Tampilkan postingan dengan label Putri Marino. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Putri Marino. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Januari 2023

REVIEW : JELITA SEJUBA

REVIEW : JELITA SEJUBA


“Ternyata berat menjadi seorang istri. Apalagi menjadi istri seorang tentara.” 

Kehidupan perwira dengan segala suka dukanya, termasuk saat menjalin asmara, sejatinya bukan bahan kupasan baru dalam film Indonesia. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menengoknya melalui Merah Putih (2009), Doea Tanda Cinta (2015), serta I Leave My Heart in Lebanon (2016). Hanya saja, mengingat film-film tersebut mengambil sudut pandang penceritaan dari perwira, tak ayal ada satu yang absen dan tidak pernah tergali mendalam. Kehidupan para perempuan yang mendampingi mereka. Para perempuan memang memiliki peranan di film-film ini, tapi sebatas sebagai karakter sekunder dengan karakteristik satu dimensi yang tugasnya hanyalah memotivasi si karakter utama. Tidak pernah lebih dari itu. Padahal ada satu pertanyaan menarik yang sempat beberapa kali terbersit di benak, “bagaimana cara perempuan-perempuan ini menjalani hari demi hari yang dipenuhi dengan penantian tanpa kepastian?.” Ray Nayoan yang sebelumnya lebih aktif di pembuatan film pendek, agaknya menyadari posisi mereka yang cenderung terpinggirkan dalam film Indonesia. Melalui film panjang pertamanya bertajuk Jelita Sejuba yang mengambil latar di Natuna, Kepulauan Riau, Ray bercerita mempergunakan perspektif seorang istri perwira. 

Istri perwira yang dimaksud dalam Jelita Sejuba adalah Sharifah (Putri Marino). Putri sulung dari seorang nelayan (Yayu Unru) dan pemilik warung (Nena Rosier) ini menjalankan bisnis warung makan kecil-kecilan bersama dengan kawan-kawan baiknya yang dinamai Jelita Sejuba. Di warung makan inilah Sharifah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kapten Jaka (Wafda Saifan Lubis) yang sedang ditugaskan oleh batalionnya di Natuna. Telah ada saling pandang dan saling lirik diantara keduanya, tapi belum muncul keberanian untuk mengutarakan isi hati. Apakah ini sebatas kekaguman atau memang ada rasa bernama cinta? Selepas pertemuan pertama tersebut, Jaka dan Sharifah kembali bertemu – baik sengaja maupun tidak – beberapa kali yang sedikit demi sedikit menebalkan rasa diantara mereka. Belum sempat mereka saling menyatakan rasa, Jaka dipindah tugas ke tempat lain. Dalam penantian tersebut, Sharifah mulai menyadari bahwa cintanya memang hanya untuk Jaka. Maka begitu Jaka menjejakkan kaki lagi di Natuna dan mengajaknya untuk menikah, senyum bahagia mengembang di bibirnya. Yang tidak disadari oleh Sharifah kala itu, bukan perkara mudah menjadi istri seorang tentara. Sharifah kerap mengalami fase ditinggal pergi sang suami untuk bertugas selama berbulan-bulan lamanya tanpa pernah ada kepastian kapan dia bisa kembali ke rumah. Tanpa pernah ada kepastian apakah dia bisa kembali ke rumah dengan selamat atau tidak.


Berpatokan pada sinopsis di atas, mudah untuk menyebut Jelita Sejuba memiliki plot yang amat generik. Ya mau bagaimana, pola penceritaannya masih tidak jauh-jauh dari pertemuan seorang perwira yang kaku dengan seorang perempuan desa yang lugu, lalu benih-benih asmara menyeruak hadir ditengah-tengah keduanya, dan mereka pun memutuskan untuk menikah. Jika ini ditangani secara serampangan, kemungkinan besar film akan berakhir sebagai melodrama murahan yang lebih cocok disimak di layar beling. Tapi sensitivitas Ray Nayoan dalam mengarahkan ditunjang oleh skrip renyah garapan Jujur Prananto, elemen-elemen teknis seperti skoring musik beserta sinematografi yang baik sekali, dan performa mengesankan dari jajaran pelakonnya, sanggup membuat Jelita Sejuba berada di kelas yang berbeda. Bahasa kerennya sih, classy. Pilihan Ray untuk melantunkan Jelita Sejuba dengan nada penceritaan cenderung ringan nan jenaka alih-alih penuh ratapan sekalipun Sharifah kerap berjuang seorang diri dalam mengurus rumah tangga terbilang tepat guna. Bahkan, dia mengaplikasikan cara penuturan yang bergaya sekaligus unik (paling menonjol dalam adegan Sharifah-Jaka mengajukan berkas untuk pernikahan. Serius, ini ketje!) sehingga masa-masa berseminya cinta antara dua karakter utama yang sejatinya minim letupan konflik terasa sangat nyaman buat diikuti. Penonton berulang kali dibuat tergelak-gelak oleh tingkah polah para karakter di film, dan sempat pula dibuat menyerukan ‘awww’ berjamaah ketika Jelita Sejuba mencapai titik termanisnya: Jaka melamar Sharifah menggunakan teropong. 

