Tampilkan postingan dengan label fantasy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fantasy. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Mei 2018

Avengers : Infinity War (2018) (4,5/5)

Avengers : Infinity War (2018) (4,5/5)


"In time, you will know what it's like to lose. To feel so desperately that you're right. Yet to fail all the same. Dread it. Run from it. Destiny still arrives," - Thanos. 

RottenTomatoes: 84% | IMDb: 8.9/10  | Metascore: 68/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated : PG-13 | Genre: Action, Adventure, Fantasy

Directed by Anthony Russo, Joe Russo ; Produced by Kevin Feige ; Screenplay by Christopher Markus, Stephen McFeely ; Based on The Avengers by Stan Lee, Jack Kirby ; Starring Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans, Scarlett Johansson, Benedict Cumberbatch, Don Cheadle, Tom Holland, Chadwick Boseman, Paul Bettany, Elizabeth Olsen, Anthony Mackie, Sebastian Stan, Danai Gurira, Letitia Wright, Dave Bautista, Zoe Saldana, Josh Brolin, Chris Pratt ; Music by Alan Silvestri ; Cinematography Trent Opaloch ; Edited by Jeffrey Ford, Matthew Schmidt ; Production company Marvel Studios ; Distributed by Walt Disney Studios Motion Pictures ; Release date April 23, 2018 (Dolby Theatre), April 27, 2018 (United States) ; Running time 149 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $316–322 million

Story / Cerita / Sinopsis :
The Avengers dan teman-teman sesama superhero lainnya harus berjuang mengalahkan Thanos.

Review / Resensi:
Bukan NikenBicaraFilm namanya kalo ngereviewnya nggak telat. Hahaha. Giliran hype-nya udah reda saya malah baru nulis review-nya. Sebenarnya nontonnya udah dari 2 minggu lalu (dua kali nonton pula), namun karena sibuk pacaran ngumpulin mood maka review ini baru ditulis sekarang. Tapi nge-review telat ada untungnya juga sih. Dengan asumsi banyak yang sudah nonton, maka saya bebas untuk ngasih spoiler tipis-tipis di review-nya tanpa perlu khawatir diamuk massa. Jadi, lebih tepatnya review ini lebih diperuntukkan untuk mereka yang sudah nonton Avengers: Infinity War (selanjutnya ditulis singkat IW aja ya biar cepet).

Sedari remaja saya punya kecenderungan untuk membenci sesuatu yang disukai oleh banyak orang. Yaa... semacam anak-anak sok edgy jaman sekarang lah, cuma jaman saya SMP istilah edgy belum ada. Maka ketika hype IW lagi tinggi-tingginya, dimana timeline Instagram dan Facebook saya dipenuhi oleh teman-teman yang pamer nonton premiere IW dengan bangga, saya sempat langsung ga mood dan agak males (padahal ngiri aja ga bisa nonton premiere). Dan biasanya kalo uda gini, hasrat nyinyir saya suka keluar. Tapi entah bagaimana ketika saya masuk ke bioskop dan nonton, hasrat nyinyir saya itu entah menguap kemana. Saya menikmati setiap adegan, tertawa di setiap leluconnya, dan ketika film berakhir saya menemukan diri saya bengong sambil mikir, "Hah? Udah?". Sejujurnya, waktu nonton yang pertama kali saya merasa film ini sempurna, tapi ketika nonton untuk kedua kalinya, saya baru ngerasa ada beberapa hal yang miss. But overall I can say that Infinity War is fullfill my expectation. So prepare yourself, racauan saya ini juga akan lumayan panjang. Sampe paragraf ini aja saya masih meracau nggak penting ~

 "It's all been leading to this.."

Sepuluh tahun sejak dimulai dengan Iron Man (2008) dan diikuti tujuh belas film berikutnya, Avengers: Infinity War adalah semacam titik kulminasi dari MCU. Apakah ini adalah laga pemungkas? Untungnya enggak kok, daftar film berikutnya masih panjang (so suck it up, trend superhero masih akan merajai layar bioskop kita). Setelah Joss Whedon menggarap Avengers (2012) dan Avengers : Age of Ultron (2015), untuk seri ketiganya ini Russo Brothers yang sebelumnya nggarap Captain America: Winter Soldier (2014) dan Captain America: Civil War (2016) didapuk menjadi sutradara. IW menceritakan tentang rival terbesar semua jagoan di MCU: Thanos (Josh Brolin). Thanos sebenarnya punya cita-cita mulia, yakni menyeimbangkan alam semesta. Tapi caranya  itu yang ngawur: dengan genosida separuh makhluk hidup di seluruh alam semesta. Untuk mencapai cita-citanya ini ia mengumpulkan batu akik infinity stones di seluruh alam semesta yang akan membuatnya menjadi makhluk terkuat di jagat raya. The Avengers dan geng superhero lainnya pun berusaha menggagalkan rencana ini.

Infinity War punya beban yang cukup berat dari sekedar membuat "film-action-seru-full-superhero-dengan-efek-CGI-maha-dahsyat". IW harus menyatukan banyak karakter dalam satu film (setidaknya, saya hitung ada lebih dari 30 karakter yang nongol di film ini) tanpa membuatnya terasa "keroyokan". Untuk itu, IW mencoba memecahnya menjadi empat tim dengan misi yang berbeda-beda. Sebuah langkah yang baik dan cukup bijaksana. Tapi tentu saja, buat banyak orang yang ga ngikutin film-film MCU dari awal pastinya cuma bisa bengong karena ga paham dengan begitu banyaknya karakter yang nongol.

Saya membaca salah satu komentar seseorang kalo IW kurang mampu mengembangkan karakter masing-masing superhero dengan baik. Nah, di sini uniknya. Buat saya IW memang tidak sedang mengembangkan karakter para superhero itu, MCU punya 18 film sebelum ini untuk mengembangkan karakter-karakter jagoannya. Tapi IW adalah tentang karakter Thanos itu sendiri. Setelah sempat dikritik banyak orang karena menghadirkan villain yang begitu-begitu aja, MCU kayaknya berusaha memperbaiki hal ini dengan bikin villain yang tidak satu dimensi. Setelah sukses dengan Vulture di Spiderman: Homecoming (2017), dan Eric Killmonger (dan Ulysses Klaue?) di Black Panther (2018), Thanos adalah villain berikutnya yang membekas di hati. Setelah sebelumnya Thanos cuma cameo doank di Guardians of the Galaxy (2004) dan akhir credit di Avengers: Age of Ultron (2015), kali ini Thanos diperankan full dan langsung oleh Josh Brolin. Hal ini bikin Thanos ga cuma villain dengan muka jelek doank, tapi ada gurat-gurat emosional dan manusiawi yang bisa ditangkap dari wajahnya. Melalui IW kita tidak hanya dikenalkan dengan sifat dan karakter Thanos, tapi juga motivasi dan prinsipnya. Tambahan lagi, Thanos bukan sembarang villain. Doi kuat banget! Jagoan superhero ada sebegitu banyaknya dan si Almighty Thanos ini cuma luka dikit di muka ("All this, just for drop of blood"). 

