Tampilkan postingan dengan label Novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novel. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : ANANTA

REVIEW : ANANTA


“Kita dipertemukan karena ikatan jodoh yang kuat.” 

Para pembaca blog yang budiman, izinkanlah saya untuk menyampaikan satu kabar gembira sebelum mengulas Ananta keluaran MD Pictures. Kabar gembira tersebut adalah (jreng-jreng) Michelle Ziudith sudah terlepas dari film-film romantis picisan garapan Screenplay Films, saudara-saudara!... meski kemungkinan hanya untuk sementara sih. Tapi jangan langsung bersedih karena paling tidak, untuk sesaat kita tidak melihatnya memerankan perempuan tajir melintir yang hobi merajuk, remaja yang mengemis-ngemis cinta seolah dia akan tewas jika terlalu lama menjomblo, atau gadis yang gemar bersabda dengan kata-kata mutiara di setiap hembusan nafasnya. Ini tetap patut dirayakan. Kenapa? Karena saya selalu percaya bahwa Michelle Ziudith memiliki bakat dalam berakting (apalagi kalau sudah akting banjir air mata, saingan deh sama Acha Septriasa!) dan dia sangat perlu kesempatan untuk membuktikannya. Melalui Ananta yang didasarkan pada novel bukan horor bertajuk Ananta Prahadi rekaan Risa Saraswati (seri Danur), aktris yang akrab disapa Miziu ini mendapatkan kesempatan tersebut. Memang sih kalau ditengok dari segi genre, Ananta masih bermain-main di jalur andalan Miziu yakni drama percintaan yang sekali ini membawa muatan komedi cukup pekat. Hanya saja yang membuat film ini berbeda dan boleh jadi merupakan tiket emas baginya adalah Ananta mempunyai penggarapan beserta performa pemain yang baik sehingga menempatkannya berada di level lebih tinggi dibanding film-film Miziu terdahulu. 

Dalam Ananta, Michelle Ziudith berperan sebagai Tania yang dideskripsikan sebagai remaja SMA yang kesulitan dalam berinteraksi secara sosial sehingga dia memilih untuk membenamkan diri dengan dunianya sendiri: lukis melukis. Akibat sikapnya yang jauh dari kata bersahabat, Tania hidup dalam kesendirian. Dia tidak memiliki satupun teman bermain di sekolah, dia juga tidak memiliki satupun teman berbicara di rumah. Satu-satunya orang yang dipersilahkan Tania memasuki kehidupannya adalah Bik Eha (Asri Welas) – itupun sebatas berurusan dengan makanan. Kehidupan Tania yang terbilang sunyi dan monoton ini lantas mengalami perubahan saat Ananta Prahadi (Fero Walandouw), murid pindahan asal Subang yang memiliki logat Sunda kental, hadir di sisinya. Ini bisa diartikan secara harfiah karena Ananta duduk sebangku dengan Tania. Karakteristiknya yang periang jelas bertolak belakang dengan Tania yang muram. Pun begitu, Ananta berupaya memahami rekan sebangkunya ini termasuk memasakannya nasi kerak yang merupakan makanan favorit Tania dan membantunya menjual lukisan-lukisannya. Tania yang semula apatis perlahan tapi pasti bersedia membuka diri pada Ananta sehingga hubungan persahabatan sekaligus hubungan bisnis pun terbentuk. Kesedihan yang selama ini menggelayuti diri Tania pun memudar tergantikan oleh kebahagiaan sampai kemudian Ananta tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan Tania menyambut datangnya pria lain dalam kehidupannya, Pierre (Nino Fernandez). 



Seperti halnya jutaan umat manusia di luar sana, saya pun sebetulnya menganggap sepele Ananta. Satu-satunya yang berkontribusi terhadap tergeraknya hati dan kaki ke bioskop untuk menjajalnya adalah sang sutradara, Rizki Balki, yang memulai debutnya dengan apik melalui Aku, Benci, dan Cinta (2017). Michelle Ziudith? Kepercayaan saya sudah mulai meluntur. Membawa sikap skeptis ke dalam ruang pemutaran, diri ini merasa tertampar saat tanpa disangka-sangka Ananta ternyata mampu tersaji sebagai tontonan yang jenaka (ya, film ini lucu sekali!) sekaligus hangat, manis, dan menyentuh di waktu bersamaan. Rizki yang gaya penuturannya terasa sekali terpengaruh dari film-film romantis asal Korea Selatan membuktikan bahwa debutnya tersebut bukanlah suatu kebetulan pemula belaka dan Michelle Ziudith menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diberikan kesempatan. Lanjutkan, Miziu! Michelle Ziudith berhasil melebur dengan baik ke dalam sosok Tania yang ajaib, sengak, dan temperamental. Berada di pengarahan maupun interpretasi pemain kurang tepat, Tania berpotensi menjadi karakter yang sukar diberi simpati. Namun performa Michelle Ziudith ditunjang chemistry padu bersama Fero Walandouw sebagai karakter tituler membuat saya cukup mampu memafhumi karakteristiknya yang kian meletup-letup tak terkontrol karena faktor duka. Adegan Tania terpuruk lalu menangis di pundak Ananta usai melempar lukisan-lukisannya ke luar jendela menjadi momen terbaik di film ini yang sekaligus menandai pertama kalinya simpati dapat disematkan secara resmi pada kedua karakter utama tersebut khususnya Ananta yang kebaikan dan kepolosannya membuat diri ini ingin memberinya pelukan hangat.  

Tidak hanya Michelle Ziudith yang membuktikan bahwa dia sanggup menunjukkan atraksi akting yang kejut nyata tatkala memperoleh peran beserta pengarahan yang tepat, tetapi juga Fero Walandouw. Merupakan kejutan terbesar dari Ananta, Fero adalah rekanan akting yang sesuai bagi Miziu. Chemistry yang dibina Miziu bersama Fero jauh lebih meyakinkan ketimbang saat dia beradu akting dengan Dimas Anggara maupun Rizky Nazar. Berkat performa keduanya, kita bisa menerima kenyataan bahwa Tania kelewat ngeselin dan Ananta kelewat mulia, lalu menikmati setiap momen kebersamaan mereka yang sebagian besar diantaranya mengundang gelak tawa – seperti berlari-larian di bawah guyuran ‘air hujan’ – dan menggoreskan rasa hangat di hati. Keberadaan Asri Welas yang kentara difungsikan sebagai comic relief jelas membantu meningkatkan level kelucuan yang sejatinya telah cukup kuat hanya dari interaksi Fero bersama Miziu. Sayangnya, segala kenikmatan menyaksikan Ananta yang ditimbulkan di satu jam pertama ini tak benar-benar bertahan hingga ujung durasi. Memang di separuh akhir masih ada sekelumit rasa manis dari benih-benih asmara antara Tania dengan Pierre atau terenyuh melihat kepedulian Ananta yang amat besar pada Tania, tapi upaya untuk menghadirkan kejutan yang membawa film ke ranah melodrama pada klimaks justru menurunkan greget. Andai si pembuat film (dan Risa sebagai pemilik materi sumber) tidak menjerumuskan Ananta pada tangis-tangisan klasik – plus misi Ananta tidak dipaksakan melibatkan perasaan – maka bukan tidak mungkin momen ‘perpisahan dan pertemuan’ di ujung film akan terasa lebih menohok. Andai ya…


Exceeds Expectations (3,5/5)

Jumat, 06 April 2018

REVIEW : ARINI

REVIEW : ARINI


“Kenapa kamu selalu optimis, Nick?” 

“Karena kamu selalu pesimis. Dan karena itu pula Tuhan menciptakanku untuk mendampingimu.” 

