Tampilkan postingan dengan label Kuntilanak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuntilanak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : KUNTILANAK (2018)

REVIEW : KUNTILANAK (2018)


“Sing kuat, sing melihara.” 

(Entah dengan kalian, tapi sebagai seorang Jawa tulen, saya sebetulnya merasa janggal dan terganggu dengan mantra ini. Kenapa sih tidak sepenuhnya dalam Bahasa Jawa? Sing kuwat sing ngingoni? Malah lebih terasa nuansa mistisnya to?)

Sineas di perfilman Indonesia pasca mati suri memang tergolong rajin menelurkan film horor. Akan tetapi, diantara ratusan judul yang telah dipertontonkan secara resmi ke hadapan publik, hanya segelintir saja yang bisa dikategorikan ‘oke’ hingga ‘bagus’. Kuntilanak (2006) garapan Rizal Mantovani adalah satu dari segelintir judul tersebut. Meski bagi saya secara pribadi film ini lebih condong ke seru ketimbang seram, tidak bisa disangkal bahwa Kuntilanak mempunyai penggarapan yang niat dengan mitologi yang cukup menarik buat dikulik. Menilik pencapaian judul tersebut di masa lampau secara kualitas maupun kuantitas (dibuktikan oleh kehadiran dua film kelanjutan yang sayangnya tak seberapa oke namun tetap larisss), bukan sesuatu yang mengherankan tatkala MVP Pictures mencoba untuk membangkitkannya kembali pada satu dekade kemudian. Yaaa… hitung-hitung mengikuti tren ‘reborn’ yang kini tengah marak lah. Mengusung semangat baru, Kuntilanak versi 2018 yang juga digarap oleh Rizal Mantovani tak lagi mengandalkan kekuatan Mbak Samantha (Julie Estelle) untuk mengusir cantik Jeung Kunti dari dunia manusia melainkan bergantung pada kenekatan segerombolan bocah. Jalinan pengisahannya pun tidak sambung-menyambung menjadi satu dengan trilogi lawas sekalipun tembang Lingsir Wengi yang bikin bulu kuduk meremang itu masih diperdendangkan dan cermin antik pembawa petaka masih menampakkan diri. 

Guliran penceritaan dalam Kuntilanak versi termutakhir ini menempatkan fokusnya kepada lima bocah yatim piatu, yakni Dinda (Sandrinna Michelle Skornicki), Kresna (Andryan Bima), Ambar (Ciara Nadine Brosnan), Panji (Adlu Fahrezy), dan Miko (Ali Fikry), yang diadopsi oleh seorang kaya bernama Tante Donna (Nena Rosier). Mulanya sih, kelima bocah ini tinggal di rumah gedongan milik Tante Donna dengan aman sentosa sampai kemudian si pemilik rumah pamit sejenak untuk mengunjungi keluarganya di luar negeri. Dinda dan kawan-kawan dititipkan pada keponakan si tante, Lydia (Aurelie Moeremans), yang kebetulan sedang menjalin hubungan dengan presenter acara mistis, Glenn (Fero Walandouw). Bermaksud ingin memberi kejutan kepada Tante Donna, Glenn dan Lidya mengganti cermin di kamar si tante dengan sebuah cermin baru yang diangkut Glenn dari sebuah rumah angker yang disinggahinya. Tanpa diketahui oleh dua manusia ini, cermin tersebut merupakan portal menuju alam gaib yang didiami memedi bernama Kuntilanak. Tanpa diketahui oleh dua manusia ini pula, portal tersebut telah terbuka dan telah menelan korban. Alhasil, keanehan demi keanehan yang sulit dijabarkan dengan akal sehat pun mulai dirasakan oleh lima sekawan beserta Lydia di rumah Tante Donna. Saat Jeung Kunti meningkatkan ‘permainan’ menjadi petaka pengancam nyawa, maka tidak ada yang bisa menghentikannya kecuali si pemilik wangsit. Seseorang yang dianugerahi kelebihan untuk menyelesaikan perkara dengan makhluk-makhluk dari dimensi seberang.