(Spoiler: Ngomong-ngomong, saya pengen menyoroti bahwa Thanos rela mengorbankan Gamora untuk mencapai tujuannya. Hal ini beda dengan para superhero lainnya yang ga rela mengorbankan sesama superhero demi kedamaian alam semesta. Wanda ga rela Vision mati, Gamora ga rela Thanos nyiksa Nebula, Starlord mikir lama sebelum nembak Gamora, Dr. Strange ga membiarkan Iron Man mati (yang ini sih mungkin ada hubungannya dengan penglihatan Dr. Strange), Loki ga rela Thor mati... Intinya, mengorbankan diri sendiri tampaknya lebih mudah daripada mengorbankan orang lain yang kita cintai. Tapi please yes ini taruhannya alam semesta, dan ga ada yang cukup berani untuk melakukannya - kecuali Thanos. Jangan salah, Thanos beneran sayang sama Gamora. dan ingat ketika di bagian akhir Thanos ketemu Gamora kecil dan dia bilang bahwa dia kehilangan semuanya. Tapi itu sepadan dengan "cita-cita mulia" yang dimpikannya. Adegan RCTI Oke (saat Thanos duduk santai di sawah sambil lihat matahari terbit) di bagian akhir juga menarik. Sejauh ini, kayaknya belum ada film superhero yang "membiarkan" villainnya menang. Pertanyaan yang muncul adalah, kalo villain seperti Thanos menang apa sih yang bakal dia lakukan? Oh, dia ga berniat menguasai alam semesta dan memperbudak makhluk lainnya. Dia duduk santai aja di sawah menikmati "kedamaian" yang ia ciptakan).

Thanos bisa jadi adalah fokus utama dari IW, namun bukan berarti IW melupakan jagoan-jagoannya. Porsi kemunculan masing-masing karakter memang sangat terbatas, saya aja agak sebel Black Panther cuma nongol bentar dan kemunculannya kurang seksi. Tapi IW punya beberapa adegan yang memunculkan masing-masing karakter superhero lainnya dengan cukup seksi. Sebut saja: Iron Man dan Spiderman dengan kostum barunya, Thor dengan kekuatan barunya, dan bagaimana Captain America muncul dengan sangat dramatis dari balik kereta yang lewat. Momen-momen ini yang luput dari film Justice League (2017) kemaren dimana ga ada momen yang bikin saya berdecak kagum saat jagoannya muncul. Sejauh ini dari kubu sebelah momen kemunculan dramatis cuma pas Wonder Woman muncul di BvS : Dawn of Justice (2016). Saya juga suka setiap karakter di MCU masih cukup dikenali sifat-sifat aslinya. Yeng belum nonton film-film sebelumnya bisa dengan gampang menyebut sifat Tony Stark yang flamboyan, Peter Parker yang cerewet dan kaya dengan referensi pop-culture, Steve Rogers yang kaku (tapi makin hot ya Allaaaahh ~), hingga Star Lord yang konyol dan "tidak berwibawa". Sungguh MCU punya banyak stock superhero yang sangat menjual. Kamu tinggal milih aja.

Mengumpulkan seluruh karakter jadi satu adalah persoalan yang sulit, tapi menggabungkan berbagai tema dalam satu film juga adalah yang persoalan sulit yang lain. Dua seri Avengers sebelumnya menurut saya lebih mudah meleburkan tema dan atmosfer dari film-film sebelumnya, karena realitanya masih berpijak pada bumi. Namun IW ini harus menggabungkan semesta Captain America + Iron Man dkk di bumi dengan Guardians of The Galaxy (GoTG) dan Thor yang intergalactic. Semesta Captain America + Iron Man bernuansa lebih realis, high-tech, dengan mengikuti hukum-hukum fisika, kalau Guardians of the Galaxy lebih berasa space fantasy dengan warna-warna yang colorful. Untungnya, Thor: Ragnarok (2017) kemarin telah meleburkan semesta Asgardnya Thor dengan semesta universe GoTG, jadinya ga rancu ketika Thor bertemu untuk pertama kali dengan GoTG. Thanos sendiri dan pasukannya adalah makhluk luar angkasa, sehingga semesta IW dengan setting luar angkasa kemudian jadi terasa lebih dominan fantasi - yang mungkin tidak terlalu disukai oleh sebagian orang.

Sebagian orang yang saya tahu protes bahwa IW terasa sangat kekanak-kanakan dan kebanyakan humor yang tidak pada tempatnya. Banyak yang lebih suka momen di bumi dan Wakanda daripada momen-momen di luar angkasa (baca: GoTG). Lantas kemudian mereka membanding-bandingkan dengan betapa awesome-nya Winter Soldier, atau film superhero sebelah seperti Watchmen, The Dark Knight (TDK), dan Logan. Hey, saya juga sangat suka Winter Soldier dan TDK, tapi saya merasa MCU memang punya semesta dan visinyanya sendiri. MCU (kayaknya) enggak pernah berniat untuk jadi film superhero yang realis dan depresif macam TDK. MCU emang berniat jadi film yang fun, ringan, dan menyenangkan para penonton mainstream - meluaskan target market Marvel dari kaum comic-nerd menjadi penonton mainstream. Justru, menurut saya seri Captain America yang serius dan penuh drama-politik adalah yang agak menyimpang dari sebagian besar film-film MCU lainnya. Karena itulah, ketika banyak yang merasa jokes di IW maksa dan ga lucu, saya justru tertawa paling keras di bioskop. Saya kepikiran kalo sisipan leluconnya kayaknya dibikin oleh James Gunn. And anyway, GoTG-nya James Gunn sejauh ini tetap film MCU favorit saya (#teamyondu #teamdrax), saya melonjak kegirangan ketika terdengar Rubberband Man dari The Spinners seiring dengan ditampilkannya tim GoTG. Vibe-nya GotG banget.

Jikapun ada kekurangan, maka itu adalah sejak awal saya selalu merasa MCU adalah film yang bermain aman. Lakon menang mburi, lakon ga mungkin kalah (pahlawan menang belakangan, pahlawan ga mungkin kalah). Maka biarpun ending IW cukup menyesakkan yang mengingatkan saya akan series depresif bin absurd The Leftover, tapi saya tahu bahwa pada akhirnya akan baik-baik saja. Prasangka saya di awal juga akan begini: MCU akan membunuh salah satu karakter sentral, tapi superhero lainnya akan baik-baik saja - dan kayaknya ini yang mungkin akan dilakukan di untitled Avengers 4. Bakalan bikin lumayan sedih, tapi ga akan bikin penonton depresi. Faktor inilah yang kemudian bikin saya tidak pernah "melibatkan diri secara emosional seutuhnya" akan perjuangan the Avengers. Karena saya tahu mereka bakal menang....