Ada banyak alasan mengapa seseorang memiliki ketertarikan untuk menyaksikan rilisan terbaru dari MAX Pictures, Arini. Bisa jadi dia memang menyukai film-film percintaan yang membuat baper. Bisa jadi dia penasaran karena strategi promosinya amat gencar apalagi trailernya memang bagus. Bisa jadi dia ingin melihat garapan terbaru dari seorang Ismail Basbeth selepas dibuat terkesima oleh Mencari Hilal (2015), salah satunya seperti saya. Bisa jadi dia adalah penggemar sejati dari duo pemain utama, Aura Kasih-Morgan Oey. Bisa jadi dia terpikat oleh premis ceritanya yang terbilang tidak umum untuk ukuran film romansa tanah air terkait hubungan asmara dua sejoli yang memiliki perbedaan umur cukup jauh. Dan bisa jadi pula, dia adalah generasi lawas yang ingin menyaksikan interpretasi baru dari novel rekaan Mira W bertajuk Masih Ada Kereta yang Akan Lewat yang sebelumnya telah diadaptasi ke format film layar lebar di tahun 1987 dengan bintang Widyawati dan Rano Karno. Ya, Arini memang memiliki banyak sekali alasan untuk menarik perhatian seseorang sehingga saat digoreskan di atas kertas membuatnya tampak seperti tontonan percintaan yang menjanjikan… sampai kamu melihat sendiri hasil akhirnya yang penuh dengan masalah. Alhasil, materi bagus dan tim dengan jejak rekam tidak main-main yang diusungnya pun tersia-siakan begitu saja. 

Duo sejoli yang dimabuk asmara dalam Arini adalah Arini (Aura Kasih) dan Nick (Morgan Oey) yang bertemu untuk pertama kalinya dalam sebuah perjalanan menggunakan kereta api di Jerman. Nick yang tidak membawa tiket mencari celah agar tidak bermasalah dengan kondektur dan melihat Arini sebagai dewi penyelamat. Lebih dari itu, Nick yang masih menimba ilmu di London sebagai mahasiswa, jatuh hati pada pandangan pertama dengan Arini yang usianya 15 tahun diatasnya. Berbagai topik obrolan dilontarkan demi menarik minat Arini yang senantiasa menanggapi setiap celotehan Nick secara dingin. Dari pertemuan perdana yang janggal tersebut, berharap bisa melihat dua manusia ini bersatu memang tampak mustahil. Terlebih, Arini menyimpan luka lama akibat dikhianati oleh mantan suaminya, Helmi (Haydar Saliz), dan sahabatnya, Ira (Olga Lydia), sehingga dia tidak lagi mempercayai apa yang disebut dengan ‘cinta’. Meski kerap mendapat penolakan dari Arini yang ketusnya bukan main ini, Nick tidak menyerah begitu saja. Segala upaya dia kerahkan agar hati perempuan pujaannya ini luluh termasuk mendatangi apartemennya, mengajaknya jalan-jalan, mengobrol panjang lebar (lebih tepatnya menggombal sih), sampai menghadapi langsung Helmi yang tiba-tiba kembali masuk ke dalam kehidupan Arini setelah sebuah rahasia besar terbongkar.


Menengok siapa-siapa yang berkontribusi terhadap Arini – berkaca pula pada materi sumber dan versi lawasnya yang disambut amat antusias baik oleh penonton maupun pengamat film – sudah barang tentu ada antusiasme tersendiri kala hendak menonton film ini. Terlebih, saya memang ‘kecanduan’ film romansa dan menggemari karya-karya Ismail Basbeth (termasuk film pendek buatannya). Akan tetapi, segala rasa bungah yang menyelimuti diri kala melangkahkan kaki ke dalam bioskop seketika rontok serontok-rontoknya hanya beberapa menit usai film memulai guliran pengisahannya. Cara si pembuat film mempertemukan kita dengan Arini dan Nick terasa janggal yang seketika menimbulkan pertanyaan, “kok si kondektur tidak mengecek toilet tempat Nick bersembunyi ya? Dan kenapa Nick mesti minta tolong ke Arini dengan menitipkan tas dan sebagainya jika pada akhirnya Arini juga tidak membantu apapun?”. Jangan harap pertanyaan ini akan terjawab dan jangan harap pula akan mendapat penjelasan memuaskan soal siapa mereka berdua karena film melaju secara tergesa-gesa. Apa benar saya sedang menonton Arini? Ini bukan remake dari Speed yang dulu dibintangi oleh Keanu Reeves dan Sandra Bullock kan? Oke, membandingkan Arini dengan Speed memang sangat berlebihan. Tapi mau bagaimana lagi, laju pengisahan dua film ini sama-sama ngebut. Wusss, wusss, wusss. Menonton Arini bak tengah menyaksikan film bergenre laga yang mengajak penonton melompat-lompat dari satu sekuens laga ke sekuens laga yang lain tanpa benar-benar memperhatikan perkembangan karakter. 

Belum sempat kita memahami sosok Arini, belum sempat kita memahami sosok Nick, kita ujug-ujug sudah diseret menuju sekuens rayu-rayuan atau marah-marahan yang lain tanpa ada kesinambungan berarti. Itulah mengapa ngikik dan “lha kok?” menjadi semacam reaksi langganan lantaran film sesak dengan adegan yang tidak sedikit diantaranya ‘kehilangan garis penyambung’ atau dieksekusi terlampau konyol (adegan telepon bocor. Ehem!) sampai-sampai sulit menganggapnya serius. Bahkan, hingga Arini mencapai penghujung durasi, saya masih belum kunjung mendapat jawaban atas pertanyaan, “apa sih yang membuat Nick sebegitu kesengsemnya dengan Arini?.” Arini memang paripurna dari segi fisik, tapi masa iya sih motivasi Nick untuk mendapatkan perempuan pujaannya ini (dia nguebet banget lho!) sedangkal itu? Jika ya, berarti keinginannya lebih didorong oleh hasrat semata dong? Saya kemudian benar-benar meyakininya setelah mereka berdua bertengkar hebat karena Arini menolak untuk diajak tidur bersama. Disamping naskah tipis dan penceritaan tergesa dari Ismail Basbeth yang membatasi pergerakan karakter, performa Aura Kasih yang cenderung datar juga tidak membantu sama sekali. Di tangannya, sosok Arini hanya terlihat seperti perempuan judes yang cemberut melulu, sangat menyebalkan dan sulit diberi simpati. Tidak pernah menunjukkan kompleksitas sedikitpun yang kemudian membuat kita mafhum atas tindakan-tindakannya. Morgan Oey yang tampil enerjik sebagai si berondong kasmaran sedikit banyak membantu menyelamatkan film, meski sebetulnya dia turut menjadi korban naskah. 

Ketiadaan motivasi yang jelas membuat Nick kadangkala lebih menyerupai seorang penguntit yang menyeramkan ketimbang pemuda yang charming. Bayangkan, dia ada dimanapun Arini berada (sekalipun telah ditolak!) termasuk menyelinap ke rumah pujaan hatinya tersebut yang berada di belahan dunia berbeda setelah sebelumnya mereka bertengkar hebat (yang kemudian diselesaikan begitu saja). Ini masih belum ditambah fakta bahwa dia selalu bisa menemukan keberadaan Arini tanpa menjumpai kesulitan berarti. Seram banget, nggak sih? Mempunyai dua karakter utama yang ajaib – masih ada pula karakter pendukung yang lagi-lagi jika diperhatikan akan mengundang kerutan lain di jidat – belum apa-apa telah menciptakan jarak antara penonton dengan film. Bisakah kita dibuat jatuh hati dengan dua karakter yang judesnya amit-amit (serius malah jadi pengen getok!) dan menyerupai seorang psikopat? Apabila didukung oleh performa berkelas dengan chemistry ciamik dan naskah yang tergarap baik, bisa saja. Tapi masalahnya di sini, ‘judes’ dan ‘psikopat’ itu sendiri muncul karena suatu kesalahan, bukan semata-mata diniatkan demikian. Sosok Arini dan Nick menjadi seperti itu akibat naskah yang tidak memberi latar belakang dan motivasi memadai. Tidak terlalu jelas, kalau tak mau disebut buram, penggambaran kedua karakter ini lebih-lebih Nick yang tidak pernah dijlentrehkan seperti apa kehidupan pribadinya sehingga dia bisa terobsesi kepada Arini. Yang lebih disayangkan lagi, Aura Kasih dan Morgan Oey pun tidak mampu menghadirkan chemistry yang membuat penonton yakin bahwa ada benih-benih cinta yang siap bermekaran dalam diri keduanya. Tidak ada pancaran di mata mereka yang menunjukkan rasa bernama cinta. Apabila hubungan ini sebatas nafsu belaka, masih agak bisa dipercaya. Namun jika dilandasi ketulusan hati? Masih sangat dipertanyakan.
 

