Tampilkan postingan dengan label Adipati Dolken. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adipati Dolken. Tampilkan semua postingan

Jumat, 30 Maret 2018

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH

REVIEW : TEMAN TAPI MENIKAH


“Cinta pertama itu susah dilupain. Apalagi kalau cinta pertama lo itu sahabat lo sendiri.” 

Apakah kamu pernah jatuh cinta dengan sahabat terdekatmu sendiri? Pernah? Tidak? Kalau saya pribadi sih belum pernah merasakannya dan mengingat saat ini masih bujangan (hello, ladies!), hanya Tuhan yang tahu apakah diri ini nantinya akan melangkahkan kaki ke pelaminan bersama seorang kawan baik atau seorang lain. Ehem. Satu yang jelas, beberapa hari silam, mata kepala saya menjadi saksi atas terwujudnya ‘teman tapi menikah’ di kehidupan nyata. Dua teman akrab saya sedari 10 tahun lalu yang tidak pernah terdeteksi menjalin hubungan asmara – semua orang tahu mereka bersahabat dekat – tiba-tiba menikah. Dari sini saya tersadar bahwa kisah kasih seperti ini sejatinya lumrah terjadi karena sebelumnya saya mendengar cerita serupa dari kakak kandung. Tak mengherankan jika novel rekaan Ayudia Bing Slamet dan Ditto Percussion yang mempopulerkan istilah ‘teman tapi menikah’ banyak diserbu khalayak ramai. Dalam novel tersebut, mereka berdua berbagi pengalaman nyata tentang bagaimana hubungan persahabatan keduanya yang telah dibina selama 12 tahun justru berlanjut ke jenjang pernikahan. Pengalaman nyata yang rupa-rupanya memiliki kedekatan representasi bagi banyak orang. Menyadari bawah novel ini memperoleh resepsi begitu hangat, pihak Falcon Pictures pun memutuskan untuk memvisualisasikannya ke bentuk film layar lebar dengan tajuk Teman Tapi Menikah, lalu menunjuk Rako Prijanto (Sang Kiai, 3 Nafas Likas) sebagai sutradara, dan mendapuk Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken untuk menempati posisi pelakon utama.  

Dalam Teman Tapi Menikah versi layar lebar, kedua karakter sentralnya tetaplah Ayudia Bing Slamet (Vanesha Prescilla) dan Ditto (Adipati Dolken). Mereka diceritakan telah menjalin hubungan persahabatan sedari duduk di bangku SMP. Awalnya sih Ditto sebatas mengagumi Ayu yang sedari kecil telah dikenal sebagai aktris. Namun seiring berjalannya waktu, Ditto ingin memperlakukan Ucha – sapaan akrabnya untuk Ayu – sebagai seorang teman istimewa. Dimana ada Ditto, maka disitu ada Ayu. Mereka berdua sulit untuk dipisahkan sampai-sampai acapkali dikira berpacaran saking lengketnya satu sama lain. Persahabatan mereka terus berlanjut sampai ke jenjang SMA dimana Ditto mulai menunjukkan potensinya sebagai pemusik sekaligus playboy kelas teri. Pada titik ini, sebetulnya kedua belah pihak telah menyadari ada setitik rasa antara satu dengan lain. Namun mereka berdua memilih untuk tak terlalu mengindahkannya. Ayu memutuskan untuk berkencan dengan anak band bernama Darma (Rendi John) sementara Ditto terus berganti-ganti pacar seiring berjalannya waktu. Adanya rasa tidak bahagia tatkala menjalin hubungan dengan sejumlah perempuan perlahan menyadarkan Ditto bahwa hatinya sebetulnya hanya untuk Ayu. Masalahnya, bagaimana cara mengungkapkan isi hatinya ini? Terlebih Ayu seolah sebatas menganggapnya sebagai teman curhat belaka dan sepertinya tidak pernah menyadari bahwa segala kerja keras yang dilakukan oleh Ditto seperti membeli scooter menggunakan uang tabungan sendiri adalah upayanya untuk membahagiakan Ayu. Hubungan yang terjalin diantara keduanya ini semakin terasa rumit saat pilihan menimba ilmu di universitas memaksa mereka untuk berpisah jalan. 


