipilihnya Thom Yorke sebagai pengisi musik di versi baru Suspiria adalah pilihan yang tepat karena musiknya memang terdengar seperti Radiohead. Bedanya, Goblin ini terdengar lebih berisik, penuh amarah, dan sadis, sementara musik Radiohead lebih terasa depresif yang suram (demikian juga kalo saya menganalisa sekilas dari trailernya). Scoring music dari Goblin ini mungkin terdengar terlalu ramai bagi sebagian orang dan sebagian penempatannya agak kurang pas, tapi Dario Argento masih pintar kok menampilkan adegan-adegan sunyi yang menegangkan.

Overview :
Sebagai penikmat film biasa, tentu buat saya menonton Suspiria yang diproduksi lebih dari empat puluh tahun terasa sedikit wagu dan konyol. Tapi toh hal ini kerap saya alami pada sebagian besar film-film lama yang diproduksi di bawah dekade 90an. But I get it why people call Suspiria is a cult-classic horror movie. Suspiria cukup seram pada masanya, namun aspek artistik-lah yang paling menonjol dan menjadikan Suspiria masih relevan hingga saat ini. Interior dekorasinya super-retro dan cantik, penggunaan lighting yang menawan dan iconic, dan scoring music dari Goblin membuat Suspiria makin membekas di ingatan.  

Selasa, 05 Juni 2018

Download Film Jailangkung 2 (2018) Full Movies

Download Film Jailangkung 2 (2018) Full Movies

Download Film Jailangkung 2 (2018) Full Movies - Film Jailangkung 2 bercerita tentang Sebagai anak paling kecil yang tidak pernah mengenal ibunya, Tasya (Gabriella Quinlynn) merasa kesepian. Tanpa sengaja ia menonton rekaman video lama milik ayahnya, Ferdi (Lukman Sardi), yang pernah berkomunikasi dengan arwah almarhumah istrinya menggunakan Jailangkung.


Download Film Jailangkung 2 (2018) Full Movies
Tasya pun merakit jailangkung sendiri dan memainkannya dengan harapan bisa berkomunikasi dengan almarhumah ibunya. Kejadian ini rupanya membangkitkan berbagai masalah, termasuk arwah pembawa petaka. Bella (Amanda Rawles) dan Rama (Jefri Nichol) bergabung dengan rekan baru mereka, Bram (Naufal Samudra), dalam petualangan sampai ke dasar laut untuk mengalahkan titisan setan yang menguasai Angel (Hannah Al Rasyid) dan membawa pergi Tasya ke tempat gaib.

Judul : Jailangkung 2
Produser : Sukdev Singh, Wicky V Olindo
Sutradara : Rizal Mantovani, Jose Poernomo
Penulis : Ve Handoyo, Baskoro Adi Wuryanto
Pemeran : Amanda Rawles, Jefri Nichol, Hannah Al Rashid, Lukman Sardi, Naufal Samudra
Tanggal Tayang : 15 June 2018
Genre : Horror
Info : Google

Link Download Film Jailangkung 2 (2018) Full Movies 320p 480p 720p 1080p DVDRip (Belum Tersedia Silahkan di cek terus)
360p   : OpenLoad - GoogleDrive
480p   : OpenLoad - GoogleDrive
540p   : OpenLoad - GoogleDrive
720p   : OpenLoad - GoogleDrive

Link Download Film Jailangkung 2 (2018) Full Movies 320p 480p 720p 1080p WEB-DL (Belum Tersedia Silahkan di cek terus)
360p   : OpenLoad - GoogleDrive
480p   : OpenLoad - GoogleDrive
540p   : OpenLoad - GoogleDrive
720p   : OpenLoad - GoogleDrive

Link Download Film Jailangkung 2 (2018) Full Movies 320p 480p 720p 1080p BluRAY (Belum Tersedia Silahkan di cek terus)
360p   : OpenLoad - GoogleDrive
480p   : OpenLoad - GoogleDrive
540p   : OpenLoad - GoogleDrive
720p   : OpenLoad - GoogleDrive

Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies Lk21,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies xxi,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies ganool,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies sukamovi,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies indofilms,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies fmzm,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies GudangMovies21,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies dfg17,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies Thainesia,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies Moviedramagued,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies ganoolfilms,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies indonesia-movies21,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies movie21,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies 21cineplex,Download Jailangkung 2 (2018) Full Movies bioskop21

Minggu, 15 April 2018

REVIEW : REUNI Z

REVIEW : REUNI Z


“Halo, ini kita lagi di reuni. Tiba-tiba temen-temen kita pada mati semuanya. Minta tolong kirimkan pasukan kemari, Pak.” 

