Avengers : Infinity War (2018) (4,5/5)
2018 Action Adventure fantasy Superhero"In time, you will know what it's like to lose. To feel so desperately that you're right. Yet to fail all the same. Dread it. Run from it. Destiny still arrives," - Thanos.
RottenTomatoes: 84% | IMDb: 8.9/10 | Metascore: 68/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5
Rated : PG-13 | Genre: Action, Adventure, Fantasy
Directed by Anthony Russo, Joe Russo ; Produced by Kevin Feige ; Screenplay by Christopher Markus, Stephen McFeely ; Based on The Avengers by Stan Lee, Jack Kirby ; Starring Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans, Scarlett Johansson, Benedict Cumberbatch, Don Cheadle, Tom Holland, Chadwick Boseman, Paul Bettany, Elizabeth Olsen, Anthony Mackie, Sebastian Stan, Danai Gurira, Letitia Wright, Dave Bautista, Zoe Saldana, Josh Brolin, Chris Pratt ; Music by Alan Silvestri ; Cinematography Trent Opaloch ; Edited by Jeffrey Ford, Matthew Schmidt ; Production company Marvel Studios ; Distributed by Walt Disney Studios Motion Pictures ; Release date April 23, 2018 (Dolby Theatre), April 27, 2018 (United States) ; Running time 149 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $316–322 million
Story / Cerita / Sinopsis :
The Avengers dan teman-teman sesama superhero lainnya harus berjuang mengalahkan Thanos.Review / Resensi:
Bukan NikenBicaraFilm namanya kalo ngereviewnya nggak telat. Hahaha. Giliran hype-nya udah reda saya malah baru nulis review-nya. Sebenarnya nontonnya udah dari 2 minggu lalu (dua kali nonton pula), namun karena sibuk pacaran ngumpulin mood maka review ini baru ditulis sekarang. Tapi nge-review telat ada untungnya juga sih. Dengan asumsi banyak yang sudah nonton, maka saya bebas untuk ngasih spoiler tipis-tipis di review-nya tanpa perlu khawatir diamuk massa. Jadi, lebih tepatnya review ini lebih diperuntukkan untuk mereka yang sudah nonton Avengers: Infinity War (selanjutnya ditulis singkat IW aja ya biar cepet).
Sedari remaja saya punya kecenderungan untuk membenci sesuatu yang disukai oleh banyak orang. Yaa... semacam anak-anak sok edgy jaman sekarang lah, cuma jaman saya SMP istilah edgy belum ada. Maka ketika hype IW lagi tinggi-tingginya, dimana timeline Instagram dan Facebook saya dipenuhi oleh teman-teman yang pamer nonton premiere IW dengan bangga, saya sempat langsung ga mood dan agak males (padahal ngiri aja ga bisa nonton premiere). Dan biasanya kalo uda gini, hasrat nyinyir saya suka keluar. Tapi entah bagaimana ketika saya masuk ke bioskop dan nonton, hasrat nyinyir saya itu entah menguap kemana. Saya menikmati setiap adegan, tertawa di setiap leluconnya, dan ketika film berakhir saya menemukan diri saya bengong sambil mikir, "Hah? Udah?". Sejujurnya, waktu nonton yang pertama kali saya merasa film ini sempurna, tapi ketika nonton untuk kedua kalinya, saya baru ngerasa ada beberapa hal yang miss. But overall I can say that Infinity War is fullfill my expectation. So prepare yourself, racauan saya ini juga akan lumayan panjang. Sampe paragraf ini aja saya masih meracau nggak penting ~
"It's all been leading to this.."
Sepuluh tahun sejak dimulai dengan Iron Man (2008) dan diikuti tujuh belas film berikutnya, Avengers: Infinity War adalah semacam titik kulminasi dari MCU. Apakah ini adalah laga pemungkas? Untungnya enggak kok, daftar film berikutnya masih panjang (so suck it up, trend superhero masih akan merajai layar bioskop kita). Setelah Joss Whedon menggarap Avengers (2012) dan Avengers : Age of Ultron (2015), untuk seri ketiganya ini Russo Brothers yang sebelumnya nggarap Captain America: Winter Soldier (2014) dan Captain America: Civil War (2016) didapuk menjadi sutradara. IW menceritakan tentang rival terbesar semua jagoan di MCU: Thanos (Josh Brolin). Thanos sebenarnya punya cita-cita mulia, yakni menyeimbangkan alam semesta. Tapi caranya itu yang ngawur: dengan genosida separuh makhluk hidup di seluruh alam semesta. Untuk mencapai cita-citanya ini ia mengumpulkanbatu akik infinity stones di seluruh alam semesta yang akan membuatnya menjadi makhluk terkuat di jagat raya. The Avengers dan geng superhero lainnya pun berusaha menggagalkan rencana ini.