Ditengok dari premis, Teman Tapi Menikah sejatinya sederhana saja (kalau tak mau disebut klise ya). Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak film romansa yang berceloteh mengenai hubungan persahabatan dua muda mudi yang berkembang menjadi hubungan percintaan. Dari zaman baheula sampai sekarang, kamu setidaknya akan menjumpai minimal satu film yang pokok kupasannya berkisar soal ‘teman tapi mesra’. Ya mau bagaimana lagi, kisah kasih semacam ini selalu memiliki sudut pandang baru untuk diceritakan sekalipun sudah teramat sering disampaikan. Teman Tapi Menikah pun demikian. Plotnya yang kelewat umum bisa saja membuat sebagian penonton memandangnya remeh, tapi film ini sanggup membuktikan bahwa jalinan penceritaan yang begitu sederhana dan terasa sangat familiar akan tetap menghasilkan tontonan yang meninggalkan kesan mendalam apabila mendapat penanganan yang tepat. Teman Tapi Menikah tidak berusaha mati-matian untuk tampil sophisticated demi menarik perhatian publik, melainkan hanya bergantung pada guliran kisahnya yang membumi dan tidak membentuk jarak terlampau jauh dengan penonton. Pertanyaan yang dilontarkan si pembuat film kepada penonton semacam “apakah kamu pernah jatuh cinta dengan teman baikmu sendiri?” dan “apakah kamu pernah melihat seseorang di dekatmu yang memiliki kisah seperti Ayu dengan Ditto?” merupakan bekal untuk membentuk keterikatan penonton kepada film. Kita merasa terikat karena kita pernah (atau sedang) berada di fase tersebut. Bukankah selalu mengasyikkan mendengar cerita mengenai pengalaman seseorang yang sama dengan kita? 

Ndilalah, tukang cerita Teman Tapi Menikah pun mampu menyusun potongan-potongan kisah kasih Ayu dengan Ditto sedari mereka masih belia sampai menikah di usia 20-an dengan amat baik. Rako Prijanto membuat kita tertambat lalu bersedia menyaksikan bagaimana hubungan dua sejoli ini mengalami transisi dari persahabatan menuju percintaan. Rako beruntung mendapat suplai naskah bagus yang dirancang oleh Johanna Wattimena beserta Upi. Rentetan konflik yang muncul secara silih berganti terhidang wajar namun tetap memikat, dialog-dialog yang dilontarkan terasa mengalir selayaknya percakapan sehari-hari namun tetap manis (tidak mencoba untuk berpuitis-puitis ria yang justru membuatnya janggal), dan karakterisasi untuk tokoh-tokoh sentral pun terbilang kuat. Sosok Ditto dan Ayu bukanlah karakter satu dimensi dengan perangai terlalu sempurna atau terlalu ajaib seperti kerap muncul di film-film percintaan. Mereka tidak ubahnya penonton yang sedang duduk di kursi bioskop seraya mencemil berondong jagung dan menyeruput minuman bersoda. Mereka adalah kita. Jika ada yang membuat Ayu terlihat agak berbeda dari perempuan sebayanya, itu karena dia menjalani profesi sebagai aktris sinetron. Tapi saat dia berada di lingkungan sekolah lalu berinteraksi dengan Ditto, dia tak ubahnya perempuan sebelah rumah yang kita kenal. Ditto yang dideskripsikan sebagai playboy pun senada, dia tidak lantas menjelma menjadi prince charming seutuhnya. Dia merasakan kegagalan, dia juga bekerja keras untuk menggapai mimpinya. Bukan tipe laki-laki berharta melimpah yang bisa memperoleh apapun yang dia mau dengan mudah.


