Tampilkan postingan dengan label Zombie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Zombie. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 April 2018

REVIEW : REUNI Z

REVIEW : REUNI Z


“Halo, ini kita lagi di reuni. Tiba-tiba temen-temen kita pada mati semuanya. Minta tolong kirimkan pasukan kemari, Pak.” 

“Ndak mau diselesaikan secara kekeluargaan? Kita orang Indonesia, menjunjung tinggi musyawarah untuk mufakat.” 

“Nggak bakal sampai mufakat, Pak. Yang ada, musyawarah sampai akhirat.” 

(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler) 

Sosok peneror dalam film seram berwujud mayat hidup yang berjalan gontai dan gemar memangsa manusia yang dikenal sebagai zombie, dapat dikatakan kalah pamor (sangat jauh) dibandingkan pocong, sundel bolong, atau kuntilanak di perfilman Indonesia. Bisa jadi, ini disebabkan oleh statusnya sebagai memedi impor sehingga masyarakat kurang memiliki ikatan kuat dengan mereka sehingga menjadikannya kurang menyeramkan. Alhasil tidak banyak film buatan dalam negeri yang mempergunakan jasa zombie untuk menakut-nakuti khalayak ramai. Beberapa yang terlintas di kepala hanyalah Pengabdi Setan (1980, 2017), segmen ‘The Rescue’ dalam Takut: Faces of Fear (2008), Kampung Zombie (2015), serta 5 Cowok Jagoan (2017), yang sebagian besar diantaranya memperoleh resepsi tak menggembirakan dari penonton film Indonesia. Meski pasar kurang memberi sambutan positif, duo Soleh Solihun dan Monty Tiwa (Mau Jadi Apa?), nekat menempatkan zombie di posisi peneror utama dalam film terbaru mereka yang mengambil jalur komedi horor, Reuni Z. Di sini, para zombie mendadak berkeliaran di satu gedung sekolah saat sebuah reuni tengah berlangsung. Pemicunya, beberapa pengisi acara yang tanpa sengaja terkontaminasi virus misterius selepas mereka makan bakso di pinggir sekolah. 

Sebelum film menenggelamkan diri sepenuhnya pada teror mayat hidup, film mengajak penonton untuk melongok sejenak ke masa lalu beberapa karakter sentral lalu menengok bagaimana kehidupan mereka saat ini. Dalam kilas balik, kita mengetahui bahwa persahabatan Juhana (Soleh Solihun) dan Jeffri (Tora Sudiro) merenggang usai performa band mereka di pensi sekolah berakhir buruk. Juhana lantas berkarir di dunia hiburan sebagai bintang iklan dan pemain film kelas ecek-ecek, sementara Jeffri yang kini menikahi rekan bandnya, Lulu (Ayushita Nugraha), menjalani rutinitas sebagai pria kantoran seraya sesekali mengunggah permainan gitarnya di Youtube. Dua sahabat yang tak lagi saling bicara ini lantas dipertemukan kembali dua puluh tahun kemudian dalam reuni SMA Zenith angkatan 1997. Mereka, termasuk Lulu, bertemu pula dengan Marina (Dinda Kanyadewi) yang tak dikenali oleh siapapun, Raina (Fanny Fabriana) yang kini menjadi EO kondang, serta Jody (Surya Saputra) yang tak pernah berhenti merundung kawan-kawannya yang lemah. Reuni yang diwarnai segala kecanggungan ini perlahan tapi pasti berubah menyeramkan setelah sejumlah cheerleader yang mengisi acara menjelma sebagai zombie dan memangsa peserta reuni satu demi satu.


Materi cerita yang diusung oleh Reuni Z harus diakui tergolong menggelitik rasa penasaran. Memanfaatkan acara reunian yang acapkali dipenuhi basa-basi belaka (dan kepalsuan) sebagai latar utama untuk melepas serangan zombie. Dari sini lantas muncul satu pertanyaan, “akankah manusia-manusia yang sudah tidak lagi berinteraksi secara intensif selama sekian tahun akan saling bahu membahu untuk menyelamatkan diri atau justru mementingkan keselamatan masing-masing?.” Menarik sekali, bukan? Disamping melontarkan materi yang jarang dikupas dalam film produksi Indonesia, Reuni Z turut menghadirkan pemain ansambel menjanjikan seperti Tora Sudiro, Soleh Solihun, Ayushita Nugraha, Dinda Kanyadewi, Surya Saputra, Fanny Fabriana, Cassandra Lee, Kenny Austin serta pasangan bapak-anak Henky Solaiman dan Verdi Solaiman, yang kian meningkatkan daya jualnya. Membuat Reuni Z terlihat seperti film yang patut dimasukkan ke daftar tontonan wajib. Menetapkan ekspektasi bagus kala melangkahkan kaki ke bioskop, nyatanya lagi-lagi membawa saya pada kekecewaan besar begitu keluar dari gedung bioskop. Reuni Z berakhir sebagai sajian yang serba tanggung. Sebagai film komedi, dia kurang mampu menghadirkan gelak tawa. Sebagai film horor, dia kurang berhasil memberikan daya cekam yang sanggup membuat penonton meringkuk di kursi bioskop. 