Infinity War punya beban yang cukup berat dari sekedar membuat "film-action-seru-full-superhero-dengan-efek-CGI-maha-dahsyat". IW harus menyatukan banyak karakter dalam satu film (setidaknya, saya hitung ada lebih dari 30 karakter yang nongol di film ini) tanpa membuatnya terasa "keroyokan". Untuk itu, IW mencoba memecahnya menjadi empat tim dengan misi yang berbeda-beda. Sebuah langkah yang baik dan cukup bijaksana. Tapi tentu saja, buat banyak orang yang ga ngikutin film-film MCU dari awal pastinya cuma bisa bengong karena ga paham dengan begitu banyaknya karakter yang nongol.
Saya membaca salah satu komentar seseorang kalo IW kurang mampu mengembangkan karakter masing-masing superhero dengan baik. Nah, di sini uniknya. Buat saya IW memang tidak sedang mengembangkan karakter para superhero itu, MCU punya 18 film sebelum ini untuk mengembangkan karakter-karakter jagoannya. Tapi IW adalah tentang karakter Thanos itu sendiri. Setelah sempat dikritik banyak orang karena menghadirkan villain yang begitu-begitu aja, MCU kayaknya berusaha memperbaiki hal ini dengan bikin villain yang tidak satu dimensi. Setelah sukses dengan Vulture di Spiderman: Homecoming (2017), dan Eric Killmonger (dan Ulysses Klaue?) di Black Panther (2018), Thanos adalah villain berikutnya yang membekas di hati. Setelah sebelumnya Thanos cuma cameo doank di Guardians of the Galaxy (2004) dan akhir credit di Avengers: Age of Ultron (2015), kali ini Thanos diperankan full dan langsung oleh Josh Brolin. Hal ini bikin Thanos ga cuma villain dengan muka jelek doank, tapi ada gurat-gurat emosional dan manusiawi yang bisa ditangkap dari wajahnya. Melalui IW kita tidak hanya dikenalkan dengan sifat dan karakter Thanos, tapi juga motivasi dan prinsipnya. Tambahan lagi, Thanos bukan sembarang villain. Doi kuat banget! Jagoan superhero ada sebegitu banyaknya dan si Almighty Thanos ini cuma luka dikit di muka ("All this, just for drop of blood").
(Spoiler: Ngomong-ngomong, saya pengen menyoroti bahwa Thanos rela mengorbankan Gamora untuk mencapai tujuannya. Hal ini beda dengan para superhero lainnya yang ga rela mengorbankan sesama superhero demi kedamaian alam semesta. Wanda ga rela Vision mati, Gamora ga rela Thanos nyiksa Nebula, Starlord mikir lama sebelum nembak Gamora, Dr. Strange ga membiarkan Iron Man mati (yang ini sih mungkin ada hubungannya dengan penglihatan Dr. Strange), Loki ga rela Thor mati... Intinya, mengorbankan diri sendiri tampaknya lebih mudah daripada mengorbankan orang lain yang kita cintai. Tapi please yes ini taruhannya alam semesta, dan ga ada yang cukup berani untuk melakukannya - kecuali Thanos. Jangan salah, Thanos beneran sayang sama Gamora. dan ingat ketika di bagian akhir Thanos ketemu Gamora kecil dan dia bilang bahwa dia kehilangan semuanya. Tapi itu sepadan dengan "cita-cita mulia" yang dimpikannya. Adegan RCTI Oke (saat Thanos duduk santai di sawah sambil lihat matahari terbit) di bagian akhir juga menarik. Sejauh ini, kayaknya belum ada film superhero yang "membiarkan" villainnya menang. Pertanyaan yang muncul adalah, kalo villain seperti Thanos menang apa sih yang bakal dia lakukan? Oh, dia ga berniat menguasai alam semesta dan memperbudak makhluk lainnya. Dia duduk santai aja di sawah menikmati "kedamaian" yang ia ciptakan).