Selain itu, yang bikin comic-nerd-nya merasa kecewa adalah karena pasukan anak buah Thanos, si Black Order tidak ditampilkan dengan cukup baik dan matinya juga.... gitu doank. Berhubung saya bukan pembaca komiknya, saya sih ga merasa terlalu keberatan, apalagi hal ini kepentok durasi terbatas. Tapi saya sedikit kecewa kalau anggota Black Order yang mengesankan cuma si Ebony Maw, yang kekerenan gaya bertarungnya mengingatkan saya dengan kerennya Yondu (#teamEbonyMaw). Sayangnya, anggota lainnya biasa aja dan mudah dilupakan.

Overview:
Bukan tugas yang mudah untuk membuat film dengan karakter sebanyak itu, harus menggabungkan beberapa "tema", menghibur penonton, sambil tetap tidak melupakan kualitas. It's not a perfect movie, tapi Avengers: Infinity War cukup mampu memenuhi ekspektasi saya. Naskah yang digarap Christoper Markus dan Stephen Freely memberikan porsi yang cukup berimbang antara setiap karakter, dengan mengambil langkah cerdas menjadikan Thanos sebagai "bintang utama", dan eksekusi yang dilakukan Russo Brothers cukup baik. Apakah ini adalah laga puncak dari keseluruhan rangkaian MCU? Ketika IW berakhir dan meninggalkan saya dalam keadaan terbengong-bengong, tentu saya mengharapkan Avengers 4 akan lebih seru lagi!

Selasa, 03 April 2018

The Shape of Water (2017) (4,5/5)

The Shape of Water (2017) (4,5/5)


"When he looks at me, the way he looks at me... He does not know, what I lack... Or - how - I am incomplete. He sees me, for what I - am, as I am. He's happy - to see me," 

RottenTomatoes: 92% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 82/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5


Rated: R | Genre: Drama, Scifi & Fantasy, Adventure

Directed by Guillermo del Toro ; Produced by Guillermo del Toro, J. Miles Dale ; Screenplay by Guillermo del Toro, Vanessa Taylor ; Story by Guillermo del Toro ; Starring Sally Hawkins, Michael Shannon, Richard Jenkins, Doug Jones, Michael Stuhlbarg, Octavia Spencer ; Music by Alexandre Desplat ; Cinematography Dan Laustsen ; Edited by Sidney Wolinsky ; Production companiesTSG Entertainment, Double Dare You Productions ; Distributed by Fox Searchlight Pictures ; Release date August 31, 2017 (Venice), December 1, 2017 (United States) ; Running time 123 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $19.5 million ; Box office $190.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Elisa Esposito (Sally Hawkins) adalah seorang perempuan bisu yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah fasilitas penelitian negara. Suatu hari ia bertemu dengan makhluk misterius di tempat kerjanya dan kemudian menjalin hubungan yang unik.

Review / Resensi :
The Shape of Water berhasil meraih Best Picture di ajang Oscar tahun 2017. Selain itu, film ini juga mengantarkan Guilermo del Toro menjadi sutradara terbaik, mengikuti jejak kawan-kawannya dalam "The Three Amigos" yaitu Alejandro G. Innaritu (Birdman, The Revenant) dan Alfonso Cuaron (Gravity) yang sebelumnya juga berhasil menyabet penghargaan yang sama. Review ini saya tulis setelah mengetahui kemenangan The Shape of Water di ajang Oscar, atau lebih tepatnya saya baru nonton film ini 1 bulan setelah ajang Oscar, dan belum nonton film-film nominasi Oscar lainnya kecuali Get Out. Sungguh sangat telat dan ga update sama sekali. Kalau udah gini saya kadang mempertanyakan apa saya pantas sok-sokan ngereview film karena jam terbang nonton saya belakangan ini uda ga seheboh dulu lagi. Ini aja saya harus ngumpulin mood semaksimal mungkin sebelum akhirnya mulai memaksa diri untuk nulis dan ngeblog lagi. Saya harap sih blog ini ga terbengkalai lama-lama dan masih punya sedikit pembaca yang masih suka baca review saya yang begini ini.... Huhu. Oke, cukuplah racauannya.

Kayaknya hampir semua penggemar film pasti tahu bahwa Guilermo del Toro punya hubungan baik dan spesial dengan monster. Saya pernah nonton video sekilas tentang rumah Guilermo del Toro yang dipenuhi patung, lukisan, poster dan hiasan yang "del Toro" banget. Dengan dinding interior yang dicat merah, rumahnya sangat artsy, gothic, dan penuh monster. Bikin ngiri lah. Kalau saya punya duit banyak saya pengen punya rumah model begini yang kemudian juga bisa dijadiin museum. Must be cool. Anyway, coba lihat videonya disini. Setelah menggarap Pacific Rim (2013) dan Crimson Peak (2015) yang terasa seperti sisi mainstream dari del Toro, melalui The Shape of Water, del Toro kembali menciptakan dunia fantasi yang lebih terasa personal seperti yang pernah dilakukannya lewat Pan's Labyrinth (2006). The Shape of Water ini budgetnya cuma 20 juta dollar lho, itungannya film ini termasuk indie. 

The Shape of Water sering disebut sebagai "Beauty and the Beast" versi dewasa. Sebuah fairy tale  untuk penonton dewasa. Disebut versi dewasa, karena melibatkan adegan masturbasi dan percintaan interspesies. Yap, The Shape of Water is about a woman who fallin in love and have sex with fish-man. Kisahnya mengikuti seorang perempuan tuna wicara bernama Elisa, yang kesepian dalam keterbatasannya. Sahabatnya adalah Zelda (Octavia Spencer), seorang perempuan kulit hitam, dan Giles (Richard Jenkins), pelukis tua yang gay. Elisa dan sahabat-sahabatnya ini mewakili minoritas, apalagi setting film ini pada tahun 60-an dimana orang-orang seperti Elisa, Zelda dan Giles adalah kaum yang terpinggirkan. Elisa kemudian bertemu dengan sebuah makhluk misterius - sebuah makhluk sejenis persilangan ikan dan manusia yang inspirasinya menurut del Toro diambil dari film Creature from Black Lagoon (1954) dan mengingatkan kita akan Abe Sapiens dari film Hellboy (dan diperankan oleh orang yang sama, Doug Jones). Makhluk tersebut rupanya adalah aset penelitian yang kemudian dijadikan perebutan dalam konflik perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam usaha menyelamatkan si amphibi-man ini, Elisa harus berhadapan dengan Colonel Strickland (Michael Shannon). 