Ini tidak mungkin bisa dicapai apabila penonton sedari awal mengalami kesulitan untuk menginvestasikan emosi kepada film. Naskah ramuan Jujur Prananto memungkinkan kita untuk terhubung pada Sharifah-Jaka. Dia memberi latar belakang mencukupi untuk Sharifah dan Jaka, merepresentasikan mereka sebagai karakter yang mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari, dan menghadirkan dialog-dialog yang mengalir secara natural. Selain itu, performa mengesankan dari Putri Marino beserta Wafda Saifan Lubis pun membantu. Wafda adalah sesosok pria bentukan militer yang kaku, sementara Putri adalah perempuan desa yang polos. Tampak cerah ceria di paruh pertama, Putri berubah menjadi sosok yang lebih kalem di paruh selanjutnya tatkala beban hidupnya menggelembung. Kita bisa mendeteksi adanya tekanan karena kesepian, ketidakpastian, serta himpitan ekonomi. Melalui atraksi akting yang diperagakannya dalam Jelita Sejuba, kita bisa pula merasakan perkembangan akting Putri yang cukup signifikan terlebih nyawa film bergantung penuh kepadanya (dia berhasil, film berhasil. Dia gagal, film gagal). Beruntung, Putri mempunyai rekanan akting yang tidak kalah mengesankannya seperti Wafda, Yayu Unru, Nena Rosier, sampai Aldy Maldini sebagai adiknya yang bengal sehingga amat membantunya menghidupkan sosok Sharifah. Alhasil, selama menonton Jelita Sejuba kita pun ikut tertawa, tersipu, sekaligus terharu.

Exceeds Expectations (3,5/5)


Senin, 11 Desember 2017

POSESIF (2017) REVIEW : Realita Lain dalam Kisah Cinta Remaja

POSESIF (2017) REVIEW : Realita Lain dalam Kisah Cinta Remaja


Film remaja Indonesia di tahun ini mulai memiliki berbagai macam keberagaman mulai dari tema hingga kemasan. Posesif, salah satu film remaja tahun ini yang perlu disoroti bukan dari kontroversialnya saja bisa masuk ke nominasi FFI tahun ini. Perlu digarisbawahi pula bahwa film remaja ini datang dari sutradara yang jejak rekam filmnya memiliki pendekatan non-populer. Sehingga, kedatangan film ini bisa mencuri perhatian penontonnya.

Tentu banyak orang mungkin tak lagi mengerti berbagai macam fenomena tentang kekerasaan dalam hubungan, gangguan kejiwaan, dan lain sebagainya. Film bisa jadi medium lain untuk memberikan pencerahan tentang fenomena-fenomena tertentu agar penontonnya tahu bahwa hal-hal seperti ini itu penting untuk diketahui. Posesif adalah salah satu film yang digunakan sebagai bentuk awareness. Dengan pemikiran terbuka, Posesif akan membuat kalian sadar bahwa kekerasan dalam berhubungan itu ada dan Anda perlu untuk merangkul para korbannya.

Edwin bekerjasama dengan Gina S. Noer dalam produksi naskah film Posesif ini. Dengan begitu, film ini memiliki misi untuk mengemas sebuah pesan tentang awareness mengenai kekerasan ini menjadi kemasan yang bisa dicerna. Mendekatkan problematika berhubungan itu dengan menilik lagi akarnya. Kisah-kisah seperti ini biasanya berawal mula dari kisah-kisah cinta monyet saat remaja. Kisah cinta remaja ini diwakili oleh dua pion utama Yudhis dan Lala, yang diperankan oleh Putri Marino dan Adipati Dolken.