Thanos bisa jadi adalah fokus utama dari IW, namun bukan berarti IW melupakan jagoan-jagoannya. Porsi kemunculan masing-masing karakter memang sangat terbatas, saya aja agak sebel Black Panther cuma nongol bentar dan kemunculannya kurang seksi. Tapi IW punya beberapa adegan yang memunculkan masing-masing karakter superhero lainnya dengan cukup seksi. Sebut saja: Iron Man dan Spiderman dengan kostum barunya, Thor dengan kekuatan barunya, dan bagaimana Captain America muncul dengan sangat dramatis dari balik kereta yang lewat. Momen-momen ini yang luput dari film Justice League (2017) kemaren dimana ga ada momen yang bikin saya berdecak kagum saat jagoannya muncul. Sejauh ini dari kubu sebelah momen kemunculan dramatis cuma pas Wonder Woman muncul di BvS : Dawn of Justice (2016). Saya juga suka setiap karakter di MCU masih cukup dikenali sifat-sifat aslinya. Yeng belum nonton film-film sebelumnya bisa dengan gampang menyebut sifat Tony Stark yang flamboyan, Peter Parker yang cerewet dan kaya dengan referensi pop-culture, Steve Rogers yang kaku (tapi makin hot ya Allaaaahh ~), hingga Star Lord yang konyol dan "tidak berwibawa". Sungguh MCU punya banyak stock superhero yang sangat menjual. Kamu tinggal milih aja.
Mengumpulkan seluruh karakter jadi satu adalah persoalan yang sulit, tapi menggabungkan berbagai tema dalam satu film juga adalah yang persoalan sulit yang lain. Dua seri Avengers sebelumnya menurut saya lebih mudah meleburkan tema dan atmosfer dari film-film sebelumnya, karena realitanya masih berpijak pada bumi. Namun IW ini harus menggabungkan semesta Captain America + Iron Man dkk di bumi dengan Guardians of The Galaxy (GoTG) dan Thor yang intergalactic. Semesta Captain America + Iron Man bernuansa lebih realis, high-tech, dengan mengikuti hukum-hukum fisika, kalau Guardians of the Galaxy lebih berasa space fantasy dengan warna-warna yang colorful. Untungnya, Thor: Ragnarok (2017) kemarin telah meleburkan semesta Asgardnya Thor dengan semesta universe GoTG, jadinya ga rancu ketika Thor bertemu untuk pertama kali dengan GoTG. Thanos sendiri dan pasukannya adalah makhluk luar angkasa, sehingga semesta IW dengan setting luar angkasa kemudian jadi terasa lebih dominan fantasi - yang mungkin tidak terlalu disukai oleh sebagian orang.
Sebagian orang yang saya tahu protes bahwa IW terasa sangat kekanak-kanakan dan kebanyakan humor yang tidak pada tempatnya. Banyak yang lebih suka momen di bumi dan Wakanda daripada momen-momen di luar angkasa (baca: GoTG). Lantas kemudian mereka membanding-bandingkan dengan betapa awesome-nya Winter Soldier, atau film superhero sebelah seperti Watchmen, The Dark Knight (TDK), dan Logan. Hey, saya juga sangat suka Winter Soldier dan TDK, tapi saya merasa MCU memang punya semesta dan visinyanya sendiri. MCU (kayaknya) enggak pernah berniat untuk jadi film superhero yang realis dan depresif macam TDK. MCU emang berniat jadi film yang fun, ringan, dan menyenangkan para penonton mainstream - meluaskan target market Marvel dari kaum comic-nerd menjadi penonton mainstream. Justru, menurut saya seri Captain America yang serius dan penuh drama-politik adalah yang agak menyimpang dari sebagian besar film-film MCU lainnya. Karena itulah, ketika banyak yang merasa jokes di IW maksa dan ga lucu, saya justru tertawa paling keras di bioskop. Saya kepikiran kalo sisipan leluconnya kayaknya dibikin oleh James Gunn. And anyway, GoTG-nya James Gunn sejauh ini tetap film MCU favorit saya (#teamyondu #teamdrax), saya melonjak kegirangan ketika terdengar Rubberband Man dari The Spinners seiring dengan ditampilkannya tim GoTG. Vibe-nya GotG banget.