Saya sering membaca komentar orang mengenai film ini, yang mengatakan bahwa The Shape of Water ini ngebosenin dan predictable. It's another story about good versus evil. Banyak yang bilang, The Shape of Water adalah film yang bagus, tapi untuk dinobatkan sebagai pemenang Oscar rasanya terlalu berlebihan. Saya setuju di bagian predictable-nya, tapi untuk disebut ngebosenin nggak juga. Dan biarpun saya belum nonton film-film nominasi Oscar lainnya, saya sih ga keberatan film ini meraih Best Picture. Why? Because The Shape of Water shows you "the power of cinema". The Shape of Water ini seperti Titanic (1997) atau Avatar (2012), yang secara cerita sebenarnya ya gitu-gitu aja, tapi menunjukkan betapa powerfulnya sebuah film. Hellloo... The Shape of Water ini dapet 13 nominasi Oscar lho. Buat yang bilang The Shape of Water ini adalah pilihan yang terlalu aman untuk menjadi pemenang Oscar, perlu saya ingatkan bahwa nggak banyak film sci-fi dan fantasi yang berhasil menang penghargaan ini. Correct me if I'm wrong, tapi film fantasi yang pernah menang Oscar sejauh ini cuma Lord of The Rings : The Return of the King (2003). Selain itu, ada unsur nostalgia klasik (filmnya mengambil setting tahun 60an dengan soundtrack musik-musik lawas) dan semangat optimis yang tentu menjadi poin favorit bagi para juri Academy. Dan setelah ramai isu pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein bertahun-tahun terkuak, maka kemenangan untuk Guilermo del Toro yang secara personality sangat loveable juga bisa dijadikan alasan tersendiri untuk memenangkannya. 

Okelah ceritanya mungkin emang biasa dan predictable, tapi Del Toro bisa menyusunnya menjadi sebuah narasi yang kohesif dan rapi, dan jelas aspek teknis dan visualnya menjadikan bonus yang membuat film ini terasa sangat indah. Dan jangan lupakan juga kemampuan Guilermo del Toro dan timnya dalam mewujudkan monster the amphibi-man yang terasa sangat real, tampak sangat aneh tapi juga cantik. Lalu ya Allah, ada adegan bercinta dengan makhluk aneh... tapi entah bagaimana Guilermo Del Toro bisa menjadikan adegan itu tidak terasa menjijikkan, malah kerasa indah dan romantis. Sebuah adegan ketika Zelda menanyakan Elisa tentang "bagaimana mereka melakukannya" juga menjadi sebuah unsur komedi sendiri yang menjawab rasa penasaran tentang "how they consummate their love". Sebuah narasi dari puisi yang dibacakan karakter Richard Jenkins di bagian akhirnya juga terdengar sangat indah: 
Unable to perceive the shape of You, I find You all around me. Your presence fills my eyes with Your love, It humbles my heart, For You are everywhere.
(saya pikir puisi ini puisinya Rumi, tapi ternyata puisinya Hakim Sanai. "You" di sini bisa berarti Tuhan, namun jika melihat apa yang ingin disampaikan del Toro, maka "You" bisa diartikan dengan cinta. So sweet ga sih...).

The Shape of Water juga menjadi makin spesial dengan cast yang bermain dengan sangat luar biasa, terutama Sally Hawkins yang sepanjang film harus berakting dengan mengandalkan ekspresi dan gestur tubuh berhubung ia berperan sebagai perempuan bisu. Sally Hawkins mungkin tidak punya kecantikan tipikal aktris Hollywood, namun sebagaimana del Toro mengatakan dalam salah satu wawancaranya, "Ia cantik dengan caranya sendiri,". Dan ya, Hawkins tampil mempesona. Karakter menarik lainnya ditunjukkan oleh Colonel Strickland (Michael Shannon), yang justru mempunyai kehidupan lengkap dengan keluarga khas suburban Amerika: istri yang cantik, dan dua anak yang manis. Namun rupanya ia tetap merasa kurang (ia tampak tidak bahagia di rumahnya, dan berkhayal bisa bercinta dengan Elisa yang bisu). Strickland, tampaknya adalah "monster" sesungguhnya dalam film ini. I love Shannon's performance, tapi sebenarnya saya berharap dia bisa dapet peran lain yang ga terus-terusan jahat. Lama-lama dia kayak Kevin Bacon yang sering banget jadi villain. 

Overview :
The Shape of Water adalah sebuah fairy-tale dewasa yang indah, menawan, dan terasa hangat. Passion dan semangat Guilermo del Toro sebagai seorang filmmaker sangat terasa di The Shape of Water. Jalinan ceritanya mungkin terasa predictable, namun The Shape of Water menunjukkan "the power of cinema", sebuah pertunjukkan romantis dengan semangat yang optimis yang terasa sangat klasik - padahal film ini dirilis tahun 2017. Well-cast, well-crafted, beautiful movie. Saya ikhlas kok film ini menang Oscar (padahal belum nonton yang lain).



...
SPOILER!
Anyway, ada analisa yang bilang kalau Elisa sebenarnya sejenis makhluk yang sama dengan si Amphibi-man. Ada banyak alasan: Elisa tidak bisa berbicara, saat kecil ia ditemukan di sebuah sungai, dan ia punya luka yang aneh di lehernya. And they're both in love and could have sex. Kalau sampai ada sekuelnya dan mereka punya anak, secara biologis bisa dipastikan kalau keduanya spesies yang sama! 

Kamis, 14 Desember 2017

Justice League (2017) (2,5/5)

Justice League (2017) (2,5/5)


RottenTomatoes: 40% | IMDb: 7,2/10 | Metascore: 45/100 | NikenBicaraFilm: 2,5/5

Rated: PG-13
Genre: Action, Adventure, Fantasy

Directed by Zack Snyder ; Produced by Charles Roven, Deborah Snyder, Jon Berg, Geoff Johns ; Screenplay by Chris Terrio, Joss Whedon ; Story by Chris Terrio, Zack Snyder ; Based on Justice League by Gardner Fox ; Starring Ben Affleck, Henry Cavill, Amy Adams, Gal Gadot, Ezra Miller, Jason Momoa, Ray Fisher, Jeremy Irons, Diane Lane, Connie Nielsen, J. K. Simmons ; Music by Danny Elfman ; Cinematography Fabian Wagner ; Edited by David Brenner, Richard Pearson, Martin Walsh ; Production companiesDC Films, RatPac Entertainment, Atlas Entertainment, Cruel and Unusual Films ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date November 17, 2017 (United States) ; Running time120 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $300 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Selepas kematian Superman, Bruce Wayne alias Batman (Ben Affleck) bekerjasama dengan Diana Prince alias Wonder Woman (Gal Gadot) untuk membentuk aliansi superhero demi melawan kedatangan musuh.

