Tampilkan postingan dengan label oscars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label oscars. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 April 2018

The Shape of Water (2017) (4,5/5)

The Shape of Water (2017) (4,5/5)


"When he looks at me, the way he looks at me... He does not know, what I lack... Or - how - I am incomplete. He sees me, for what I - am, as I am. He's happy - to see me," 

RottenTomatoes: 92% | IMDb: 7,5/10 | Metascore: 82/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5


Rated: R | Genre: Drama, Scifi & Fantasy, Adventure

Directed by Guillermo del Toro ; Produced by Guillermo del Toro, J. Miles Dale ; Screenplay by Guillermo del Toro, Vanessa Taylor ; Story by Guillermo del Toro ; Starring Sally Hawkins, Michael Shannon, Richard Jenkins, Doug Jones, Michael Stuhlbarg, Octavia Spencer ; Music by Alexandre Desplat ; Cinematography Dan Laustsen ; Edited by Sidney Wolinsky ; Production companiesTSG Entertainment, Double Dare You Productions ; Distributed by Fox Searchlight Pictures ; Release date August 31, 2017 (Venice), December 1, 2017 (United States) ; Running time 123 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $19.5 million ; Box office $190.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Elisa Esposito (Sally Hawkins) adalah seorang perempuan bisu yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah fasilitas penelitian negara. Suatu hari ia bertemu dengan makhluk misterius di tempat kerjanya dan kemudian menjalin hubungan yang unik.

Review / Resensi :
The Shape of Water berhasil meraih Best Picture di ajang Oscar tahun 2017. Selain itu, film ini juga mengantarkan Guilermo del Toro menjadi sutradara terbaik, mengikuti jejak kawan-kawannya dalam "The Three Amigos" yaitu Alejandro G. Innaritu (Birdman, The Revenant) dan Alfonso Cuaron (Gravity) yang sebelumnya juga berhasil menyabet penghargaan yang sama. Review ini saya tulis setelah mengetahui kemenangan The Shape of Water di ajang Oscar, atau lebih tepatnya saya baru nonton film ini 1 bulan setelah ajang Oscar, dan belum nonton film-film nominasi Oscar lainnya kecuali Get Out. Sungguh sangat telat dan ga update sama sekali. Kalau udah gini saya kadang mempertanyakan apa saya pantas sok-sokan ngereview film karena jam terbang nonton saya belakangan ini uda ga seheboh dulu lagi. Ini aja saya harus ngumpulin mood semaksimal mungkin sebelum akhirnya mulai memaksa diri untuk nulis dan ngeblog lagi. Saya harap sih blog ini ga terbengkalai lama-lama dan masih punya sedikit pembaca yang masih suka baca review saya yang begini ini.... Huhu. Oke, cukuplah racauannya.

Kayaknya hampir semua penggemar film pasti tahu bahwa Guilermo del Toro punya hubungan baik dan spesial dengan monster. Saya pernah nonton video sekilas tentang rumah Guilermo del Toro yang dipenuhi patung, lukisan, poster dan hiasan yang "del Toro" banget. Dengan dinding interior yang dicat merah, rumahnya sangat artsy, gothic, dan penuh monster. Bikin ngiri lah. Kalau saya punya duit banyak saya pengen punya rumah model begini yang kemudian juga bisa dijadiin museum. Must be cool. Anyway, coba lihat videonya disini. Setelah menggarap Pacific Rim (2013) dan Crimson Peak (2015) yang terasa seperti sisi mainstream dari del Toro, melalui The Shape of Water, del Toro kembali menciptakan dunia fantasi yang lebih terasa personal seperti yang pernah dilakukannya lewat Pan's Labyrinth (2006). The Shape of Water ini budgetnya cuma 20 juta dollar lho, itungannya film ini termasuk indie. 