Sehingga, inilah kisah Lala (Putri Marino) seorang atlet lompat indah yang sedang berkarir cemerlang. Dipuja oleh seluruh warga sekolah menengah atas tempatnya menuntut ilmu. Tetapi, Lala tetaplah seorang remaja yang ingin merasakan jatuh cinta. Bertemulah Lala dengan Yudhis (Adipati Dolken) yang ternyata diam-diam mengagumi Lala. Yudhis mencintai Lala dengan sepenuh hati dan jiwanya. Seluruh hidupnya pun didedikasikan untuk Lala.

Yudhis adalah pacar pertama Lala dan dia sangat menikmati setiap waktu bersama Yudhis setiap hari. Begitu pula dengan Yudhis yang benar-benar mencintai Lala hingga tak ada sedikit saja ruang untuk Lala bersama dengan yang lain. Hubungan mereka lambat laun menjadi tak sehat karena Yudhis sangat protektif terhadap Lala berkaitan dengan apapun. Hubungan Lala dan Yudhis penuh dengan naik dan turun, tetapi Lala merasa terjebak dengan Yudhis.


Jika kisah cinta SMA biasanya memiliki penggambaran yang manis di dalam film-film manapun, Edwin mengambil sudut pandang lain yang berbeda. Inilah sebuah realita lain tentang kisah romantis muda-mudi yang mungkin hanya ada dalam porsi yang sedikit, tetapi perlu untuk diketahui oleh semua orang. Edwin berusaha untuk mengemasnya dengan penuturan yang ringan, dapat diakses oleh siapapun, tetapi tak melupakan bagaimana konflik yang ditawarkan di dalam filmnya dalah isu yang perlu untuk diangkat.

Edwin bisa berkompromi dengan rekam jejak filmnya terdahulu bahwa dirinya mampu dan berhasil keluar dari zona nyamannya yang biasa mengemas film dengan penuturan yang non-populer. Tetapi, bukan berarti Posesif menghilangkan keseluruhan jiwa dari Edwin sebagai sutradara. Masih ada beberapa permainan emosi yang lebih subtil di dalam adegannya yang mampu memberikan nyawa lebih dan berakumulasi sehingga menjadi sajian yang sangat emosional.

Meski isunya yang terkesan ambisius dan berbeda, tetapi Posesif hadir dengan caranya yang sederhana. Bermimikri menjadi sesuatu yang ringan, sesekali punya keklisean remaja masa kini untuk mempermanis suasana filmnya yang memiliki dasar sebagai sebuah film drama romantis. Tetapi, juga berani untuk memberikan sebuah sub genre yang terpadu dengan genre utamanya. Dua genre yang dipadukan ini muncul sesuai dengan porsinya.


Edwin punya pengarahan yang kuat, sehingga penonton bisa ikut merasa simpati sekaligus gemas dengan kedua karakter utamanya. Naskah dari Gina S. Noer juga berhasil memberikan daya tarik yang lebih dinamis. Menyembunyikan konflik demi konflik hingga menutup filmnya dengan cara yang jauh lebih subtil tentu membutuhkan sebuah ketelitian dalam penulisannya. Meskipun, tak dapat dipungkiri bahwa Posesif memiliki beberapa inkonsistensi yang membuat tensinya berkurang.

Perlu untuk mendapat sorotan penting adalah dua pemain utamanya yang berhasil memperkuat atmosfir manis dan pahitnya kisah cinta Yudhis dan Lala. Putri Marino, seorang aktris pendatang baru ini berhasil mencuri perhatian karena performanya yang luar biasa. Juga, Adipati Dolken yang berhasil naik kelas dengan perannya sebagai Yudhis. Keduanya memiliki ikatan emosional yang kuat sehingga penonton pun bisa ikut relevan dengan setiap konflik keduanya meskipun konflik mereka jauh dari referensi penontonnya.



Maka, Posesif sebagai sebuah film punya misi khusus tentang sebuah pengenalan bagaimana orang-orang gangguan psikologis dan kekerasan dalam berhubungan itu nyata adanya. Bahkan, hal-hal itu kadang tertutupi dengan beberapa kejadian-kejadian yang sangat lumrah terjadi di sekitar kita seperti Yudhis dan Lala yang sedang asyik menjalin cinta mereka. Edwin berusaha menjadikan Posesif untuk sebuah medium agar semua orang tahu atas isu ini. Bagaimana caranya untuk menolong korban dalam kekerasan dan menyuruhnya untuk lari jika tak ada cara untuk mengenalkannya dengan cara universal. Ya, Posesif adalah alternatif cara di era sekarang.