Tidak terhitung berapa banyaknya lontaran humor yang meleset dalam Reuni Z. Ketimbang tergelak-gelak, saya justru berulang kali dibuat mencari-cari letak kelucuannya. Garing euy! Dari seabrek pelakon yang dikerahkan, satu-satunya yang cukup berhasil membawa keriuhan di gedung bioskop secara konsisten hanyalah Dinda Kanyadewi sebagai si perempuan misterius. Memiliki comic timing yang bagus (seperti ditunjukkannya dalam Hangout dimana dia juga menyelamatkan film), celetukan dan tingkah lakunya yang ajaib mampu mengundang tawa renyah – bahkan cara dia mengucapkan “Marinaaa…” masih terngiang sampai sekarang. Tanpa kehadirannya, bisa jadi tawa akan semakin jarang terdengar dalam Reuni Z. Elemen horor yang dijadikan tumpuan selepas elemen komedi yang anyep pun tidak berjalan secara semestinya. Ada satu dua momen yang membuat diri ini berdebar-debar, seperti saat serangan pertama kali terjadi, tapi secara keseluruhan film terasa melelahkan buat disimak. Pemicunya, aturan main dalam menjadi atau membunuh zombie yang sama sekali tak jelas sehingga meminimalisir pertaruhan. Meminimalisir ketegangan.  Ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi seseorang untuk menjelma menjadi zombie? Karena Reuni Z tidak pernah memaparkannya secara konsisten (terkadang sekejap, terkadang butuh waktu beberapa menit). Lalu bagaimana bisa merasakan ketegangan saat zombie bisa dibunuh atau dikelabui dengan cara apapun? Bayangkan, kamu tak perlu repot-repot mencari benda tajam atau meminta bala bantuan dari polisi karena sebetulnya kentut sudah lebih dari cukup untuk membuat para zombie menjauh.


Jika demikian, kenapa berita membahagiakan ini tidak segera disebarkan kepada para penyintas? Memangnya bau kentut memiliki tingkatan yang berbeda-beda ya sehingga hanya orang tertentu yang bisa mengeluarkan bau tak tertahankan? Jika tidak, seharusnya para penyintas ini tidak perlu repot-repot menjangkau aula demi memainkan musik rock untuk membunuh para zombie yang pada akhirnya mengorbankan beberapa karakter inti, dong? Tinggal kentut bareng lalu sisanya memberi perlawanan menggunakan pecahan gelas, kelar perkara. Lagipula misi utama mereka hanya untuk meninggalkan sekolah bukan memusnahkan zombie, to? Disinilah saya merasa pusing. Andai sedari awal Reuni Z telah menetapkan satu solusi untuk membasmi zombie, daya cekam itu mungkin masih ada (sekalipun keputusan untuk mengubah beberapa karakter inti menjadi zombie lalu menghempaskan mereka begitu saja juga membuat garuk-garuk kepala). Sayangnya, naskah yang juga kekurangan materi humor lucu ini terlampau sering mengambil jalan pintas demi mengurai masalah yang berdampak pula pada terurainya ketertarikan untuk mengikuti film. Padahal, Reuni Z telah mengajukan materi menarik dan bersedia memberi backstory mencukupi yang membuat satu dua karakter layak diberi dukungan. Sungguh disayangkan.

Acceptable (2,5/5)

Jumat, 27 Januari 2017

REVIEW : RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER

REVIEW : RESIDENT EVIL: THE FINAL CHAPTER


We’re finally here, instalmen terakhir dari franchise Resident Evil yang didasarkan pada video game laris berjudul sama rekaan Capcom... atau setidaknya begitulah sangkaan kita. Usai dua jilid pendahulu, Afterlife dan Retribution, yang benar-benar melempem, sebetulnya pengharapan terhadap franchise ini telah sepenuhnya sirna. Kejar-kejaran antara sang protagonis, Alice (Milla Jovovich), dengan para zombie ganas yang didalangi oleh Umbrella Corporation telah sampai pada titik jenuh sehingga ketidakpedulian pada nasib Alice pun tak terelakkan. Maka begitu mendengar gagasan Paul W.S. Anderson berniat untuk mengkreasi seri lanjutan Resident Evil dan sekali ini menggunakan subjudul The Final Chapter yang besar kemungkinan berarti jilid penghujung, ada kelegaan disertai sekelumit kepenasaran terkait bagaimana Anderson akan menutup salah satu film adaptasi game tersukses di muka bumi ini. Membawa turut serta segala sikap skeptis ke gedung bioskop kala menyimak Resident Evil: The Final Chapter, alangkah terkejutnya diri ini begitu mendapati bahwa film ini menunjukkan peningkatan cukup signifikan dari dua instalmen sebelumnya. Whoa? 