Apabila kamu membawa ekspektasi “seram nih! Seru nih!” saat memutuskan untuk membeli tiket Kuntilanak di loket bioskop, maka redam segera. Level ‘seram’ maupun ‘seru’ yang dimiliki oleh Kuntilanak versi anyar ini bisa dikatakan tidak ada apa-apanya kala disandingkan dengan instalmen terdahulu. Sebetulnya, Rizal Mantovani membuka gelaran ini dengan menjanjikan ketika memberikan tinjauan dalam prolog mengenai kemampuan seperti apa yang dimiliki oleh cermin pembawa petaka. Atmosfer mencekamnya dapat terdeteksi, penceritaannya pun mempunyai dapat pikat mencukupi sehingga kita memiliki ketertarikan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di menit-menit berikutnya. Langkah yang telah mantap ini, sayangnya tidak berlangsung lama. Sedikit demi sedikit, daya cekam beserta daya pikat film mulai menguap seiring berjalannya durasi. Hingga pada satu titik saya pun bertanya-tanya, “apakah saya sedang menyaksikan film horor dengan bintang anak-anak atau justru film petualangan anak-anak dengan bumbu horor?.” Yang saya rasakan, ini tak ubahnya film petualangan anak-anak semacam Petualangan Sherina (2000) atau Naura dan Genk Juara (2017) yang kebetulan mengambil pendekatan horor tanpa ada sekuens musikal. Elemen lawak yang dimaksudkan untuk mencairkan ketegangan tergolong melimpah ruah sampai-sampai mendistraksi elemen horornya. Bahkan, ada pula tambahan backsound yang terasa salah tempat (dan tentu saja tidak diperlukan) setiap kali salah satu karakter mencoba untuk melucu. Alih-alih terkekeh, saya justru ingin mengeluarkan penyumbat telinga saking mengganggunya. 

Bisa dipahami bahwa pihak pembuat film ingin menghadirkan tontonan seram yang ramah bagi penonton akil baligh. Hanya saja, keputusan untuk memilih bermain aman dengan tetap berada di area ‘remaja’ ketimbang mengikuti jejak sumber inspirasi Kuntilanak yakni It (2017) yang berani menjajaki teritori ‘dewasa’ ini nyatanya bukanlah keputusan yang bijak. Kuntilanak seringkali berada di posisi serba tanggung. Memedinya terlalu menyeramkan bagi penonton akil baligh dan usia di bawahnya, tetapi guliran penceritaan rekaan Alim Sudio (Chrisye, Ayat-Ayat Cinta 2) berikut teror si memedi terlalu menjemukan bagi penonton yang telah merasakan seramnya kehidupan yang sesungguhnya. Disamping itu, Kuntilanak pun terlalu ceria sebagai sebuah film yang memproklamirkan dirinya sebagai film horor. Satu-satunya teror yang menggoreskan sekelumit rasa takut yakni ketika Dinda melihat sesosok perempuan menembangkan Lingsir Wengi di depan televisi pada tengah malam. Selebihnya? Sebatas parade trik menakut-nakuti klasik yang dimunculkan secara sesuka hati tanpa set up memadai dan repetitif. Aturan main jump scare terbaca dengan jelas; setiap karakter mendapatkan setidaknya satu kali momen berhadapan langsung dengan Jeung Kunti, sementara aturan main bersama Jeung Kunti (dalam artian, mitologinya) hanya dibahas di permukaan saja tanpa pernah dieksplorasi lebih mendalam. Itulah mengapa begitu film mencapai setengah jalan, saya sudah terkantuk-kantuk tidak karuan. Salah satu alasan yang lantas membuat saya bisa bertahan menyaksikan Kuntilanak dengan penceritaan berlarut-larut ini adalah performa para pemain cilik yang asyik. Setidaknya, mereka tampak menikmati bermain di film ini.

Acceptable (2,5/5)


Minggu, 01 Juli 2018

KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal

KUNTILANAK (2018) REVIEW : Potensi Yang Kurang Maksimal


Film horor sedang menjadi genreyang sedang mendapatkan hype sangat besar di perfilman Indonesia. Dimulai dari Danur, Jailangkung, hingga Pengabdi Setan, ketiganya memiliki raihan penonton yang sangat fantastis. Lantas, banyak judul-judul lain yang juga kena getahnya yang setidaknya mendapatkan raihan ratusan ribu penonton. Hal ini akhirnya juga membuat rumah produksi Multivision Plus ikut meramaikan genre ini.

Multivision Plus dulunya pernah memiliki franchise horor yang menjanjikan yaitu trilogi Kuntilanak. Multivision Plus ingin membangkitkan lagi mitos tentang Kuntilanak tersebut untuk ditonton oleh penonton masa kini. Rizal Mantovani adalah juru kunci atas ketiga cerita Kuntilanak yang melibatkan Julie Estelle. Di tahun 2018 ini, Kuntilanakkembali dipanggil dengan juru kunci yang sama tetapi melibatkan artis muda Aurelie Moeremans, Fero Walandouw, dan artis-artis cilik lainnya.

Naskah yang digunakan sebagai dasar pengarahan dari Rizal Mantovani ini ditulis oleh Alim Sudio. Dengan rekam jejak Rizal Mantovani dalam mengarahkan film horor, tentu banyak orang yang meragukan performa Kuntilanak sebagai sebuah film utuh. Sebuah prediksi yang kurang menyenangkan ini sayangnya benar-benar terjadi di film Kuntilanak terbaru ini. Jika harus dibandingkan dengan versi sebelumnya, Kuntilanakini tampil kurang sempurna sebagai sebuah film horor.