Maka begitu mereka bermesra-mesraan, diri ini justru merasa geli-geli janggal ketimbang tersenyum-senyum gemas. Begitu pula saat big moment datang, tak ada rasa apapun yang hinggap kecuali rasa datar. Ya mau bagaimana lagi, lha wong kunci keberhasilan dari suatu film percintaan itu terletak pada dua karakter utama yang mampu membuat penonton bersedia untuk memberikan restunya. Jika kita tidak pernah benar-benar terhubung secara emosional dengan mereka lantas bagaimana mungkin sebuah restu bisa diberikan? Yekannn? Sayang banget lho ini. 

Poor (2/5)

Sabtu, 31 Maret 2018

REVIEW : READY PLAYER ONE

REVIEW : READY PLAYER ONE


“People come to the Oasis for all the things they can do, but they stay because of all the things they can be.” 

Steven Spielberg is back! 

Oke. Seruan ini mungkin terdengar agak berlebihan karena kita sama-sama tahu beliau tidak pernah pergi kemana-mana. Dalam satu dekade terakhir, Pak Spielberg masih sangat aktif menghasilkan karya, menempatkan filmnya di jajaran film laris, sampai wara-wiri ke berbagai ajang penghargaan. Hanya saja, film kreasinya dalam beberapa tahun terakhir ini semacam hanya mengincar Oscar beserta rekan-rekannya semata. Minim unsur hiburan. Kalaupun ada yang ditujukan sebagai sajian eskapisme seperti The Adventures of Tintin (2011) dan The BFG (2016), hasil akhirnya terasa kurang menggigit dan seolah-olah Pak Spielberg telah kehilangan sentuhan magisnya yang menjadi salah satu alasan mengapa beliau bisa memiliki nama besar di perfilman dunia. Terlalu sering dicekoki film-film serius garapannya, saya pun bertanya-tanya, “apa mungkin beliau akan kembali menghasilkan film semacam E.T. The Extra Terrestrial (1982) dan Jurassic Park (1993) yang sanggup membuat kita kegirangan sekaligus melongo kagum?”. Harapan itu sepertinya nyaris sirna sampai kemudian mendapati kabar bahwa Steven Spielberg memutuskan untuk kembali bersenang-senang dengan menyajikan tontonan eskapisme murni yang menjelajah teritori yang dikuasainya, fiksi ilmiah dan petualangan. Tontonan ini didasarkan pada novel rekaan Ernest Cline bertajuk Ready Player One. Walau agak skeptis berkaca pada dua film ‘hura-hura’ terakhirnya, tapi tidak bisa disangkal kalau hati ini merasa bungah karena bagaimanapun hasilnya, sebuah popcorn movies garapan sang maestro tetap harus disambut meriah. 

Melalui Ready Player One, Pak Spielberg memboyong kita untuk mengunjungi Columbus, Ohio, di masa depan atau secara spesifik pada tahun 2045. Populasi membludak, korupsi, polusi, serta perubahan iklim yang ekstrim menyebabkan masyarakat dunia hidup dalam kondisi finansial yang memprihatinkan. Itulah mengapa sang karakter utama, Wade Watts (Tye Sheridan), tinggal di sebuah tempat yang disebut ‘Tumpukan’ – well, maknanya pun harfiah karena ini memang tumpukan trailer – bersama bibi dan kekasihnya yang pemabuk. Demi menjauhkan diri dari kepenatan hidup, Wade beserta sebagian populasi masyarakat dunia memilih untuk menghabiskan waktu dengan memainkan game berbasis realitas maya bernama OASIS. Di sini, setiap orang bisa menjadi apapun yang mereka mau tanpa ada batasan-batasan yang mengekang. Wade yang menggunakan avatar bernama Parzival menjalin pertemanan dengan Aech (Lena Waithe), Sho (Philip Zhao), Daito (Win Morisaki), serta Art3mis (Olivia Cooke) yang juga ditaksirnya di OASIS. Mereka berlima membentuk komplotan dengan nama ‘High Five’ demi menuntaskan permainan kreasi James Halliday (Mark Rylance) yang disebut Anarok’s Quest yang mengiming-imingi hadiah berupa tampuk kepemimpinan di OASIS. Mulanya sih, Wade dan kawan-kawan memainkannya secara nothing to lose sampai kemudian tujuan mereka berubah kala Nolan Sorrento yang licik (Ben Mendelsohn), pemilik IOI yang merupakan perusahaan kompetitor OASIS, ikut bermain dan menghalalkan segala cara demi memenangkan permainan termasuk menyingkirkan High Five yang menghalangi jalannya dari dunia maya maupun dunia nyata.


Oke. Seruan “Steven Spielberg is back!” tidak lagi terdengar berlebihan usai menyaksikan apa yang telah beliau perbuat kepada Ready Player One. Setelah beberapa film kelas berat dan satu dua tontonan eskapisme yang mudah dilupakan, Pak Spielberg akhirnya kembali menghadirkan sajian spektakel yang layak untuk dirayakan besar-besaran. Sebuah sajian gegap gempita nan mengasyikkan yang sudah sangat lama tidak kita peroleh dari beliau sejak Jurassic Park (kamu boleh tidak sependapat soal hal ini karena sekuelnya yang dirlis pada tahun 1997 dan Minority Report (2002) juga masih asyik). Apabila kamu adalah penonton film biasa, dalam artian sekadar untuk membunuh waktu dan tidak pernah menganggap film sebagai ‘belahan jiwa’ atau menaruh ketertarikan sangat mendalam kepada budaya populer, Ready Player One mungkin akan terlihat seperti film seru pada umumnya yang kebetulan memiliki penggarapan setingkat lebih baik ketimbang film sejenis yang rilis dalam beberapa bulan belakangan ini. Sekadar disokong efek visual bombastis dan dipenuhi dengan sekuens laga yang (apiknya) senantiasa mengalami eskalasi dari segi intensitas pada setiap menitnya. Boleh jadi, tidak pernah lebih dari itu. Akan tetapi, apabila kamu memiliki kecintaan terhadap film, video game, dan budaya populer lainnya (itu berarti kamu adalah seorang ‘geek’), apa yang disajikan oleh Ready Player One akan membuatmu terperangah hebat dan menggeleng-geleng kepala berulang kali sepanjang durasi. Betapa tidak, referensinya bejibun! Dari yang sangat kentara sampai selewat-selewat saja yang sangat mungkin kamu lewatkan jika berkedip. 

Ada Batman! Ada King Kong! Ada Chucky si boneka iblis! Ada robot dari The Iron Giant (1999)! Ada motor yang ditunggangi Kaneda di Akira (1988)! Ada Mechagodzilla! Ada DeLorean dari trilogy Back to the Future! Ada Gundam! Ada hotel penuh teror dari The Shining (1980) yang penempatannya sungguh jenius serta tak terduga! Dan ‘ada-ada’ lainnya yang bakal panjang sekali apabila dijlentrehkan satu demi satu di sini terlebih ini belum mencakup referensi ke video game dan musik. Ready Player One memang tak ubahnya sebentuk surat cinta dari Pak Spielberg kepada budaya populer yang telah membawanya hingga ke titik ini. Beliau memperlakukannya dengan penuh hormat dan penuh perhitungan matang, bukan asal comot lalu diselipkan sekenanya. Keberadaannya melebur ke dalam plot secara tepat sehingga tidak mendistraksi narasi utama. Penonton awam tetap bisa mengikuti jalinan pengisahan yang ditawarkan oleh film tanpa pernah merasa teralienasi, sedangkan penonton jemaatnya Sheldon Cooper tetap bisa melompat-lompat kegirangan seraya mengikuti guliran penceritaan yang ditawarkan. Seperti telah saya singgung sebelumnya, dengan atau tanpa setumpuk referensi ke budaya populer, Ready Player One tetaplah sebuah sajian hiburan yang gemilang. Sebuah sajian yang mengingatkan kita kepada karya-karya akbar Steven Spielberg di era 70 hingga 90-an sekaligus mengingatkan kita sekali lagi mengapa namanya kerap dielu-elukan oleh para pecinta film.