The Shape of Water sering disebut sebagai "Beauty and the Beast" versi dewasa. Sebuah fairy tale  untuk penonton dewasa. Disebut versi dewasa, karena melibatkan adegan masturbasi dan percintaan interspesies. Yap, The Shape of Water is about a woman who fallin in love and have sex with fish-man. Kisahnya mengikuti seorang perempuan tuna wicara bernama Elisa, yang kesepian dalam keterbatasannya. Sahabatnya adalah Zelda (Octavia Spencer), seorang perempuan kulit hitam, dan Giles (Richard Jenkins), pelukis tua yang gay. Elisa dan sahabat-sahabatnya ini mewakili minoritas, apalagi setting film ini pada tahun 60-an dimana orang-orang seperti Elisa, Zelda dan Giles adalah kaum yang terpinggirkan. Elisa kemudian bertemu dengan sebuah makhluk misterius - sebuah makhluk sejenis persilangan ikan dan manusia yang inspirasinya menurut del Toro diambil dari film Creature from Black Lagoon (1954) dan mengingatkan kita akan Abe Sapiens dari film Hellboy (dan diperankan oleh orang yang sama, Doug Jones). Makhluk tersebut rupanya adalah aset penelitian yang kemudian dijadikan perebutan dalam konflik perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam usaha menyelamatkan si amphibi-man ini, Elisa harus berhadapan dengan Colonel Strickland (Michael Shannon). 

Saya sering membaca komentar orang mengenai film ini, yang mengatakan bahwa The Shape of Water ini ngebosenin dan predictable. It's another story about good versus evil. Banyak yang bilang, The Shape of Water adalah film yang bagus, tapi untuk dinobatkan sebagai pemenang Oscar rasanya terlalu berlebihan. Saya setuju di bagian predictable-nya, tapi untuk disebut ngebosenin nggak juga. Dan biarpun saya belum nonton film-film nominasi Oscar lainnya, saya sih ga keberatan film ini meraih Best Picture. Why? Because The Shape of Water shows you "the power of cinema". The Shape of Water ini seperti Titanic (1997) atau Avatar (2012), yang secara cerita sebenarnya ya gitu-gitu aja, tapi menunjukkan betapa powerfulnya sebuah film. Hellloo... The Shape of Water ini dapet 13 nominasi Oscar lho. Buat yang bilang The Shape of Water ini adalah pilihan yang terlalu aman untuk menjadi pemenang Oscar, perlu saya ingatkan bahwa nggak banyak film sci-fi dan fantasi yang berhasil menang penghargaan ini. Correct me if I'm wrong, tapi film fantasi yang pernah menang Oscar sejauh ini cuma Lord of The Rings : The Return of the King (2003). Selain itu, ada unsur nostalgia klasik (filmnya mengambil setting tahun 60an dengan soundtrack musik-musik lawas) dan semangat optimis yang tentu menjadi poin favorit bagi para juri Academy. Dan setelah ramai isu pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein bertahun-tahun terkuak, maka kemenangan untuk Guilermo del Toro yang secara personality sangat loveable juga bisa dijadikan alasan tersendiri untuk memenangkannya. 

Okelah ceritanya mungkin emang biasa dan predictable, tapi Del Toro bisa menyusunnya menjadi sebuah narasi yang kohesif dan rapi, dan jelas aspek teknis dan visualnya menjadikan bonus yang membuat film ini terasa sangat indah. Dan jangan lupakan juga kemampuan Guilermo del Toro dan timnya dalam mewujudkan monster the amphibi-man yang terasa sangat real, tampak sangat aneh tapi juga cantik. Lalu ya Allah, ada adegan bercinta dengan makhluk aneh... tapi entah bagaimana Guilermo Del Toro bisa menjadikan adegan itu tidak terasa menjijikkan, malah kerasa indah dan romantis. Sebuah adegan ketika Zelda menanyakan Elisa tentang "bagaimana mereka melakukannya" juga menjadi sebuah unsur komedi sendiri yang menjawab rasa penasaran tentang "how they consummate their love". Sebuah narasi dari puisi yang dibacakan karakter Richard Jenkins di bagian akhirnya juga terdengar sangat indah: 
Unable to perceive the shape of You, I find You all around me. Your presence fills my eyes with Your love, It humbles my heart, For You are everywhere.
(saya pikir puisi ini puisinya Rumi, tapi ternyata puisinya Hakim Sanai. "You" di sini bisa berarti Tuhan, namun jika melihat apa yang ingin disampaikan del Toro, maka "You" bisa diartikan dengan cinta. So sweet ga sih...).