Review / Resensi :

APAAA??! BARU REVIEW JUSTICE LEAGUE???!!

(Mohon maaf, review ini mengandung ranjau spoiler).

Saya tahu me-review ini sangat basi. Kalau saya ngejar visitors ke blog ini, seharusnya saya sudah nge-review saat filmnya diputar pertengahan November lalu. Tapi ada daya, setelah nonton ini (alhamdulillah, kali ini nontonnya sama patjar ga sendirian), saya nggak punya cukup waktu dan (terutama) good mood untuk nulis reviewnya. Alhasil, saya baru bisa bikin review-nya hampir satu bulan kemudian... Dan inipun saya bisa ngebelain untuk bikin reviewnya, karena nafsu nyinyir saya lumayan besar. 

Ketika menulis review ini, saya berusaha mengais-ngais ingatan saya soal Justice League. Dan sejujurnya, ingatan saya soal film ini kenapa buruk-buruk semua ya. Yang terbayang pertama kali adalah wajah masam kekasih saya yang keluar bioskop sambil bersungut-sungut. Saya tahu sejak nonton trailernya (yang terlihat cukup buruk), ia berusaha tidak terlalu berekspektasi tinggi soal Justice League - apalagi mengingat reputasi film-film DCEU yang sejauh ini memalukan dibandingkan MCU, namun ia tidak menyangka bahwa ternyata hasilnya akan seburuk ini. Saya teringat komentarnya, "Fans DC ga usah sibuk membela film-film DC dengan menjatuhkan film-film MCU. Harusnya fans DC sejati malu dan marah film-film DC dibuat jadi seburuk ini!". Dan kamipun sibuk berdiskusi sambil nyinyir. Selain itu, yang terbayang berikutnya ketika berusaha mengingat-ngingat film Justice League ini adalah nada-nada catchy yang keluar dari mulut Jason Momoa sebagai Aquaman saat berkata, "My man!" dan "Alright!", serta pemandangan si Jason Momoa berjalan dengan gagah keluar dari bar sambil membuang botol bir yang baru saja ia tenggak. Entahlah, nancep banget itu di ingatan. BECAUSE IT'S SO DAMN CHEESY!

Fans DC, yang sabar ya semuanya. Nggak usah lah marah-marah ke Rotten Tomatoes dan menuduh situs itu berkonspirasi dengan Disney/Marvel untuk menjatuhkan DC, karena situs itu kerjanya cuma ngumpulin pendapat kritikus doank, bukan punya kritikus sendiri. Dan emang film-film DCEU parah-parah semua kok! (Kecuali Wonder Woman, ya). 

Salah satu kritikan terbesar yang ada pada film Batman v Superman : Dawn of Justice adalah film itu kurang fun dan terlalu serius. Bagi saya pribadi sih, jika memang DCEU menempatkan posisinya sebagai film-film superhero yang realis dan dark, maka bukanlah masalah untuk terlalu serius. Tengoklah The Dark Knight atau Captai America: Winter Soldier yang serius, minim humor dan lebih cocok utuk penonton dewasa, tapi kerennya pakai banget. Bagi saya kekurangan BvS lebih kepada scriptnya yang kacau dan membosankan, serta kurang unsur thrilling yang bikin kita tegang lalu bisa berdecak kagum. Nah, Justice League ini tampaknya berusaha menerjemahkan kritikan "terlalu serius" itu dengan berusaha menyelipkan unsur humor agar tampil sedikit santai dan tidak terlalu membosankan. Tapi tapi tapi... jatuhnya malah norak dan murahan. Saya sampai heran apakah orang-orang di belakang Justice League adalah orang-orang amatir di dunia perfilman. Kerasa sekali bahwa visi DCEU sama sekali tidak sekuat MCU. Perubahan ke arah kelewat ringan dan santai justru membuat Justice League terasa inkonsisten dengan film-film yang dibuat sebelumnya.

Bagi saya, naskahnya adalah kesalahan yang paling fatal bikin Justice League ini hancur lebur. Kekasih saya (sorry saya harus sering menyebut-nyebut dirinya karena sebagian pengetahuan dan referensi movie-comic saya dari doi), sedari awal sudah bisa menebak alur cerita Justice League ini. Pendekatan DC sangat jauh berbeda jika dibandingkan MCU. MCU berusaha membangun universe-nya pelan-pelan dengan cara membuat satu-satu film setiap jagoannya lantas mengumpulkannya di akhir fase. Sementara DC, berhubung udah telat start, memilih langsung mengumpulkan jagoannya terlebih dahulu lewat Justice League dengan hanya baru mengenalkan Wonder Woman, Superman, dan Batman. Otomatis, ada beban mengenalkan superhero-superhero lainnya lewat Justice League sebelum melakukan petarungan epik. Kekasih saya pun beropini, dalam durasi dua jam yang terbilang singkat, Justice League punya beban cerita yang padat: harus mengenalkan masing-masing superhero, memberi mereka alasan untuk bersatu, memperkenalkan sang villain Steppenwolf dan apa motifnya, lalu menampilkan pertarungan sengit. Kekasih saya pun menebak sudah pasti senjata untuk ngalahin si villain adalah Superman, dan si Superman ini harus muncul di saat kritis. Sangat mudah ditebak.

Saya juga mengharapkan ada sedikit "kerumitan" dalam ceritanya, tapi ternyata ceritanya sangat sederhana, dan entah bagaimana semuanya terasa sangat konyol. Setiap permasalahan yang ada solusinya ditemukan hanya dalam beberapa saat kemudian dan kayak terlalu gampang dan nggak pakai mikir sama sekali. Contoh, gimana Cyborg yang (ngakunya) tidak bisa mengendalikan kemampuan dirinya tiba-tiba bisa jadi sangat ahli saat dibutuhkan, atau ketika Superman yang lagi gendeng tiba-tiba jadi normal lagi karena sang kekasih muncul di waktu yang tepat (untungnya si Louis Lane ga kejebak macet di jalan). Saya sampai mikir, ini yang nulis naskah apa nggak belajar dari kesalahan yang membuat film-film DC jadi bulan-bulanan kritikus selama ini? Justice League semakin menegaskan reputasi Zack Snyder yang dikenal sebagai sutradara yang naskah filmnya selalu kacau. Saya bahkan merasa Justice League ini jauh lebih buruk daripada Suicide Squad maupun BvS.