Jikapun ada kekurangan, maka itu adalah sejak awal saya selalu merasa MCU adalah film yang bermain aman. Lakon menang mburi, lakon ga mungkin kalah (pahlawan menang belakangan, pahlawan ga mungkin kalah). Maka biarpun ending IW cukup menyesakkan yang mengingatkan saya akan series depresif bin absurd The Leftover, tapi saya tahu bahwa pada akhirnya akan baik-baik saja. Prasangka saya di awal juga akan begini: MCU akan membunuh salah satu karakter sentral, tapi superhero lainnya akan baik-baik saja - dan kayaknya ini yang mungkin akan dilakukan di untitled Avengers 4. Bakalan bikin lumayan sedih, tapi ga akan bikin penonton depresi. Faktor inilah yang kemudian bikin saya tidak pernah "melibatkan diri secara emosional seutuhnya" akan perjuangan the Avengers. Karena saya tahu mereka bakal menang....
Selain itu, yang bikin comic-nerd-nya merasa kecewa adalah karena pasukan anak buah Thanos, si Black Order tidak ditampilkan dengan cukup baik dan matinya juga.... gitu doank. Berhubung saya bukan pembaca komiknya, saya sih ga merasa terlalu keberatan, apalagi hal ini kepentok durasi terbatas. Tapi saya sedikit kecewa kalau anggota Black Order yang mengesankan cuma si Ebony Maw, yang kekerenan gaya bertarungnya mengingatkan saya dengan kerennya Yondu (#teamEbonyMaw). Sayangnya, anggota lainnya biasa aja dan mudah dilupakan.
Sepuluh tahun sejak dimulai dengan Iron Man (2008) dan diikuti tujuh belas film berikutnya, Avengers: Infinity War adalah semacam titik kulminasi dari MCU. Apakah ini adalah laga pemungkas? Untungnya enggak kok, daftar film berikutnya masih panjang (so suck it up, trend superhero masih akan merajai layar bioskop kita). Setelah Joss Whedon menggarap Avengers (2012) dan Avengers : Age of Ultron (2015), untuk seri ketiganya ini Russo Brothers yang sebelumnya nggarap Captain America: Winter Soldier (2014) dan Captain America: Civil War (2016) didapuk menjadi sutradara. IW menceritakan tentang rival terbesar semua jagoan di MCU: Thanos (Josh Brolin). Thanos sebenarnya punya cita-cita mulia, yakni menyeimbangkan alam semesta. Tapi caranya itu yang ngawur: dengan genosida separuh makhluk hidup di seluruh alam semesta. Untuk mencapai cita-citanya ini ia mengumpulkan
Infinity War punya beban yang cukup berat dari sekedar membuat "film-action-seru-full-superhero-dengan-efek-CGI-maha-dahsyat". IW harus menyatukan banyak karakter dalam satu film (setidaknya, saya hitung ada lebih dari 30 karakter yang nongol di film ini) tanpa membuatnya terasa "keroyokan". Untuk itu, IW mencoba memecahnya menjadi empat tim dengan misi yang berbeda-beda. Sebuah langkah yang baik dan cukup bijaksana. Tapi tentu saja, buat banyak orang yang ga ngikutin film-film MCU dari awal pastinya cuma bisa bengong karena ga paham dengan begitu banyaknya karakter yang nongol.
Saya membaca salah satu komentar seseorang kalo IW kurang mampu mengembangkan karakter masing-masing superhero dengan baik. Nah, di sini uniknya. Buat saya IW memang tidak sedang mengembangkan karakter para superhero itu, MCU punya 18 film sebelum ini untuk mengembangkan karakter-karakter jagoannya. Tapi IW adalah tentang karakter Thanos itu sendiri. Setelah sempat dikritik banyak orang karena menghadirkan villain yang begitu-begitu aja, MCU kayaknya berusaha memperbaiki hal ini dengan bikin villain yang tidak satu dimensi. Setelah sukses dengan Vulture di Spiderman: Homecoming (2017), dan Eric Killmonger (dan Ulysses Klaue?) di Black Panther (2018), Thanos adalah villain berikutnya yang membekas di hati. Setelah sebelumnya Thanos cuma cameo doank di Guardians of the Galaxy (2004) dan akhir credit di Avengers: Age of Ultron (2015), kali ini Thanos diperankan full dan langsung oleh Josh Brolin. Hal ini bikin Thanos ga cuma villain dengan muka jelek doank, tapi ada gurat-gurat emosional dan manusiawi yang bisa ditangkap dari wajahnya. Melalui IW kita tidak hanya dikenalkan dengan sifat dan karakter Thanos, tapi juga motivasi dan prinsipnya. Tambahan lagi, Thanos bukan sembarang villain. Doi kuat banget! Jagoan superhero ada sebegitu banyaknya dan si Almighty Thanos ini cuma luka dikit di muka ("All this, just for drop of blood").