Film Kuntilanak terbaru ini memang masih menggunakan mitos yang sama. Bahkan, beberapa nama dan ciri-cirinya pun seperti masih menggunakan benang merah film trilogi Kuntilanak sebelumnya. Secara tulisan, Alim Sudio sebenarnya sudah berusaha untuk memberikan penuturan cerita yang runtut di dalam naskahnya. Problematika utama dari Kuntilanak terbaru ini adalah pengarahan dari Rizal Mantovani yang terasa tak matang.

Kuntilanak sebagai sebuah film horor, tak bisa mengeluarkan taringnya secara maksimal. Film ini tak bisa memberikan sensi ngeri yang harusnya ada di dalam sebuah film horor. Hanya saja sebagai sebuah film, Kuntilanak mampu memberikan cara berceritanya yang runtut meskipun harus banting setir ke genre lain. Berbedanya di film Kuntilanak kali ini adalah bagaimana karakter dari artis-artis cilik yang membuat film ini lebih memiliki cita rasa film dengan genre petualangan.


Kuntilanak terbaru ini menceritakan tentang mitos makhluk ini yang datang dari sebuah rumah tak berpenghuni. Rumah tersebut ternyata bekas dari sebuah keluarga yang anaknya pernah menghilang karena diambil oleh Kuntilanak. Cermin tempat Kuntilanak bersarang ini sayangnya berpindah ke rumah seorang Ibu Rumah Tangga bernama Donna (Nena Rosier). Donna hidup sebagai seorang Ibu yang mengadopsi banyak anak.

Cermin tersebut dibawa oleh Glenn (Fero Walandouw), pacar dari Lydia (Aurelie Moeremans) yang tinggal bersama Donna. Ketika Donna pergi ke luar negeri, anak-anak di dalam rumah tersebut ternyata harus berurusan dengan makhluk astral tersebut. Banyak kejadian-kejadian janggal yang terjadi di rumah tersebut. Mereka diganggu oleh Kuntilanakyang berasal dari rumah tersebut. Hingga suatu ketika, anak-anak kecil tersebut berusaha untuk membuktikan mitos tersebut.


Jika memang intensinya untuk mengubah nuansa film terbarunya agar memiliki perbedaan dengan film sebelumnya, Kuntilanaksebenarnya memiliki potensi untuk menjadi berbeda. Bahkan, bisa menjadi sebuah film horor dengan pendekatan yang lebih segar. Tak dapat dipungkiri bahwa Kuntilanak memiliki referensi seperti Super 8, Stranger Things, atau IT yang memadukan genre supernatural dengan petualangan bersama anak kecil. Jangan asal skeptis, karena menyadur referensi seperti ini bukan berarti langsung menduplikasi.

Kuntilanak bisa saja menjadi sebuah sajian film horor yang segar, terlebih dengan banyaknya film horor yang diproduksi akhir-akhir ini. Sayangnya, Rizal Mantovani tak bisa memanfaatkan potensi itu agar bisa tampil maksimal. Naskah dari Alim Sudio memang masih memiliki beberapa penceritaan yang terkesan tumpang tindih. Bermain baik dalam komposisi dramanya, tetapi naskahnya belum bisa mempadu padankan kedua genre yang ada agar bisa melebur satu sama lain.


Tak sepenuhnya salah dalam penulisan naskah, tetapi Rizal Mantovani juga tak bisa menyampaikan kelemahan dalam naskah dengan pengarahannya yang kuat. Rizal Mantovani yang sudah lama terjun dalam mengarahkan sebuah film horor, Kuntilanak tak bisa menjawab kerinduan penonton untuk ditakut-takuti. Sayang, padahal bagaimana sebuah film horor bisa menakut-nakuti penontonnya adalah amunisi yang harusnya dimiliki.

Tak seperti film sebelumnya, Kuntilanakterbaru ini tak bisa mengantarkan mitos tentang makhluk astral ini dengan cara yang lebih otentik seperti film sebelumnya. Cerita tentang budaya sekte pemanggilan Kuntilanak yang tak lagi lebih detil di film ini, membuat Kuntilanakmenjadi sebuah film horor Indonesia yang generik. Pun, Kuntilanak dalam film ini memiliki tata rias yang kurang bisa menakut-nakuti penontonnya. Padahal cara ini bisa jadi salah satu ilusi bagi penontonnya untuk bisa merasa takut dengan makhluk tersebut.


Dengan berbagai film horor yang ada di Indonesia akhir-akhir ini, Kuntilanak memang masih bisa dikategorikan sebagai film yang dibuat dengan layak. Mulai dari tata suara, sinematografi, warna, dan nilai produksi yang masih bisa dinikmati. Juga, usaha film Kuntilanak terbaru ini yang ingin tampil dengan berbeda ini masih menjadi poin menarik di film ini. Sayang, segala potensinya yang bisa mambuat Kuntilanakini akan terasa segar tak bisa tersampaikan dengan baik.