Berselang tiga pekan selepas peristiwa di penghujung Retribution, Alice melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Pasca diserang oleh monster-monster beringas, pahlawan kita ini memperoleh pesan mengejutkan dari Red Queen yang mendadak menunjukkan itikad baik. Dalam pesan tersebut, Red Queen menginformasikan bahwa Umbrella berencana melepas virus guna memberangus secara total peradaban manusia dan Alice adalah satu-satunya harapan untuk menghentikannya. Berpacu dengan waktu serta tidak mempunyai banyak pilihan, Alice pun seketika bertolak ke tempat semua kekacauan ini bermula, Raccoon City. Membopong misi besar, tentu perjalanan Alice tidak serta mudah karena salah satu pemegang saham tertinggi di Umbrella yang juga musuh bebuyutannya, Dr. Alexander Isaacs (Iain Glen), dan Albert Wesker (Shawn Roberts) yang telah mengkhianatinya, berupaya untuk menghalau langkah Alice. Untung di tengah perjuangannya menembus laboratorium bawah tanah Umbrella, Hive, Alice berjumpa lagi dengan rekan seperjuangannya, Claire Redfield (Ali Larter), dan sekutu-sekutu baru Claire yang bersedia bahu membahu memberikan bantuan melawan korporasi lalim Umbrella usai mengetahui rencana terkutuk mereka. 

Ya, The Final Chapter adalah sebuah kemajuan jika disandingkan dengan Afterlife dan Retribution yang seringkali mendatangkan kebosanan. Bagi penonton yang telah antipati ke franchise ini sedari mula atau memang tak pernah menunjukkan ketertarikan lebih, berita bagus tersebut tidak berarti apapun. Tapi jika berinvestasi secara penuh entah karena faktor penggemar berat versi video game-nya maupun semata-mata kepincut dengan tiga jild awal yang harus diakui amat seru, jelas sebuah berkah. Paling tidak, Resident Evil berakhir – jika memang demikian adanya – mencapai konklusinya dengan kepala menengadah ke atas. Letak keberhasilan The Final Chapter adalah bagaimana Paul W.S. Anderson memanfaatkan bujet $40 jutanya secara maksimal dengan menciptakan setiap momen yang senantiasa berdentum keras. Lagipula, apa lagi sih motivasi penonton menyimak franchise ini di layar lebar selain mencari tontonan eskapisme yang berarti sarat adegan laga dan nuansa cekam? Instalmen keenam ini mencoba memenuhi itu. Berupaya kembali ke akarnya seperti jilid pertama dan kedua. Dipenuhi atraksi Mbak Alice melompat-lompat kesana kemari membantai para zombie yang senantiasa mengintai serta kelaparan. 

Sang sutradara menggeber serentetan laga yang meliputi pertarungan Alice dengan monster-monster ganas, berhadapan dengan antek-antek Umbrella termasuk musuh lamanya Dr. Alexander Isaacs di atas Hummer berjalan yang di sekelilingnya dikerumuni zombie, menyusup ke Hive yang menyimpan jebakan-jebakan maut tak terduga (ucapkan halo pada sinar laser dari film pertama!), hingga konfrontasi akhir yang menghadirkan pelintiran cukup mengejutkan dalam plot, nyaris tanpa putus. Satu kehebohan selesai langsung disambung kehebohan lain, terus menerus seperti itu sampai tutup durasi. Tidak memberi ruang bagi Alice untuk sekadar ngopi-ngopi cantik bersama Claire seraya bernostalgia. Menariknya, ada intensitas yang bisa dirasakan dalam setiap pertempuran yang dijabani oleh Alice sehingga menyulitkan rasa jenuh menyambangi penonton. Penggunaan jump scares untuk menimbulkan daya kejutnya memang agak berlebihan, begitu pula dengan kamera bergoncangnya dan penyuntingan bermetode quick cut-nya, tapi saat Milla Jovovich terlihat kembali bersemangat menghidupkan sosok Alice lalu mencuat pula sejumlah momen seru nan mencekam utamanya setelah pasukan Alice menyelinap ke Hive, titik lemah pun bisa diabaikan. Toh yang penting sebagai sebuah popcorn movie yang mengasyikkan ditonton beramai-ramai bersama teman, Resident Evil: The Final Chapter telah mencapai tujuannya, kan?

Noted : ada bonus di penghujung film yang penting-penting nggak penting. Jika kamu penggemar berat, kebetulan sedang tidak tergesa-gesa, dan bersedia menunggu sampai akhir, silahkan disimak. 

Exceeds Expectations (3,5/5)