(Spoiler: Ngomong-ngomong, saya pengen menyoroti bahwa Thanos rela mengorbankan Gamora untuk mencapai tujuannya. Hal ini beda dengan para superhero lainnya yang ga rela mengorbankan sesama superhero demi kedamaian alam semesta. Wanda ga rela Vision mati, Gamora ga rela Thanos nyiksa Nebula, Starlord mikir lama sebelum nembak Gamora, Dr. Strange ga membiarkan Iron Man mati (yang ini sih mungkin ada hubungannya dengan penglihatan Dr. Strange), Loki ga rela Thor mati... Intinya, mengorbankan diri sendiri tampaknya lebih mudah daripada mengorbankan orang lain yang kita cintai. Tapi please yes ini taruhannya alam semesta, dan ga ada yang cukup berani untuk melakukannya - kecuali Thanos. Jangan salah, Thanos beneran sayang sama Gamora. dan ingat ketika di bagian akhir Thanos ketemu Gamora kecil dan dia bilang bahwa dia kehilangan semuanya. Tapi itu sepadan dengan "cita-cita mulia" yang dimpikannya. Adegan RCTI Oke (saat Thanos duduk santai di sawah sambil lihat matahari terbit) di bagian akhir juga menarik. Sejauh ini, kayaknya belum ada film superhero yang "membiarkan" villainnya menang. Pertanyaan yang muncul adalah, kalo villain seperti Thanos menang apa sih yang bakal dia lakukan? Oh, dia ga berniat menguasai alam semesta dan memperbudak makhluk lainnya. Dia duduk santai aja di sawah menikmati "kedamaian" yang ia ciptakan).
Thanos bisa jadi adalah fokus utama dari IW, namun bukan berarti IW melupakan jagoan-jagoannya. Porsi kemunculan masing-masing karakter memang sangat terbatas, saya aja agak sebel Black Panther cuma nongol bentar dan kemunculannya kurang seksi. Tapi IW punya beberapa adegan yang memunculkan masing-masing karakter superhero lainnya dengan cukup seksi. Sebut saja: Iron Man dan Spiderman dengan kostum barunya, Thor dengan kekuatan barunya, dan bagaimana Captain America muncul dengan sangat dramatis dari balik kereta yang lewat. Momen-momen ini yang luput dari film Justice League (2017) kemaren dimana ga ada momen yang bikin saya berdecak kagum saat jagoannya muncul. Sejauh ini dari kubu sebelah momen kemunculan dramatis cuma pas Wonder Woman muncul di BvS : Dawn of Justice (2016). Saya juga suka setiap karakter di MCU masih cukup dikenali sifat-sifat aslinya. Yeng belum nonton film-film sebelumnya bisa dengan gampang menyebut sifat Tony Stark yang flamboyan, Peter Parker yang cerewet dan kaya dengan referensi pop-culture, Steve Rogers yang kaku (tapi makin hot ya Allaaaahh ~), hingga Star Lord yang konyol dan "tidak berwibawa". Sungguh MCU punya banyak stock superhero yang sangat menjual. Kamu tinggal milih aja.
Mengumpulkan seluruh karakter jadi satu adalah persoalan yang sulit, tapi menggabungkan berbagai tema dalam satu film juga adalah yang persoalan sulit yang lain. Dua seri Avengers sebelumnya menurut saya lebih mudah meleburkan tema dan atmosfer dari film-film sebelumnya, karena realitanya masih berpijak pada bumi. Namun IW ini harus menggabungkan semesta Captain America + Iron Man dkk di bumi dengan Guardians of The Galaxy (GoTG) dan Thor yang intergalactic. Semesta Captain America + Iron Man bernuansa lebih realis, high-tech, dengan mengikuti hukum-hukum fisika, kalau Guardians of the Galaxy lebih berasa space fantasy dengan warna-warna yang colorful. Untungnya, Thor: Ragnarok (2017) kemarin telah meleburkan semesta Asgardnya Thor dengan semesta universe GoTG, jadinya ga rancu ketika Thor bertemu untuk pertama kali dengan GoTG. Thanos sendiri dan pasukannya adalah makhluk luar angkasa, sehingga semesta IW dengan setting luar angkasa kemudian jadi terasa lebih dominan fantasi - yang mungkin tidak terlalu disukai oleh sebagian orang.