“Ndak mau diselesaikan secara kekeluargaan? Kita orang Indonesia, menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat.” 

“Nggak bakal sampai mufakat, Pak. Yang ada, musyawarah sampai akhirat.” 

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler) 

Sosok peneror dalam film seram berwujud mayat hidup yang berjalan gontai dan gemar memangsa manusia yang dikenal sebagai zombie, dapat dikatakan kalah pamor (sangat jauh) dibandingkan pocong, sundel bolong, atau kuntilanak di perfilman Indonesia. Bisa jadi, ini disebabkan oleh statusnya sebagai memedi impor sehingga masyarakat kurang memiliki ikatan kuat dengan mereka sehingga menjadikannya kurang menyeramkan. Alhasil tidak banyak film buatan dalam negeri yang mempergunakan jasa zombie untuk menakut-nakuti khalayak ramai. Beberapa yang terlintas di kepala hanyalah Pengabdi Setan (1980, 2017), segmen ‘The Rescue’ dalam Takut: Faces of Fear (2008), Kampung Zombie (2015), serta 5 Cowok Jagoan (2017), yang sebagian besar diantaranya memperoleh resepsi tak menggembirakan dari penonton film Indonesia. Meski pasar kurang memberi sambutan positif, duo Soleh Solihun dan Monty Tiwa (Mau Jadi Apa?), nekat menempatkan zombie di posisi peneror utama dalam film terbaru mereka yang mengambil jalur komedi horor, Reuni Z. Di sini, para zombie mendadak berkeliaran di satu gedung sekolah saat sebuah reuni tengah berlangsung. Pemicunya, beberapa pengisi acara yang tanpa sengaja terkontaminasi virus misterius selepas mereka makan bakso di pinggir sekolah. 

Sebelum film menenggelamkan diri sepenuhnya pada teror mayat hidup, film mengajak penonton untuk melongok sejenak ke masa lalu beberapa karakter sentral lalu menengok bagaimana kehidupan mereka saat ini. Dalam kilas balik, kita mengetahui bahwa persahabatan Juhana (Soleh Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) merenggang usai performa band mereka di pensi sekolah berakhir buruk. Juhana lantas berkarir di dunia hiburan sebagai bintang iklan dan pemain film kelas ecek-ecek, sementara Jeffri yang kini menikahi rekan bandnya, Lulu (Ayushita Nugraha), menjalani rutinitas sebagai pria kantoran seraya sesekali mengunggah permainan gitarnya di Youtube. Dua sahabat yang tak lagi saling bicara ini lantas dipertemukan kembali dua puluh tahun kemudian dalam reuni SMA Zenith angkatan 1997. Mereka, termasuk Lulu, bertemu pula dengan Marina (Dinda Kanyadewi) yang tak dikenali oleh siapapun, Raina (Fanny Fabriana) yang kini menjadi EO kondang, serta Jody (Surya Saputra) yang tak pernah berhenti merundung kawan-kawannya yang lemah. Reuni yang diwarnai segala kecanggungan ini perlahan tapi pasti berubah menyeramkan setelah sejumlah cheerleader yang mengisi acara menjelma sebagai zombie dan memangsa peserta reuni satu demi satu.