Kalau mau dibandingkan dengan Avengers, saya merasa konflik-konflik yang muncul lebih "kaya" di film tersebut. Sebuah aliansi superhero yang berusaha untuk membentuk kerjasama yang solid, walau harus disertai dengan berantem-berantem terlebih dahulu. Siapa yang memimpin langsung jelas, dan mereka punya strategi-strategi yang diperhitungkan dengan baik. (Terlepas, konflik yang muncul di Avengers dan Avengers: Age of Ultron basically disebabkan oleh mereka sendiri!). Sementara Justice League ini.... ya ampun payah sekali. Kalau misal dua klub superhero ini ditandingkan, saya yakin Justice League ini keok duluan. Batman, yang seharusnya menjadi pemimpin besar dari superhero league ini nyatanya mendapatkan porsi paling..... memalukan. Pertama, Batman ga yakin dengan keputusannya "membangunkan" Superman. Kedua, saat Superman tiba-tiba jadi gendeng, gimana bisa Batman muncul terlambat sementara yang lain udah bertarung duluan, dan pas Superman ngeliat si Louis Lane, dilemparkan ajalah si Batman ini "semudah" itu kayak kita biasa ngelempar pakaian kotor ke keranjang. Ketiga, pas adegan klimaks menuju pertarungan dengan Steppenwolf - di dunia antah berantah -, Batman dan kawan-kawannya nggak punya strategi dan perencanaan jelas apa yang harus mereka lakukan. Saya malah lupa-lupa ingat si Batman ini ngelawan siapa sih pas climax scene. Dan kenapa sih pas mau berantem lawan musuh mereka ga nungguin Superman yang susah-susah mereka hidupkan lagi?

Ya Tuhan, saya merasa Justice League ini lebih tepat untuk disebut Superman dan kawan-kawan kecilnya. Superman ini nabi deh kayaknya. Ga ada jelek-jeleknya doi.

Oke, naskah sudah sekacau dan sekonyol itu ya. At least beri kami penonton pertarungan yang epik!

Ternyata.... enggak bagus-bagus juga. Saya cuma suka adegan kuda-kudaan para warrior perempuan di Themyscira. Selebihnya.... lame. Saya merasa CGI paradaemon dan steppenwolf-nya sangat mengganggu. Kurang stylish. Pun action fight scene-nya juga.... kurang stylish. Budget 300 juta dollar terbuang dalam kesia-siaan. Apalagi konon katanya budget itu banyak terpotong untuk efek CGI ngilangin brengos si Superman. Saya juga berharap ada momen-momen cool ketika setiap jagoan tampil di layar (sebagaimana Wonder Woman muncul di BvS untuk pertama kali yang emang keren banget), tapi ternyata.... ya enggak ada juga. Yang keren malah kemunculan Deathstroke di post-credit scene.

Hmm.. apalagi ya yang belum saya sebutkan. Oh ya, adegan desa yang kebingungan diserang oleh alien. Yang rupanya... cuma berisi satu keluarga ya. Yeah, right. Ga bisa bayar figuran, masbro?

Overview : 
Justice League seperti film yang terasa dikerjakan dengan.... malas-malasan. Terutama, scriptnya. Padahal, ini yang selalu menjadi bahan kritikan kebanyakan orang. Ceritanya terlalu ringan dan sederhana, mudah ditebak, kurang kuat, dan terasa sangat konyol. Justice League berusaha sedikit mirip MCU dengan menambahkan unsur fun, namun buat saya hal ini malah membuatnya terasa tidak konsisten dan cheap. Action scene-nya juga tidak terlalu spesial, tidak ada momen yang bisa bikin semacam moviegasm di dalam bioskop. Batman tampak seperti pemimpin yang ceroboh, dan karakter lain juga tidak terlalu membantu.

Oh, come on... is it that bad? Yes. 

Senin, 05 Desember 2016

Fantastic Beasts and Where To Find Them (2016) (4,5/5)

Fantastic Beasts and Where To Find Them (2016) (4,5/5)


"We're going to recapture my creatures before they get hurt. They're currently in alien terrain surrounded by millions of the most vicious creatures on the planet; humans," 


RottenTomatoes: 75% | IMDb: 66/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: PG-13
Genre: Fantasy, Adventure, Kids & Family

Directed by David Yates ; Produced by David Heyman, J. K. Rowling, Steve Kloves, Lionel Wigram ; Written by J. K. Rowling ; Based on Fantastic Beasts and Where to Find Them by J. K. Rowling ; Starring Eddie Redmayne, Katherine Waterston, Dan Fogler, Alison Sudol, Ezra Miller, Samantha Morton, Jon Voight, Carmen Ejogo, Ron Perlman, Colin Farrell ; Music by James Newton Howard ; Cinematography Philippe Rousselot ; Edited by Mark Day ; Production companyHeyday Films ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release dates 10 November 2016 (New York City), 18 November 2016 (United Kingdom & United States) ; Running time133 minutes ; Country United Kingdom, United States ; Language English ; Budget $180 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Kekacauan mulai terjadi ketika penyihir Newt Scamander (Eddie Redmayne) tiba di New York dan hewan-hewan sihir dan ajaib dari dalam kopernya mulai kabur.

Review / Resensi :
Bagi saya yang tumbuh dewasa dengan serial Harry Potter - melahap seluruh bukunya dan menonton semua filmnya di bioskop - tentu ada kesedihan ketika akhirnya Harry Potter harus berakhir pada novel ketujuh dan film kedelapan. Maka dari itu saya sangat antusias ketika mendengar kabar J.K. Rowling akan menggarap film seri terbaru yang diambil dari sebuah buku mungil Fantastic Beasts And Where To Find Them (selanjutnya saya singkat sebagai Fantastic Beasts). Walaupun pada awalnya cuma mau dibikin trilogi, berita terbaru menyebutkan kalau seri spin-off Harry Potter ini akan terdiri dari dari 5 film. Setting waktunya sendiri terjadi sebelum cerita Harry Potter dimulai dengan karakter-karakter yang berbeda dari versi orisinilnya. Biarpun berbeda, bagi fans berat Harry Potter beberapa tokoh yang ada di Fantastic Beasts ini pasti cukup familiar.

Ada perbedaan mendasar antara membaca novel dan menonton film. Keduanya adalah hal yang menyenangkan, namun dalam kasus Harry Potter, saya harus mengakui bahwa saya lebih prefer novelnya daripada filmnya. Melalui novelnya, dunia sihir di kepala J.K. Rowling disampaikan dengan begitu detail dan menarik, kita diajak untuk lebih mengenal karakter-karakternya dan memahami alur ceritanya dengan lebih jelas. Sedangkan melalui film, fantasi itu divisualisasikan menjadi sebuah petualangan mata yang asyik, walaupun tentu saja karena hanya sebagai sebuah rangkuman padat, film tidak akan bisa menggantikan keasyikan membaca novel. Jadi, novel dan film adalah dua komponen yang sangat mendukung bagi fans seperti saya. Maka itu, selepas menonton Fantastic Beasts saya agak sedih kenapa J.K. Rowling tidak mengerjakan versi novelnya.