Sebagian orang yang saya tahu protes bahwa IW terasa sangat kekanak-kanakan dan kebanyakan humor yang tidak pada tempatnya. Banyak yang lebih suka momen di bumi dan Wakanda daripada momen-momen di luar angkasa (baca: GoTG). Lantas kemudian mereka membanding-bandingkan dengan betapa awesome-nya Winter Soldier, atau film superhero sebelah seperti Watchmen, The Dark Knight (TDK), dan Logan. Hey, saya juga sangat suka Winter Soldier dan TDK, tapi saya merasa MCU memang punya semesta dan visinyanya sendiri. MCU (kayaknya) enggak pernah berniat untuk jadi film superhero yang realis dan depresif macam TDK. MCU emang berniat jadi film yang fun, ringan, dan menyenangkan para penonton mainstream - meluaskan target market Marvel dari kaum comic-nerd menjadi penonton mainstream. Justru, menurut saya seri Captain America yang serius dan penuh drama-politik adalah yang agak menyimpang dari sebagian besar film-film MCU lainnya. Karena itulah, ketika banyak yang merasa jokes di IW maksa dan ga lucu, saya justru tertawa paling keras di bioskop. Saya kepikiran kalo sisipan leluconnya kayaknya dibikin oleh James Gunn. And anyway, GoTG-nya James Gunn sejauh ini tetap film MCU favorit saya (#teamyondu #teamdrax), saya melonjak kegirangan ketika terdengar Rubberband Man dari The Spinners seiring dengan ditampilkannya tim GoTG. Vibe-nya GotG banget.
Jikapun ada kekurangan, maka itu adalah sejak awal saya selalu merasa MCU adalah film yang bermain aman. Lakon menang mburi, lakon ga mungkin kalah (pahlawan menang belakangan, pahlawan ga mungkin kalah). Maka biarpun ending IW cukup menyesakkan yang mengingatkan saya akan series depresif bin absurd The Leftover, tapi saya tahu bahwa pada akhirnya akan baik-baik saja. Prasangka saya di awal juga akan begini: MCU akan membunuh salah satu karakter sentral, tapi superhero lainnya akan baik-baik saja - dan kayaknya ini yang mungkin akan dilakukan di untitled Avengers 4. Bakalan bikin lumayan sedih, tapi ga akan bikin penonton depresi. Faktor inilah yang kemudian bikin saya tidak pernah "melibatkan diri secara emosional seutuhnya" akan perjuangan the Avengers. Karena saya tahu mereka bakal menang....
Selain itu, yang bikin comic-nerd-nya merasa kecewa adalah karena pasukan anak buah Thanos, si Black Order tidak ditampilkan dengan cukup baik dan matinya juga.... gitu doank. Berhubung saya bukan pembaca komiknya, saya sih ga merasa terlalu keberatan, apalagi hal ini kepentok durasi terbatas. Tapi saya sedikit kecewa kalau anggota Black Order yang mengesankan cuma si Ebony Maw, yang kekerenan gaya bertarungnya mengingatkan saya dengan kerennya Yondu (#teamEbonyMaw). Sayangnya, anggota lainnya biasa aja dan mudah dilupakan.
Overview:
Bukan tugas yang mudah untuk membuat film dengan karakter sebanyak itu, harus menggabungkan beberapa "tema", menghibur penonton, sambil tetap tidak melupakan kualitas. It's not a perfect movie, tapi Avengers: Infinity War cukup mampu memenuhi ekspektasi saya. Naskah yang digarap Christoper Markus dan Stephen Freely memberikan porsi yang cukup berimbang antara setiap karakter, dengan mengambil langkah cerdas menjadikan Thanos sebagai "bintang utama", dan eksekusi yang dilakukan Russo Brothers cukup baik. Apakah ini adalah laga puncak dari keseluruhan rangkaian MCU? Ketika IW berakhir dan meninggalkan saya dalam keadaan terbengong-bengong, tentu saya mengharapkan Avengers 4 akan lebih seru lagi!