Ready Player One mempunyai sense of wonder atau sensasi sinematik yang magis atau apalah itu sebutannya yang membuat pengalaman menyaksikan film di layar lebar terasa sulit untuk digantikan. Di film ini, Pak Spielberg membuktikan bahwa dia masih memiliki kemampuan untuk meramu sebuah tontonan spektakel yang menciptakan decak kagum. Visualnya yang mengawinkan animasi dan live action (saat beralih ke animasi, sensasinya seperti sedang bermain video game) tampak memukau, rentetan sekuens laganya yang menggenjot adrenalin tak pernah gagal menghadirkan fase ‘berdebar-debar’, guliran pengisahannya yang menarik membuat penonton tertambat untuk mengikuti misi pencarian ‘telur paskah’ sekaligus terusik untuk menggelar diskusi dengan topik pengaruh kemajuan teknologi pada masyarakat modern, dan lakon jajaran pemainnya apik terutama Mark Rylance yang senantiasa sendu, Ben Mendelsohn sebagai villain utama yang terkadang bengis terkadang lucu, serta Tye Sheridan yang membentuk chemistry apik dengan Olivia Cooke. Berkat kombinasi-kombinasi tersebut, petualangan mengarungi OASIS sepanjang 140 menit pun berlalu dengan begitu cepatnya sampai-sampai muncul keinginan untuk mengulanginya kembali sesaat setelah petualangan berakhir. Betapa tidak, selama bertualang bersama High Five, saya acapkali dibuat tergelak-gelak, bersemangat, melompat-lompat kegirangan bak bocah cilik yang baru diberi mainan baru, sampai menyeka air mata haru. Buagus!

Outstanding (4,5/5)

Jumat, 30 Maret 2018

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH


“Cinta pertama itu susah dilupain. Apalagi kalau cinta pertama lo itu sahabat lo sendiri.” 

Apakah kamu pernah jatuh cinta dengan sahabat terdekatmu sendiri? Pernah? Tidak? Kalau saya pribadi sih belum pernah merasakannya dan mengingat saat ini masih bujangan (hello, ladies!), hanya Tuhan yang tahu apakah diri ini nantinya akan melangkahkan kaki ke pelaminan bersama seorang kawan baik atau seorang lain. Ehem. Satu yang jelas, beberapa hari silam, mata kepala saya menjadi saksi atas terwujudnya ‘teman tapi menikah’ di kehidupan nyata. Dua teman akrab saya sedari 10 tahun lalu yang tidak pernah terdeteksi menjalin hubungan asmara – semua orang tahu mereka bersahabat dekat – tiba-tiba menikah. Dari sini saya tersadar bahwa kisah kasih seperti ini sejatinya lumrah terjadi karena sebelumnya saya mendengar cerita serupa dari kakak kandung. Tak mengherankan jika novel rekaan Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion yang mempopulerkan istilah ‘teman tapi menikah’ banyak diserbu khalayak ramai. Dalam novel tersebut, mereka berdua berbagi pengalaman nyata tentang bagaimana hubungan persahabatan keduanya yang telah dibina selama 12 tahun justru berlanjut ke jenjang pernikahan. Pengalaman nyata yang rupa-rupanya memiliki kedekatan representasi bagi banyak orang. Menyadari bawah novel ini memperoleh resepsi begitu hangat, pihak Falcon Pictures pun memutuskan untuk memvisualisasikannya ke bentuk film layar lebar dengan tajuk Teman Tapi Menikah, lalu menunjuk Rako Prijanto (Sang Kiai, 3 Nafas Likas) sebagai sutradara, dan mendapuk Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken untuk menempati posisi pelakon utama.  

Dalam Teman Tapi Menikah versi layar lebar, kedua karakter sentralnya tetaplah Ayudia Bing Slamet (Vanesha Prescilla) dan Ditto (Adipati Dolken). Mereka diceritakan telah menjalin hubungan persahabatan sedari duduk di bangku SMP. Awalnya sih Ditto sebatas mengagumi Ayu yang sedari kecil telah dikenal sebagai aktris. Namun seiring berjalannya waktu, Ditto ingin memperlakukan Ucha – sapaan akrabnya untuk Ayu – sebagai seorang teman istimewa. Dimana ada Ditto, maka disitu ada Ayu. Mereka berdua sulit untuk dipisahkan sampai-sampai acapkali dikira berpacaran saking lengketnya satu sama lain. Persahabatan mereka terus berlanjut sampai ke jenjang SMA dimana Ditto mulai menunjukkan potensinya sebagai pemusik sekaligus playboy kelas teri. Pada titik ini, sebetulnya kedua belah pihak telah menyadari ada setitik rasa antara satu dengan lain. Namun mereka berdua memilih untuk tak terlalu mengindahkannya. Ayu memutuskan untuk berkencan dengan anak band bernama Darma (Rendi John) sementara Ditto terus berganti-ganti pacar seiring berjalannya waktu. Adanya rasa tidak bahagia tatkala menjalin hubungan dengan sejumlah perempuan perlahan menyadarkan Ditto bahwa hatinya sebetulnya hanya untuk Ayu. Masalahnya, bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya ini? Terlebih Ayu seolah sebatas menganggapnya sebagai teman curhat belaka dan sepertinya tidak pernah menyadari bahwa segala kerja keras yang dilakukan oleh Ditto seperti membeli scooter menggunakan uang tabungan sendiri adalah upayanya untuk membahagiakan Ayu. Hubungan yang terjalin diantara keduanya ini semakin terasa rumit saat pilihan menimba ilmu di universitas memaksa mereka untuk berpisah jalan. 


Ditengok dari premis, Teman Tapi Menikah sejatinya sederhana saja (kalau tak mau disebut klise ya). Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak film romansa yang berceloteh mengenai hubungan persahabatan dua muda mudi yang berkembang menjadi hubungan percintaan. Dari zaman baheula sampai sekarang, kamu setidaknya akan menjumpai minimal satu film yang pokok kupasannya berkisar soal ‘teman tapi mesra’. Ya mau bagaimana lagi, kisah kasih semacam ini selalu memiliki sudut pandang baru untuk diceritakan sekalipun sudah teramat sering disampaikan. Teman Tapi Menikah pun demikian. Plotnya yang kelewat umum bisa saja membuat sebagian penonton memandangnya remeh, tapi film ini sanggup membuktikan bahwa jalinan penceritaan yang begitu sederhana dan terasa sangat familiar akan tetap menghasilkan tontonan yang meninggalkan kesan mendalam apabila mendapat penanganan yang tepat. Teman Tapi Menikah tidak berusaha mati-matian untuk tampil sophisticated demi menarik perhatian publik, melainkan hanya bergantung pada guliran kisahnya yang membumi dan tidak membentuk jarak terlampau jauh dengan penonton. Pertanyaan yang dilontarkan si pembuat film kepada penonton semacam “apakah kamu pernah jatuh cinta dengan teman baikmu sendiri?” dan “apakah kamu pernah melihat seseorang di dekatmu yang memiliki kisah seperti Ayu dengan Ditto?” merupakan bekal untuk membentuk keterikatan penonton kepada film. Kita merasa terikat karena kita pernah (atau sedang) berada di fase tersebut. Bukankah selalu mengasyikkan mendengar cerita mengenai pengalaman seseorang yang sama dengan kita? 