Duo Ayu-Ditto ini dimainkan dengan sangat asyik oleh Vanesha Prescilla dan Adipati Dolken. Saat dipersatukan dalam satu layar, mereka membentuk ikatan kimia yang amat meyakinkan. Mencuat rasa percaya bahwa keduanya adalah sahabat baik yang saling peduli satu sama lain. Ini ditonjolkan melalui pertukaran dialog yang seru diantara keduanya sampai-sampai kita merasa betah untuk berlama-lama di dekat mereka. Seiring bergulirnya kisah, kita perlahan tapi pasti dapat mendeteksi bahwa sejatinya tersembunyi rasa lain dibalik hubungan persahabatan ini. Sesuatu yang tidak akan mungkin bisa kita rasakan apabila dua pelakon utamanya tidak memberi performa dan chemistry diatas rata-rata. Chemistry Vanesha-Adipati adalah aset berharga yang dimiliki oleh Teman Tapi Menikah. Berkat mereka, kita bisa bersimpati lalu memberikan restu kepada hubungan Ayu-Ditto. Siapapun telah mengetahui bagaimana kisah mereka akan berakhir di penghujung film, tapi penampilan bagus jajaran pemainnya – termasuk Denira Wiraguna sebagai mantan Ditto dan Refal Hady sebagai mantan Ayu – ditunjang oleh naskah berisi, pengarahan yang lancar, penyuntingan yang dinamis, tangkapan kamera yang cantik nan bergaya, serta iringan musik beraroma jazz yang melebur mulus ke setiap adegan sekaligus membantu menciptakan nuansa romantis-menggemaskan, membuat proses menuju bersatunya Ayu-Ditto terasa sangat mengasyikkan untuk diikuti. Kita ikut tertawa, tersenyum-senyum gemas, sampai menyeka air mata haru. Jarang-jarang ada film percintaan tanah air yang penceritaannya bisa sedemikian mengalirnya. Teman Tapi Menikah jelas merupakan salah satu film percintaan terbaik yang pernah dibuat di Indonesia.

Outstanding (4/5)

Senin, 11 Desember 2017

POSESIF (2017) REVIEW : Realita Lain dalam Kisah Cinta Remaja

POSESIF (2017) REVIEW : Realita Lain dalam Kisah Cinta Remaja


Film remaja Indonesia di tahun ini mulai memiliki berbagai macam keberagaman mulai dari tema hingga kemasan. Posesif, salah satu film remaja tahun ini yang perlu disoroti bukan dari kontroversialnya saja bisa masuk ke nominasi FFI tahun ini. Perlu digarisbawahi pula bahwa film remaja ini datang dari sutradara yang jejak rekam filmnya memiliki pendekatan non-populer. Sehingga, kedatangan film ini bisa mencuri perhatian penontonnya.

Tentu banyak orang mungkin tak lagi mengerti berbagai macam fenomena tentang kekerasaan dalam hubungan, gangguan kejiwaan, dan lain sebagainya. Film bisa jadi medium lain untuk memberikan pencerahan tentang fenomena-fenomena tertentu agar penontonnya tahu bahwa hal-hal seperti ini itu penting untuk diketahui. Posesif adalah salah satu film yang digunakan sebagai bentuk awareness. Dengan pemikiran terbuka, Posesif akan membuat kalian sadar bahwa kekerasan dalam berhubungan itu ada dan Anda perlu untuk merangkul para korbannya.

Edwin bekerjasama dengan Gina S. Noer dalam produksi naskah film Posesif ini. Dengan begitu, film ini memiliki misi untuk mengemas sebuah pesan tentang awareness mengenai kekerasan ini menjadi kemasan yang bisa dicerna. Mendekatkan problematika berhubungan itu dengan menilik lagi akarnya. Kisah-kisah seperti ini biasanya berawal mula dari kisah-kisah cinta monyet saat remaja. Kisah cinta remaja ini diwakili oleh dua pion utama Yudhis dan Lala, yang diperankan oleh Putri Marino dan Adipati Dolken.


Sehingga, inilah kisah Lala (Putri Marino) seorang atlet lompat indah yang sedang berkarir cemerlang. Dipuja oleh seluruh warga sekolah menengah atas tempatnya menuntut ilmu. Tetapi, Lala tetaplah seorang remaja yang ingin merasakan jatuh cinta. Bertemulah Lala dengan Yudhis (Adipati Dolken) yang ternyata diam-diam mengagumi Lala. Yudhis mencintai Lala dengan sepenuh hati dan jiwanya. Seluruh hidupnya pun didedikasikan untuk Lala.