Fantastic Beasts bercerita tentang Newt Scamander (Eddie Redmayne), ahli hewan-hewan sihir yang serupa David Attenborough (ahli keanekaragaman floral dan fauna yang suka nongol di BBC Earth). Pada tahun 1926 Newt yang berkebangsaan Inggris datang ke New York - Amerika, dimana di Amerika sedang terjadi sedikit gesekan antara dunia sihir dan No-Majs (sebutan muggle atau orang tanpa kekuatan sihir di Amerika), ditambah lagi ada teror-teror sebelumnya yang dilakukan oleh penyihir jahat Gellert Grindelwald. Kekacauan kemudian terjadi ketika hewan-hewan dalam koper Newt keluar dan kabur dari dalam koper. Newt, dibantu dua penyihir dan satu No-Majs, kemudian harus mencari cara untuk mengembalikan semua hewan sihir yang kabur sambil mencari tahu teror apa yang sesungguhnya terjadi di New York.

Bagi saya pribadi, menonton Fantastic Beasts and Where To Find Them seperti sebuah nostalgia indah. Kenangan akan sihir dunia Harry Potter menyeruak lagi ketika musik yang ikonik dan logo Warner Bros muncul di bagian awal film - membuat saya udah senyum-senyum terharu sendiri kayak orang culun. Fantasi masa kecil saya, tentang bagaimana saya bermimpi bisa menjadi salah satu murid Hogwarts (is it weird? is it just me who dream about that?), menjadi nilai emosional yang mampu membuat saya nyaris mengabaikan kelemahan-kelemahan yang dimiliki Fantastic Beasts. 

Dari segi cerita, jelas Fantastic Beasts adalah sebuah prolog dari episode-episode selanjutnya. Ya kurang lebih mirip bagaimana Harry Potter dimulai lewat The Sorcerer's Stone. Hal ini bisa disebut sebagai kelemahan utama yang dimiliki Fantastic Beasts. Dengan sebuah teror yang cukup misterius dan mencekam, kenyataannya hampir sebagian besar cerita Fantastic Beasts lebih banyak bercerita tentang petualangan ala film Goosebumps, bagaimana Newt dan teman-temannya sibuk menangkapi hewan-hewan yang kabur. Akibatnya, konfliknya jadi terasa hambar dan kurang menggigit karena adanya tumpang tindih antar satu bagian dengan bagian lainnya. Sebagai prolog, Fantastic Beasts juga masih menyimpan banyak misteri yang tidak terselesaikan dan ngambang. Tapi toh ini tetap sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan, karena bagi fans Harry Potter kita disuguhi kepingan - kepingan cerita yang terjadi di masa lalu di dunia sihir yang sebelumnya tidak diceritakan di seri Harry Potter. Fantastic Beasts adalah ekspansi dari dunia sihir Harry Potter. 

Aspek visual menjadi salah satu kelebihan dari Fantastic Beasts. Apalagi makhluk-makhluk yang muncul di film ini begitu unik dan ajaib, menjadi sebuah pertunjukan dan petualangan yang menyenangkan selama dua jam lebih. Animasi hewan-hewan magicalnya sangat cute, membuat saya jadi kangen dengan kucing-kucing saya di rumah. Dengan latar belakang tahun 1920-an, desain set dan propertinya juga bernuansa vintage yang cantik (anyway, series Harry Potter juga terasa vintage - mungkin modernitas tidak menyentuh dunia sihir :p). Visualisasi Fantastic Beasts mengingatkan saya dengan bagaimana David Yates memulainya di Harry Potter and The Sorcerer's Stone: fun (visualisasi seri-seri berikutnya bagi saya terasa agak kelam, apalagi yang terakhir... duh dark banget buat film remaja).

Beberapa orang bilang karakter Newt kurang tereksplor dengan baik, namun bagi saya melalui bagaimana Eddie Redmayne membawakannya - saya cukup bisa menebak bagaimana karakternya. Freak, weird, awkward, the brave outsiders yang kadang sedikit suka seenaknya sendiri - sebuah citra lain yang tentu berbeda dengan karakter Harry Potter. Eddie Redmayne juga punya pesona charming yang seketika membuat karakter Newt jadi sangat loveable. Dan Fogler sukses mencuri perhatian sebagai Jacob, pria apes yang baik hati, sebuah tandem yang baik bagi Newt. Katherine Waterston juga cukup baik memerankan karakter Tina yang ambisius. And then Ezra Miller, with his stupid haircut. Still looks cute. 


Overview:
Fantastic Beasts And Where To Find Them mungkin memang bukan film yang sempurna, ceritanya kurang menggigit, tidak cukup kreatif, dan kurang lelucon yang bisa bikin penonton ketawa, namun toh bagi fans Harry Potter seperti saya hal itu bukanlah sebuah masalah. Fantastic Beasts masih mampu menawarkan fantasi yang sangat magical - lewat visualnya yang indah dan ceritanya yang mengekspansi kepingan cerita dunia Harry Potter yang belum diceritakan : sebuah alasan kenapa kita dulu bisa jatuh cinta dengan dunia sihir milik Harry Potter dan J.K. Rowling. Fans Harry Potter butuh sebuah nostalgia dengan sebuah cerita baru, dan Fantastic Beasts berhasil mewujudkannya.

Minggu, 24 Mei 2015

Kiba Episode 1-51(END) Subtitle Indonesia

Kiba Episode 1-51(END) Subtitle Indonesia



Di masa depan dystopian, dua sahabat memimpikan kebebasan … dan mendapatkan dari pada yang sudah ada! Zed yang suka marah lari dari pemerintah, sementara temannya yang cerdas, Nuh berjuang dengan tubuh babak belur sendirian. Keduanya menemukan dunia magis yang bisa untuk melarikan diri dan mendapatkan kekuasaan sihir. Mulailah petualangan Zed dan kekuatan roh yang bernama Amir Gaul pada pencarian kekuatan terhebat. Ini adalah kekuatan yang dapat menyelamatkan dunia atau juga bisa menghancurkan kehidupan alam semesta. Ini adalah dunia kiba! Di mana kau harus memanfaatkan kekuatan sihir dalam pertarungan dengan seluruh tenaga!