Ndilalah, tukang cerita Teman Tapi Menikah pun mampu menyusun potongan-potongan kisah kasih Ayu dengan Ditto sedari mereka masih belia sampai menikah di usia 20-an dengan amat baik. Rako Prijanto membuat kita tertambat lalu bersedia menyaksikan bagaimana hubungan dua sejoli ini mengalami transisi dari persahabatan menuju percintaan. Rako beruntung mendapat suplai naskah bagus yang dirancang oleh Johanna Wattimena beserta Upi. Rentetan konflik yang muncul secara silih berganti terhidang wajar namun tetap memikat, dialog-dialog yang dilontarkan terasa mengalir selayaknya percakapan sehari-hari namun tetap manis (tidak mencoba untuk berpuitis-puitis ria yang justru membuatnya janggal), dan karakterisasi untuk tokoh-tokoh sentral pun terbilang kuat. Sosok Ditto dan Ayu bukanlah karakter satu dimensi dengan perangai terlalu sempurna atau terlalu ajaib seperti kerap muncul di film-film percintaan. Mereka tidak ubahnya penonton yang sedang duduk di kursi bioskop seraya mencemil berondong jagung dan menyeruput minuman bersoda. Mereka adalah kita. Jika ada yang membuat Ayu terlihat agak berbeda dari perempuan sebayanya, itu karena dia menjalani profesi sebagai aktris sinetron. Tapi saat dia berada di lingkungan sekolah lalu berinteraksi dengan Ditto, dia tak ubahnya perempuan sebelah rumah yang kita kenal. Ditto yang dideskripsikan sebagai playboy pun senada, dia tidak lantas menjelma menjadi prince charming seutuhnya. Dia merasakan kegagalan, dia juga bekerja keras untuk menggapai mimpinya. Bukan tipe laki-laki berharta melimpah yang bisa memperoleh apapun yang dia mau dengan mudah.


Duo Ayu-Ditto ini dimainkan dengan sangat asyik oleh Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken. Saat dipersatukan dalam satu layar, mereka membentuk ikatan kimia yang amat meyakinkan. Mencuat rasa percaya bahwa keduanya adalah sahabat baik yang saling peduli satu sama lain. Ini ditonjolkan melalui pertukaran dialog yang seru diantara keduanya sampai-sampai kita merasa betah untuk berlama-lama di dekat mereka. Seiring bergulirnya kisah, kita perlahan tapi pasti dapat mendeteksi bahwa sejatinya tersembunyi rasa lain dibalik hubungan persahabatan ini. Sesuatu yang tidak akan mungkin bisa kita rasakan apabila dua pelakon utamanya tidak memberi performa dan chemistry diatas rata-rata. Chemistry Vanesha-Adipati adalah aset berharga yang dimiliki oleh Teman Tapi Menikah. Berkat mereka, kita bisa bersimpati lalu memberikan restu kepada hubungan Ayu-Ditto. Siapapun telah mengetahui bagaimana kisah mereka akan berakhir di penghujung film, tapi penampilan bagus jajaran pemainnya – termasuk Denira Wiraguna sebagai mantan Ditto dan Refal Hady sebagai mantan Ayu – ditunjang oleh naskah berisi, pengarahan yang lancar, penyuntingan yang dinamis, tangkapan kamera yang cantik nan bergaya, serta iringan musik beraroma jazz yang melebur mulus ke setiap adegan sekaligus membantu menciptakan nuansa romantis-menggemaskan, membuat proses menuju bersatunya Ayu-Ditto terasa sangat mengasyikkan untuk diikuti. Kita ikut tertawa, tersenyum-senyum gemas, sampai menyeka air mata haru. Jarang-jarang ada film percintaan tanah air yang penceritaannya bisa sedemikian mengalirnya. Teman Tapi Menikah jelas merupakan salah satu film percintaan terbaik yang pernah dibuat di Indonesia.

Outstanding (4/5)

Selasa, 20 Maret 2018

REVIEW : A WRINKLE IN TIME

REVIEW : A WRINKLE IN TIME


“You’re going to be tested every step of the way. Have faith in who you are.” 

Tidak ada yang menyalahkanmu apabila menaruh minat untuk menyaksikan A Wrinkle in Time di layar lebar. Siapa sih tidak tergoda saat bintang-bintang besar seperti Oprah Winfrey, Reese Witherspoon, sampai Chris Pine beradu akting dalam satu film yang materi penceritaannya diadaptasi dari literatur klasik rekaan Madeleine L'Engle? Menariknya lagi, film ini diproduksi oleh Walt Disney Pictures, mengambil jalur fiksi ilmiah, dan dikemas sebagai tontonan keluarga. Entah dengan kalian, namun saya memiliki ‘titik lemah’ terhadap film keluarga keluaran Disney sehingga nyaris tidak pernah sanggup untuk menolaknya (meski tidak jarang pula ini berakhir dengan kekecewaan). A Wrinkle in Time yang ditangani oleh pegiat sinema Ava DuVernay (Selma, 13th) pun terlihat telah mengantongi sejumlah syarat yang memungkinkannya untuk menjadi tontonan baik menengok jejak rekam siapa-siapa yang terlibat. Di atas kertas, satu-satunya tantangan yang mesti ditaklukkan film ini adalah mentransformasikan materi sumbernya yang konon kerap disebut “sulit difilmkan” ke bahasa gambar. Dibawah pengarahan sutradara terampil, tantangan ini sebetulnya bisa jadi perkara sepele – tengok saja Life of Pi garapan Ang Lee. Akan tetapi bagi sutradara yang kurang lihai bercerita, belum lagi masih gagap menangani film bujet besar, tantangan ini jelas sebuah masalah besar. Dan sayang beribu sayang untuk A Wrinkle in Time, Ava DuVernay tergolong ke dalam sutradara jenis kedua yang tidak mahir menyampaikan kisah kepada penonton. 

Karakter utama yang mesti kita beri perhatian lebih dalam A Wrinkle in Time adalah seorang remaja perempuan dengan otak encer bernama Meg Murry (Storm Reid). Sebelum memutuskan untuk mengisolasi diri dari pergaulan dan memasang muka masam sepanjang waktu yang membuatnya mengalami perisakan, Meg memiliki pribadi yang ceria serta tergolong siswi teladan di sekolahnya. Perubahan karakteristik yang sangat bertolak belakang ini disebabkan oleh menghilangnya sang ayah, Dr. Alexander Murry (Chris Pine), dalam misi memperbaiki alam semesta. Alex yang menaruh minat terhadap astrofisika, ditengarai telah menemukan tesseract – sebuah perjalanan lintas dimensi ruang dan waktu – dan kini tersesat di dimensi lain. Mencoba untuk percaya bahwa sang ayah masih hidup, Meg akhirnya perlahan tapi pasti kehilangan kepercayaannya setelah selama empat tahun tak kunjung mendapat kejelasan. Upaya Meg dalam menekan rasa duka atas kehilangan lantas mengubahnya menjadi pribadi bermasalah dan terpinggirkan. Satu-satunya siswa yang bersedia menjalin ikatan pertemanan dengannya adalah Calvin (Levi Miller). Kehidupan Meg yang kacau balau ini mulai menjumpai titik terangnya tatkala adik angkatnya, Charles Wallace (Deric McCabe), memperkenalkannya kepada tiga perempuan misterius; Mrs. Which (Oprah Winfrey), Mrs. Whatsit (Reese Witherspoon), serta Mrs. Who (Mindy Kaling), yang belakangan diketahui sebagai pelancong astral. Melalui mereka, Meg mendapati fakta bahwa ayahnya masih hidup dan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkannya adalah Meg sendiri.