Yudhis adalah pacar pertama Lala dan dia sangat menikmati setiap waktu bersama Yudhis setiap hari. Begitu pula dengan Yudhis yang benar-benar mencintai Lala hingga tak ada sedikit saja ruang untuk Lala bersama dengan yang lain. Hubungan mereka lambat laun menjadi tak sehat karena Yudhis sangat protektif terhadap Lala berkaitan dengan apapun. Hubungan Lala dan Yudhis penuh dengan naik dan turun, tetapi Lala merasa terjebak dengan Yudhis.


Jika kisah cinta SMA biasanya memiliki penggambaran yang manis di dalam film-film manapun, Edwin mengambil sudut pandang lain yang berbeda. Inilah sebuah realita lain tentang kisah romantis muda-mudi yang mungkin hanya ada dalam porsi yang sedikit, tetapi perlu untuk diketahui oleh semua orang. Edwin berusaha untuk mengemasnya dengan penuturan yang ringan, dapat diakses oleh siapapun, tetapi tak melupakan bagaimana konflik yang ditawarkan di dalam filmnya dalah isu yang perlu untuk diangkat.

Edwin bisa berkompromi dengan rekam jejak filmnya terdahulu bahwa dirinya mampu dan berhasil keluar dari zona nyamannya yang biasa mengemas film dengan penuturan yang non-populer. Tetapi, bukan berarti Posesif menghilangkan keseluruhan jiwa dari Edwin sebagai sutradara. Masih ada beberapa permainan emosi yang lebih subtil di dalam adegannya yang mampu memberikan nyawa lebih dan berakumulasi sehingga menjadi sajian yang sangat emosional.

Meski isunya yang terkesan ambisius dan berbeda, tetapi Posesif hadir dengan caranya yang sederhana. Bermimikri menjadi sesuatu yang ringan, sesekali punya keklisean remaja masa kini untuk mempermanis suasana filmnya yang memiliki dasar sebagai sebuah film drama romantis. Tetapi, juga berani untuk memberikan sebuah sub genre yang terpadu dengan genre utamanya. Dua genre yang dipadukan ini muncul sesuai dengan porsinya.


Edwin punya pengarahan yang kuat, sehingga penonton bisa ikut merasa simpati sekaligus gemas dengan kedua karakter utamanya. Naskah dari Gina S. Noer juga berhasil memberikan daya tarik yang lebih dinamis. Menyembunyikan konflik demi konflik hingga menutup filmnya dengan cara yang jauh lebih subtil tentu membutuhkan sebuah ketelitian dalam penulisannya. Meskipun, tak dapat dipungkiri bahwa Posesif memiliki beberapa inkonsistensi yang membuat tensinya berkurang.

Perlu untuk mendapat sorotan penting adalah dua pemain utamanya yang berhasil memperkuat atmosfir manis dan pahitnya kisah cinta Yudhis dan Lala. Putri Marino, seorang aktris pendatang baru ini berhasil mencuri perhatian karena performanya yang luar biasa. Juga, Adipati Dolken yang berhasil naik kelas dengan perannya sebagai Yudhis. Keduanya memiliki ikatan emosional yang kuat sehingga penonton pun bisa ikut relevan dengan setiap konflik keduanya meskipun konflik mereka jauh dari referensi penontonnya.



Maka, Posesif sebagai sebuah film punya misi khusus tentang sebuah pengenalan bagaimana orang-orang gangguan psikologis dan kekerasan dalam berhubungan itu nyata adanya. Bahkan, hal-hal itu kadang tertutupi dengan beberapa kejadian-kejadian yang sangat lumrah terjadi di sekitar kita seperti Yudhis dan Lala yang sedang asyik menjalin cinta mereka. Edwin berusaha menjadikan Posesif untuk sebuah medium agar semua orang tahu atas isu ini. Bagaimana caranya untuk menolong korban dalam kekerasan dan menyuruhnya untuk lari jika tak ada cara untuk mengenalkannya dengan cara universal. Ya, Posesif adalah alternatif cara di era sekarang.