Type: TV
Episodes: 51
Status: Finished Airing
Aired: Apr 2, 2006 to Mar 25, 2007
Producers: Madhouse, Aniplex, ADV FilmsL, Ashi Productions, Sentai FilmworksL, Sony Music Entertainment
Genres: Adventure, Fantasy, Shounen
Duration: 24 min. per episode
Rating: PG-13 - Teens 13 or older

Link Download - Kiba Episode 1-51(END) Subtitle Indonesia
Freeoas_Kiba_Ep01-animesave.mkv - 73.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep02_animesave.mkv - 71.6 MB
Freeoas_Kiba_Ep03_animesave.mkv - 76.9 MB
Freeoas_Kiba_Ep04_animesave.mkv - 70.2 MB
Freeoas_Kiba_Ep05_animesave.mkv - 95.3 MB
Freeoas_Kiba_Ep06_animesave.mkv - 70.2 MB
Freeoas_Kiba_Ep07_animesave.mkv - 95.3 MB
Freeoas_Kiba_Ep08_animesave.mkv - 95.3 MB
Freeoas_Kiba_Ep09_animesave.mkv - 95.3 MB
Freeoas_Kiba_Ep10_animesave.mkv - 95.3 MB
Freeoas_Kiba_Ep11_animesave.mkv - 95.4 MB
Freeoas_Kiba_Ep12_animesave.mkv - 50.2 MB
Freeoas_Kiba_Ep13_animesave.mkv - 50.1 MB
Freeoas_Kiba_Ep14_animesave.mkv - 48.5 MB
Freeoas_Kiba_Ep15_animesave.mkv - 50.0 MB
Freeoas_Kiba_Ep16_animesave.mkv - 50.1 MB
Freeoas_Kiba_Ep17_animesave.mkv - 50.0 MB
Freeoas_Kiba_Ep18_animesave.mkv - 50.1 MB
Freeoas_Kiba_Ep19_animesave.mkv - 50.0 MB
Freeoas_Kiba_Ep20_animesave.mkv - 50.0 MB
Freeoas_Kiba_Ep21_animesave.mkv - 93.6 MB
Freeoas_Kiba_Ep22_animesave.mkv - 94.4 MB
Freeoas_Kiba_Ep23_animesave.mkv - 94.5 MB
Freeoas_Kiba_Ep24_animesave.mkv - 97.5 MB
Freeoas_Kiba_Ep25_animesave.mkv - 94.5 MB
Freeoas_Kiba_Ep26_animesave.mkv - 110.5 MB
Freeoas_Kiba_Ep27_animesave.mkv - 92.5 MB
Freeoas_Kiba_Ep28_animesave.mkv - 94.4 MB
Freeoas_Kiba_Ep29_animesave.mkv - 94.5 MB
Freeoas_Kiba_Ep30_animesave.mkv - 53.3 MB
Freeoas_Kiba_Ep31_animesave.mkv - 53.3 MB
Freeoas_Kiba_Ep32_animesave.mkv - 50.0 MB
Freeoas_Kiba_Ep33_animesave.mkv - 54.0 MB
Freeoas_Kiba_Ep34_animesave.mkv - 53.9 MB
Freeoas_Kiba_Ep35_animesave.mkv - 49.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep36_animesave.mkv - 49.7 MB
Freeoas_Kiba_Ep37_animesave.mkv - 49.7 MB
Freeoas_Kiba_Ep38_animesave.mkv - 49.7 MB
Freeoas_Kiba_Ep39_animesave.mkv - 49.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep40_animesave.mkv - 49.7 MB
Freeoas_Kiba_Ep41_animesave.mkv - 49.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep42_animesave.mkv - 53.6 MB
Freeoas_Kiba_Ep43_animesave.mkv - 49.7 MB
Freeoas_Kiba_Ep44_animesave.mkv - 49.7 MB
Freeoas_Kiba_Ep45_animesave.mkv - 49.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep46_animesave.mkv - 23.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep47_animesave.mkv - 49.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep48_animesave.mkv - 49.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep49_animesave.mkv - 49.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep50_animesave.mkv - 49.8 MB
Freeoas_Kiba_Ep51_animesave.mkv - 52.2 MB

Special Thanks to freeoas
Shared by RuneAnime

Selasa, 12 Mei 2015

Druaga no Tou The Sword of Uruk EPisode1-12(END) Subtitle Indonesia

Druaga no Tou The Sword of Uruk EPisode1-12(END) Subtitle Indonesia

           Dengan rusaknya roh dan pertanyaan misterius yang tidak ada jawabannya, Jil masih mencoba untuk mencari tahu segala sesuatu tentang menara itu. Kemudian, seorang gadis misterius bernama Kai muncul sebelumnya dia mengatakan: “Bawa aku ke puncak menara

Permintaan Kai diselimuti semangat, Jil memilih untuk bekerja sama dan naik ke puncak menara. Dengan harapan dan semangat baru, Jil harus bangkit untuk menantang sekali lagi pada petualangan yang tidak pernah berakhir ini.



Type: TV Series
Episode: 12
Status: Completed
Genres: Adventure, Fantasy
Skor : 7.45 (http://myanimelist.net/anime/4726/Druaga_no_Tou:_The_Sword_of_Uruk)
Tahun Rilis : 2009
Subtitle : Indonesia
Credit : panayagan.tk


Shared by RuneAnime

Sabtu, 25 April 2015

Kyoukai no Kanata Movie 1: I’ll Be Here – Kako-hen Subtitle Indonesia

Kyoukai no Kanata Movie 1: I’ll Be Here – Kako-hen Subtitle Indonesia


         Ini adalah film Bagian pertama dari 2 bagian film Kyoukai. Cerita ini adalah rekapan dari serial TV. Penasaran seperti apakah ceritanya? Langsung aja download gan :D, jangan lupa download subtitle nya juga ya :D

Type: Movie
Episodes: 1
Status: Finished Airing
Aired: Mar 14, 2015
Producers: Kyoto Animation, Shochiku
Genres: Fantasy, Slice of Life, Supernatural
Duration: 1 hr. 22 min.
Rating: PG-13 - Teens 13 or older

Link Download - Kyoukai no Kanata Movie 1: I’ll Be Here – Kako-hen Subtitle Indonesia

Special Thanks to Moesubs.com
Shared by RuneAnime

Rabu, 22 April 2015

JoJo's Bizarre Adventure Ova 1-6 [END] Subtitle Indonesia

JoJo's Bizarre Adventure Ova 1-6 [END] Subtitle Indonesia


Deskripsi:
OVA dengan cerita Part 3: Stardus Crusaders ini dibuat lebih dulu daripada Part 1 karena begitu populernya Part 3 yang mengisahkan tentang Jotaro dan kekuatan Stand. Episode pertama di sini sama dengan Egypt Arc di Stardust Crusaders 2014, namun tentunya disingkat. Musuh yang dihadapi di sini mulai dari Geb hingga final boss, Dio!

Synonyms: JoJo's Bizarre Adventure OVA 1, JoJo no Kimyou na Bouken
Japanese: ジョジョの奇妙な冒険
Type: OVA
Episodes: 6
Status: Finished Airing
Aired: Nov 19, 1993 to Nov 18, 1994
Producers: APPP
Genres: Adventure, Drama, Fantasy, Horror, Shounen, Vampire, Supernatural
Duration: 35 min. per episode
Rating: R - 17+ (violence & profanity)


Special Thanks to Animesave

Shared by RuneAnime