Berkaca pada sinopsis di atas maupun materi promosi yang telah digeber selama ini – terutama trailer, mudah untuk mengira bahwa A Wrinkle in Time adalah gelaran petualangan fiksi ilmiah tulen yang bisa dikudap beramai-ramai bersama seluruh anggota keluarga di waktu senggang. Jika kamu memiliki ekspektasi semacam ini, dan berharap film dapat membuatmu terhibur, saya menyarankan untuk cepat-cepat menghempaskannya. Karena kenyataan yang ada, A Wrinkle in Time cenderung lebih menyerupai film pengembangan diri ketimbang film eskapisme. Tentu bukan menjadi soal sama sekali tatkala film berusaha untuk menyampaikan pesan mengenai kekuatan cinta, penerimaan diri, dan berdamai dengan kehilangan. Dalam penanganan yang tepat, pesan-pesan klise semacam ini dapat menyentuh hati sekaligus menginspirasi penonton. Masalahnya, Ava DuVernay berusaha terlalu keras agar pesan tersebut dapat mengena sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa filmnya ini terasa begitu palsu. Dipaksakan. Dialog luar biasa ceriwisnya yang tidak jauh-jauh dari “kamu harus tetap menjadi dirimu sendiri!” atau “kamu itu penuh bakat!” muncul secara terus menerus seakan tidak tahu kapan harus berhenti. Alhasil, daun telinga serasa mau rontok saking capeknya mendengar pengulangan pesan. Ini mungkin tidak akan terdengar seburuk itu apabila A Wrinkle in Time memiliki guliran pengisahan mengikat maupun parade akting mumpuni yang memungkinkan kita seolah terlibat ke dalam film (ingat The Help?). Masalahnya (lagi! Film ini benar-benar penuh masalah!), dua-duanya tidak bisa kamu jumpai di sini. 

Ya, disamping dialog bak dilontarkan oleh motivator kelas teri, A Wrinkle in Time terasa sangat melelahkan untuk disimak lantaran penuturannya yang lambat dan hambar. Penonton cilik mungkin akan terkantuk-kantuk begitu mendapati laju film nyaris tak bergerak selama setengah jam awal, sedangkan penonton dewasa bakal garuk-garuk kepala ditengah-tengah upaya memahami kemauan si pembuat film sampai kemudian tiba pada kesimpulan: A Wrinkle in Time ini sungguh film yang pretensius. Berbicara kesana kemari, mengutarakan istilah-istilah rumit, hanya demi menegaskan tentang kekuatan cinta? Oh, come on! Ketimbang fokus pada “cara membuat film agar kelihatan pintar”, DuVernay semestinya lebih fokus pada “cara mempermainkan emosi penonton” karena A Wrinkle in Time hampir tidak mempunyainya yang sedikit banyak menyulitkan kita untuk menjalin ikatan kepedulian dengan karakter-karakternya. Terlebih lagi, barisan pemainnya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Storm Reid sebagai remaja bermasalah dan Deric McCabe sebagai adik angkat yang jenius memang menyumbangkan lakon apik ditengah segala keterbatasan yang melingkungi, akan tetapi trio Oprah Winfrey-Reese Witherspoon-Mindy Kaling terlihat begitu kikuk sampai-sampai berulang kali memunculkan ‘awkward moment’ tanpa disengaja. Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan? Menengok gelontoran bujet yang tidak main-main, jawaban dari tanya tersebut adalah visual. Itupun jangan diharapkan banyak-banyak karena tidak jarang visualnya hanya sedikit lebih baik dari pemandangan di screensaver.


Poor (2/5)

Senin, 05 Februari 2018

REVIEW : DILAN 1990

REVIEW : DILAN 1990


“Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Nggak tahu kalau sore. Tunggu aja.” 

Pada kuartal awal tahun 2018 ini, khalayak ramai menjadi saksi atas lahirnya pasangan fiktif baru yang fenomenal dalam perfilman Indonesia selepas Cinta-Rangga (Ada Apa Dengan Cinta?, 2001), Tita-Adit (Eiffel… I’m in Love, 2003), dan Aisha-Fahri (Ayat-Ayat Cinta, 2008). Mereka adalah Milea-Dilan, karakter utama dalam film Dilan 1990 yang diekranisasi dari novel laris manis bertajuk Dilan: Dia adalah Dilanku Tahun 1990 rekaan Pidi Baiq. Seperti halnya ketiga film yang telah terlebih dahulu mencuri hati masyarakat Indonesia tersebut, Dilan 1990 pun sanggup menciptakan gelombang hype luar biasa besar yang kemudian mendorong publik yang didominasi oleh remaja usia belasan untuk rela mengantri panjang demi menyaksikan jalinan kisah asmara Milea dengan Dilan. Alhasil, rekor demi rekor terus diciptakan oleh Dilan 1990 yang berpotensi membawanya meraih predikat “film romantis terlaris sepanjang masa di Indonesia” (dengan catatan, sanggup melewati Habibie & Ainun yang merengkuh 4,5 juta penonton). Kesuksesan besar ini tentu pada akhirnya mendatangkan tanya: apa sih istimewanya Dilan 1990 sampai-sampai begitu diburu? Dari sisi bisnis, jawabannya mudah saja yakni ketepatan strategi promosi. Sedangkan dinilai dari filmnya itu sendiri, Dilan 1990 terhitung berhasil menjelma sebagai film percintaan yang manis sekalipun bagi saya pribadi tidak betul-betul mengesankan.  

Dalam Dilan 1990, kita mengikuti narasi Milea (Vanesha Prescilla) mengenai seseorang yang telah merebut hatinya semasa mengenakan seragam putih abu-abu di Bandung pada tahun 1990. Orang tersebut adalah Dilan (Iqbaal Ramadhan), ‘panglima tempur’ di sebuah geng motor dan murid berandalan di sekolahnya. Mereka berdua, tentu saja, tidak lantas saling jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Milea telah memiliki seorang kekasih di Jakarta bernama Beni (Brandon Salim) dan rekam jejak Dilan sebagai tukang bikin onar membuat Milea agak ragu-ragu kala didekati Dilan. Terlebih, Dilan juga bukan satu-satunya laki-laki yang menaruh rasa padanya karena ada pula Nandan (Debo Andrios), sang ketua kelas, dan Kang Adi (Refal Hady), sang guru les privat. Yang kemudian perlahan tapi pasti membuat hati Milea luluh terhadap Dilan adalah tekad kuat yang ditunjukkan oleh Dilan untuk mendapatkan Milea. Tidak ada hadiah-hadiah mahal yang diberikan kepada sang pujaan hati melainkan sebatas lontaran kata-kata puitis dengan penyampaian yang bisa dibilang unik, seperti disisipkan pada buku teka-teki silang atau ‘dipaketkan’ bersama tukang pijat. Berbagai upaya Dilan untuk menggaet Milea ini akhirnya menunjukkan titik terang pasca Milea mendapat perlakuan menyakitkan dari Beni sehingga membuat Milea memiliki ketegasan untuk lebih memilih Dilan dan meninggalkan Beni.


Diejawantahkan oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ke dalam bahasa gambar, Dilan 1990 mampu tersaji sebagai tontonan percintaan yang sejatinya cukup manis. Generasi sosial media yang menjadi pangsa pasar utamanya, terutama penonton perempuan, bakal meleleh tiap kali sosok Dilan meluncurkan rayuan-rayuan mautnya kepada Milea, sementara mereka yang telah berusia lanjut (eh, maksud saya, di atas 25 tahun) akan tersenyum-senyum gemas karena apa yang dialami oleh Dilan dan Milea sedikit banyak mengingatkan pada masa remaja dimana berpacaran tampak seperti hal terindah yang bisa dilakukan. Pada dasarnya, sepanjang durasi mengalun, penonton sebatas menyaksikan upaya si panglima tempur dalam merebut hati perempuan yang ditaksirnya melalui untaian kata-kata puitis namun receh dan gaya pendekatan yang agak-agak nyeleneh. Tidak lebih dari itu. Kalaupun ada konflik seperti Beni yang geram mendapati kekasihnya mendua, kehadiran Kang Adi, pertikaian antara Dilan dengan gurunya, sampai Anhar (Giulio Parengkuan) yang melecehkan Milea, hanya dipergunakan sebagai selingan semata tanpa pernah benar-benar memperoleh kesempatan untuk dikembangkan lebih lanjut. Itulah mengapa bagi saya Dilan 1990 terasa kurang menggigit sekalipun sulit disangkal bahwa film ini memang manis. Ketiadaan fluktuasi dalam jalinan pengisahan menyebabkan film sempat berada dalam tahapan melelahkan utamanya begitu menginjak pertengahan durasi. 