Materi cerita yang diusung oleh Reuni Z harus diakui tergolong menggelitik rasa penasaran. Memanfaatkan acara reunian yang acapkali dipenuhi basa-basi belaka (dan kepalsuan) sebagai latar utama untuk melepas serangan zombie. Dari sini lantas muncul satu pertanyaan, “akankah manusia-manusia yang sudah tidak lagi berinteraksi secara intensif selama sekian tahun akan saling bahu membahu untuk menyelamatkan diri atau justru mementingkan keselamatan masing-masing?.” Menarik sekali, bukan? Disamping melontarkan materi yang jarang dikupas dalam film produksi Indonesia, Reuni Z turut menghadirkan pemain ansambel menjanjikan seperti Tora Sudiro, Soleh Solihun, Ayushita Nugraha, Dinda Kanyadewi, Surya Saputra, Fanny Fabriana, Cassandra Lee, Kenny Austin serta pasangan bapak-anak Henky Solaiman dan Verdi Solaiman, yang kian meningkatkan daya jualnya. Membuat Reuni Z terlihat seperti film yang patut dimasukkan ke daftar tontonan wajib. Menetapkan ekspektasi bagus kala melangkahkan kaki ke bioskop, nyatanya lagi-lagi membawa saya pada kekecewaan besar begitu keluar dari gedung bioskop. Reuni Z berakhir sebagai sajian yang serba tanggung. Sebagai film komedi, dia kurang mampu menghadirkan gelak tawa. Sebagai film horor, dia kurang berhasil memberikan daya cekam yang sanggup membuat penonton meringkuk di kursi bioskop. 

Tidak terhitung berapa banyaknya lontaran humor yang meleset dalam Reuni Z. Ketimbang tergelak-gelak, saya justru berulang kali dibuat mencari-cari letak kelucuannya. Garing euy! Dari seabrek pelakon yang dikerahkan, satu-satunya yang cukup berhasil membawa keriuhan di gedung bioskop secara konsisten hanyalah Dinda Kanyadewi sebagai si perempuan misterius. Memiliki comic timing yang bagus (seperti ditunjukkannya dalam Hangout dimana dia juga menyelamatkan film), celetukan dan tingkah lakunya yang ajaib mampu mengundang tawa renyah – bahkan cara dia mengucapkan “Marinaaa…” masih terngiang sampai sekarang. Tanpa kehadirannya, bisa jadi tawa akan semakin jarang terdengar dalam Reuni Z. Elemen horor yang dijadikan tumpuan selepas elemen komedi yang anyep pun tidak berjalan secara semestinya. Ada satu dua momen yang membuat diri ini berdebar-debar, seperti saat serangan pertama kali terjadi, tapi secara keseluruhan film terasa melelahkan buat disimak. Pemicunya, aturan main dalam menjadi atau membunuh zombie yang sama sekali tak jelas sehingga meminimalisir pertaruhan. Meminimalisir ketegangan.  Ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menjelma menjadi zombie? Karena Reuni Z tidak pernah memaparkannya secara konsisten (terkadang sekejap, terkadang butuh waktu beberapa menit). Lalu bagaimana bisa merasakan ketegangan saat zombie bisa dibunuh atau dikelabui dengan cara apapun? Bayangkan, kamu tak perlu repot-repot mencari benda tajam atau meminta bala bantuan dari polisi karena sebetulnya kentut sudah lebih dari cukup untuk membuat para zombie menjauh.


Jika demikian, kenapa berita membahagiakan ini tidak segera disebarkan kepada para penyintas? Memangnya bau kentut memiliki tingkatan yang berbeda-beda ya sehingga hanya orang tertentu yang bisa mengeluarkan bau tak tertahankan? Jika tidak, seharusnya para penyintas ini tidak perlu repot-repot menjangkau aula demi memainkan musik rock untuk membunuh para zombie yang pada akhirnya mengorbankan beberapa karakter inti, dong? Tinggal kentut bareng lalu sisanya memberi perlawanan menggunakan pecahan gelas, kelar perkara. Lagipula misi utama mereka hanya untuk meninggalkan sekolah bukan memusnahkan zombie, to? Disinilah saya merasa pusing. Andai sedari awal Reuni Z telah menetapkan satu solusi untuk membasmi zombie, daya cekam itu mungkin masih ada (sekalipun keputusan untuk mengubah beberapa karakter inti menjadi zombie lalu menghempaskan mereka begitu saja juga membuat garuk-garuk kepala). Sayangnya, naskah yang juga kekurangan materi humor lucu ini terlampau sering mengambil jalan pintas demi mengurai masalah yang berdampak pula pada terurainya ketertarikan untuk mengikuti film. Padahal, Reuni Z telah mengajukan materi menarik dan bersedia memberi backstory mencukupi yang membuat satu dua karakter layak diberi dukungan. Sungguh disayangkan.

Acceptable (2,5/5)