Yang lantas menghindarkan film ini dari terperosok ke dalam jurang lebih dalam dan tetap terasa enak untuk dinikmati disamping pengarahan dari duo sutradara yang mampu menjaga ritme penceritaan adalah performa jajaran pemainnya. Kredit terbesar tentu sudah sepatutnya disematkan kepada Iqbaal Ramadhan beserta Vanesha Prescilla yang mampu tampil meyakinkan sebagai pasangan menggemaskan bernama Dilan dan Milea. Iqbaal berhasil membuktikan bahwa dia bukanlah pilihan yang keliru dalam melakonkan sang panglima tempur. Tengok saja gayanya yang tengil sedikit urakan, gombalan-gombalan yang kerap meluncur begitu saja dari mulutnya, sorot mata tajamnya, dan interaksinya bersama Vanesha yang kadang kikuk. Penonton laki-laki remaja akan terinspirasi, sedangkan penonton perempuan akan dibuatnya berulang kali salah tingkah. Ya, salah tingkah seperti Vanesha Prescilla tiap kali berada di sisi Iqbaal. Di tangan aktris pendatang baru ini, sosok Milea terasa sangat hidup. Sikapnya yang malu-malu kucing, kepolosannya, serta auranya yang menenangkan. Dia menunjukkan alasan mengapa Milea bisa diperebutkan oleh banyak laki-laki. Chemistry yang dirangkainya bersama Iqbaal berada dalam level sangat baik sehingga penonton pun dapat meyakini bahwa mereka berdua adalah muda-mudi yang tengah dimabuk cinta.

Acceptable (3/5)


Selasa, 30 Januari 2018

REVIEW : MAZE RUNNER: THE DEATH CURE

REVIEW : MAZE RUNNER: THE DEATH CURE


"What if we were sent here for a reason?"

Tatkala mendengar kabar bahwa aktor utama dari franchise Maze Runner, Dylan O’Brien, mengalami kecelakaan kerja yang menyebabkan cedera parah sehingga tahapan produksi jilid ketiga bertajuk The Death Cure terpaksa ditunda, hati ini seketika ketar-ketir. Bagaimana jika franchise ini akan bernasib sama dengan Divergent atau dalam artian kita tidak akan pernah menyaksikan babak konklusinya di layar lebar? Disamping The Hunger Games yang telah terlebih dahulu rampung, Maze Runner tergolong film berlatar distopia hasil adaptasi novel berseri untuk young adult yang saya nikmati. Seri pertamanya menarik sekali, sementara jilid keduanya sekalipun berantakan masih menawarkan pengalaman sinematik cukup mengasyikkan. Maka begitu memperoleh kepastian mengenai jadwal perilisan The Death Cure pasca terombang-ambing selama setahun selagi menunggu Dylan O’Brien pulih, saya seketika sorak-sorak bergembira. Filmnya sendiri (pada akhirnya) memang tidak menimbulkan efek bungah luar biasa yang setipe selepas saya menyaksikannya di layar lebar. Namun The Death Cure tetap dapat dikategorikan sebagai sebuah seri penutup yang pantas bagi franchise Maze Runner. 

Tanpa banyak berbasa-basi untuk menyegarkan ingatan penonton (jika kamu lupa, ada baiknya menyaksikan lagi seri pertama dan kedua sebelum menjajaki jilid ketiga), The Death Cure langsung membawa kita pada sekuens laga besar yang mendebarkan berupa misi pembajakan kereta. Bukan dilakukan oleh WCKD – organisasi yang menjadi musuh utama di franchise ini – melainkan Thomas (Dylan O’Brien) beserta rekan-rekan seperjuangannya, termasuk Newt (Thomas Brodie-Sangster), demi menyelamatkan Minho (Ki Hong Lee) yang diculik WCKD pada penghujung film kedua menyusul pengkhianatan Teresa (Kaya Scodelario). Meski berhasil membebaskan sejumlah sandera, sayangnya tak ditemukan jejak Minho di gerbong kereta. Usut punya usut, Minho bersama remaja terpilih lainnya diboyong ke markas WCKD di Last City – satu-satunya kota tersisa yang terbebas dari wabah – untuk diambil darahnya yang dipergunakan sebagai bahan utama terciptanya serum penawar. Meminta bantuan kepada sebuah kelompok pemberontak yang bermarkas di sekeliling Last City, Thomas dan kawan-kawan pun merancang misi terakhir yang bukan saja bertujuan untuk menyelamatkan Minho serta menghancurkan WCKD tetapi juga menyelamatkan umat manusia. 


Disandingkan dengan sang predesesor, The Scorch Trials, yang cenderung kering dan mudah dilupakan, The Death Cure merupakan suatu peningkatan. Memang sih kalau berbicara soal guliran pengisahan, tidak ada sesuatu mencengangkan atau mengikat selayaknya jilid pembuka yang bisa kamu jumpai disini. Malah bisa dikata, plotnya setipis kertas pula terkesan dipanjang-panjangkan. Yang lantas membuat The Death Cure dapat tegak berdiri dan melampaui pencapaian seri kedua adalah kemampuan sang sutradara, Wes Ball, dalam meramu barisan laga seru yang menghiasi sepanjang durasi. Menyadari penuh bahwa naskah rekaan T.S. Nowlin yang disadur dari novel buatan James Dashner tidak menyediakan ruang memadai bagi terciptanya intrik-intrik pamungkas dengan daya ledak besar selayaknya dua babak Mockingjay (atau seri penutup The Hunger Games), Ball pun memutuskan untuk meletakkan fokus sepenuhnya pada peningkatan cakupan skala terkait sekuens laga. Tujuan utamanya sederhana, menciptakan aksi yang lebih gegap gempita dibanding Maze Runner maupun The Scorch Trials. Sebuah tujuan yang untungnya dapat dicapai oleh Ball sehingga membuat The Death Cure terasa renyah untuk dikudap. 

Sedari menit pertama, Ball mencoba untuk menempatkan intensitas dari instalmen ketiga ini dalam level cukup tinggi. Belum apa-apa, kita telah disuguhi adegan ‘adu kecepatan’ antara mobil dengan kereta yang berlangsung selama kurang lebih 10 menit. Laju pengisahan yang lantas mengikutinya pun diusahakan untuk tetap kencang. Tidak banyak momen senyap tersedia yang memungkinkan karakter-karakternya saling bertukar emosi (maka dari itu, jika kamu berharap seri ketiga ini memiliki ‘kedalaman’, hempaskan segera) karena apa yang disuguhkan Ball adalah sebatas tontonan eskapisme sarat dentuman. Entah itu bersumber dari baku hantam, tembakan, atau pengeboman yang nyaris tanpa henti. Selain adegan pembuka, highlight lain dalam The Death Cure berada di satu jam terakhir saat misi penyelamatan Minho dilangsungkan utamanya pada adegan dengan kata kunci “terjun bebas” dan “bis melayang”. Dalam penanganan yang salah, rentetan laga yang sambung menyambung semacam ini dapat berpotensi terasa sangat melelahkan. Akan tetapi, melalui The Death Cure, Wes Ball membuktikan bahwa dia memiliki bakat untuk menangani gelaran laga eksplosif yang seru sekaligus mendebarkan meski saya sejatinya berharap durasinya dapat lebih singkat.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Minggu, 17 September 2017

REVIEW : THREAD OF LIES

REVIEW : THREAD OF LIES


“Dalam hidup, kamu akan mengalami saat dimana kamu lebih ingin mencurahkan isi hati kepada orang asing daripada keluarga. Karena orang asing tidak perlu menjaga rahasiamu.” 

Pada bulan Maret silam, Netflix melepas sebuah serial bertajuk 13 Reasons Why yang didasarkan pada novel remaja laris berjudul serupa. Serial berjumlah 13 episode tersebut menjadi suatu fenomena tersendiri di kuartal pertama tahun ini lantaran keberaniannya mengeksplorasi tema-tema sensitif dalam kehidupan remaja; bullying, depresi, dan bunuh diri. Elemen misteri yang dibubuhkan ke alunan penceritaannya memberi candu bagi penonton untuk terus mencari tahu “apa sih yang sesungguhnya terjadi disini?” sekalipun bahan obrolannya terbilang berat – saya sendiri menuntaskannya hanya dalam 3 hari. Selepas menontonnya, saya tidak saja menggali informasi terkait perisakan tetapi juga mencari film bertema sejenis. Nah, apabila kamu seperti saya dan berharap bisa menjumpai film yang senada seirama, rupa-rupanya perfilman Korea Selatan telah memiliki sebuah tontonan sangat apik yang memperbincangkan perihal perisakan dan bunuh diri di kalangan remaja usia belasan semenjak tahun 2014 berjudul Thread of Lies. Disadur pula dari sebuah novel, film arahan Lee Han (Punch) ini menghamparkan potret kelam dari Negeri Gingseng yang memang dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia berdasarkan data dari hasil penelitian World Health Organization. 

Karakter utama dalam Thread of Lies adalah seorang janda bernama Hyun-sook (Kim Hee-ae) dan kedua putrinya, Man-ji (Go Ah-sung) dan Cheon-ji (Kim Hyang-gi), yang masing-masing masih berstatus sebagai pelajar sekolah menengah. Dari tampak luar, mengesampingkan absennya figur seorang ayah, keluarga kecil ini tampak seperti keluarga normal lainnya. Menjalani hari demi hari dengan rutinitas yang begitu-begitu saja, kalaupun ada cekcok tentu wajar-wajar saja. Menganggap satu sama lain tidak mempunyai masalah, alangkah terkejutnya Hyun-sook dan Man-ji saat mendapati si bungsu Cheon-ji mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di kamar. Yang makin menyesakkan, Cheon-ji tak meninggalkan surat perpisahan sehingga kematiannya pun meninggalkan tanda tanya besar bagi keluarganya. Apa masalah yang dihadapi oleh Cheon-ji sampai-sampai dia nekat mengambil jalan pintas semacam ini? Pertanyaan ini terus berkecamuk dalam pikiran Man-ji yang kemudian memutuskan mencari kebenaran dibalik kematian sang adik selepas dia dan ibunya pindah apartemen. Langkah awal yang diambilnya yakni mendekati teman baik Cheon-ji, Hwa-yeon (Kim Yoo-jung), yang ternyata memiliki kontribusi cukup besar terhadap kematian Cheon-ji. Penyelidikan kecil-kecilan yang dilakukan Man-ji ini lantas mengungkap satu demi satu rahasia dan kebohongan yang selama ini disimpan rapat oleh Cheon-ji beserta orang-orang di sekitarnya. 

Selaiknya 13 Reasons Why, ketertarikan awal untuk mengikuti guliran pengisahan Thread of Lies bersumber dari misteri kematian si karakter sentral. Kita mempertanyakan motivasinya: kenapa dia akhirnya memutuskan untuk bunuh diri sementara tidak ada yang salah dari keluarga dan teman-temannya? Jika serial milik Netflix tersebut mengajak pemirsa mengikuti perjalanan sang sahabat dekat dalam membongkar misteri, maka film garapan Lee Han ini membawa penonton mengikuti Man-ji dalam mengurai benang-benang yang melilit kematian sang adik. Pemaparan kebenarannya mempergunakan teknik senada, kilas balik ke masa-masa si korban masih menghembuskan nafas. Usai berbincang-bincang sekejap bersama Hwa-yeon yang merupakan salah satu siswi tercantik dan terpopuler di sekolah Cheon-ji, baik Man-ji maupun penonton telah mencium bau anyir dibalik perangainya yang tampak lembut dan sopan. Benar saja, kala si pembuat film melempar latar waktu ke beberapa hari belakang, kita mendapati bahwa Hwa-yeon adalah perwujudan nyata dari perumpaan ‘serigala berbulu domba’. Dia tidak menerapkan kekerasan selama merisak Cheon-ji, melainkan mengajak kawan-kawan sekelas untuk mengesklusi secara sosial si gadis malang ini sehingga dia tidak memiliki teman untuk berbagi atau sekadar diajak bermain di sekolah. Salah satu adegan paling menyesakkan dada dalam Thread of Lies adalah ketika teman-teman sekelas Cheon-ji menggunjingkannya melalui aplikasi perpesanan di pesta ulang tahun Hwa-yeon.


Pertanyaan lain kemudian muncul, apakah Hwa-yeon adalah satu-satunya alasan bagi Cheon-ji untuk mengakhiri hidupnya? Seiring berjalannya durasi, kebenaran-kebenaran lain turut tersingkap yang memberikan kejutan kepada Man-ji (juga penonton). Menariknya, ketimbang menghakimi korban atau si pelaku bullying, Lee Han memberi kita pehamahaman bahwa ada sebab akibat dibalik setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap karakter. Kita memang dikondisikan untuk bersimpati kepada Cheon-ji berikut keluarganya, tetapi kita tidak serta merta antipati kepada Hwa-yeon karena dia memiliki alasannya sendiri mengapa memilih Cheon-ji sebagai target bulan-bulanannya. Bahkan sejatinya, Cheon-ji, Man-ji, serta Hyun-sook bukan sepenuhnya karakter putih bersih yang tiada memiliki cela barang sedikitpun. Inilah salah satu faktor yang membuat Thread of Lies terasa mengikat pula dekat lantaran barisan tokohnya dapat kita jumpai dengan mudah dalam sosok di sekitar kita. Terasa begitu nyata. Ada seseorang yang memilih menghempaskan dukanya dengan melampiaskannya kepada orang lain seperti Hwa-yeon, ada pula yang memilih untuk meredamnya dengan sangat keras sehingga berujung pada depresi tak tampak seperti Cheon-ji. Bukan sebatas film melodrama yang mengajak penontonnya untuk bertangis-tangisan, Thread of Lies turut meminta kepada penonton untuk lebih peka terhadap kondisi sekitar, utamanya keluarga dan sahabat, demi menghindari lahirnya Cheon-ji maupun Hwa-yeon lain. 

Menilik bahan obrolannya yang tergolong serius, mudah untuk mengira Thread of Lies bakal melantunkan pengisahannya dengan nada penceritaan yang bermuram durja. Menginjak paruh akhir – well, sebetulnya pola ini bisa pula kamu jumpai di sebagian besar film drama asal Korea Selatan – film memang akan membuat matamu bengkak tatkala mengupas semakin dalam kisah hidup tragis si protagonis. Tapi yang tak terbayang sebelumnya, canda tawa turut menghiasi beberapa titik. Ini diawali dari upaya Hyun-sook untuk membina kehidupan normal kembali bersama Man-ji di tempat tinggal baru mereka selepas diguncang tragedi. Interaksi keduanya, ditambah kehadiran tetangga baru yang nyentrik, Choo Sang-bak (Yoo Ah-in), kerap mengundang derai tawa yang mencairkan suasana. Kemampuan film untuk mempermainkan emosi penontonnya – entah itu tertawa, prihatin, marah sampai sesenggukkan – sedemikian rupa merupakan hasil dari kombinasi antara pengarahan baik sekali, naskah bernas, musik menyayat hati, serta performa jempolan barisan pelakonnya. Ya, setiap pelakon dalam Thread of Lies mempersembahkan akting di level meyakinkan sampai-sampai kita tidak keberatan sama sekali untuk menyematkan simpati kepada mereka. Yang paling mencuri perhatian yakni Kim Hee-ae sebagai seorang ibu yang menyimpan banyak duka lara dibalik tebaran senyumannya dan Kim Hyang-gi yang air mukanya sudah cukup untuk membuat kita berlinang air mata tanpa perlu baginya mengucap sepatah katapun.

Outstanding (4/5)