The Shape of Water juga menjadi makin spesial dengan cast yang bermain dengan sangat luar biasa, terutama Sally Hawkins yang sepanjang film harus berakting dengan mengandalkan ekspresi dan gestur tubuh berhubung ia berperan sebagai perempuan bisu. Sally Hawkins mungkin tidak punya kecantikan tipikal aktris Hollywood, namun sebagaimana del Toro mengatakan dalam salah satu wawancaranya, "Ia cantik dengan caranya sendiri,". Dan ya, Hawkins tampil mempesona. Karakter menarik lainnya ditunjukkan oleh Colonel Strickland (Michael Shannon), yang justru mempunyai kehidupan lengkap dengan keluarga khas suburban Amerika: istri yang cantik, dan dua anak yang manis. Namun rupanya ia tetap merasa kurang (ia tampak tidak bahagia di rumahnya, dan berkhayal bisa bercinta dengan Elisa yang bisu). Strickland, tampaknya adalah "monster" sesungguhnya dalam film ini. I love Shannon's performance, tapi sebenarnya saya berharap dia bisa dapet peran lain yang ga terus-terusan jahat. Lama-lama dia kayak Kevin Bacon yang sering banget jadi villain. 

Overview :
The Shape of Water adalah sebuah fairy-tale dewasa yang indah, menawan, dan terasa hangat. Passion dan semangat Guilermo del Toro sebagai seorang filmmaker sangat terasa di The Shape of Water. Jalinan ceritanya mungkin terasa predictable, namun The Shape of Water menunjukkan "the power of cinema", sebuah pertunjukkan romantis dengan semangat yang optimis yang terasa sangat klasik - padahal film ini dirilis tahun 2017. Well-cast, well-crafted, beautiful movie. Saya ikhlas kok film ini menang Oscar (padahal belum nonton yang lain).



...
SPOILER!
Anyway, ada analisa yang bilang kalau Elisa sebenarnya sejenis makhluk yang sama dengan si Amphibi-man. Ada banyak alasan: Elisa tidak bisa berbicara, saat kecil ia ditemukan di sebuah sungai, dan ia punya luka yang aneh di lehernya. And they're both in love and could have sex. Kalau sampai ada sekuelnya dan mereka punya anak, secara biologis bisa dipastikan kalau keduanya spesies yang sama! 

Senin, 20 Maret 2017

The Shawshank Redemption (1994) (4/5)

The Shawshank Redemption (1994) (4/5)


"Get busy livin', or get busy dyin',"

RottenTomatoes: 91% | IMDb: 9,3/10 | Metascore: 80/100 | NikenBicaraFilm: 4/5

Rated: R | Genre: Thriller, Drama

Directed by Frank Darabont ; Produced by Niki Marvin ; Screenplay by Frank Darabont ; Based on Rita Hayworth and Shawshank Redemption by Stephen King ; Starring Tim Robbins, Morgan Freeman, Bob Gunton, William Sadler, Clancy Brown, Gil Bellows, James Whitmore ; Music by Thomas Newman ; Cinematography Roger Deakins ; Edited by Richard Francis-Bruce ; Production company Castle Rock Entertainment ; Distributed by Columbia Pictures ; Release date September 23, 1994 (United States) ; Running time142 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $25 million

Story / Cerita / Sinopsis :
The Shawshank Redemption mengikuti kehidupan dan persahabatan di antara Andy (Tim Robbins) dan Red (Morgan Freeman) di penjara Shawshank. 

Review / Resensi :
Oke, pertanyaan utama:

Apa benar The Shawshank Redemption layak dinobatkan sebagai Film Terbaik? 

My straight answer for this question: No. It's one of the most overrated movie. 

Sebenarnya, ngomongin film apakah yang merupakan terbaik di dunia adalah perkara yang nyaris mustahil. Ya, karena nggak semua orang bisa sepakat, selera orang berbeda, dan terlalu banyak film bagus di dunia. Saya aja kalo ditanya apa film favorit saya bakal gelagepan jawabnya. The Shawshank Redemption sering disebut-sebut sebagai film terbaik di dunia karena sejak tahun 2008 menjadi nomor 1 di daftar film terbaik versi situs IMDb, mengalahkan The Godfather dan The Godfather Part II di nomor dua dan tiga. IMDb melakukan peringkat ini berdasarkan average rate yang didapat dari setiap film yang ada dalam dalam database mereka, dan The Shawshank Redemption mempunyai nilai 9,3/10 - tertinggi sejauh ini. But really? Is it THAT good? (probably not the best movie, but the most favorite movie)

Cukup banyak masukan di comment blog saya yang meminta saya untuk nulis review The Shawshank Redemption. Saya harus nonton ulang untuk bisa bikin resensi yang lebih komplit (*niat ye*), karena saya nonton film ini udah lumayan lama banget. The Shawshank Redemption is a good movie, tapi menasbihkannya sebagai salah satu Film Terbaik di dunia membuatnya jadi terkesan overrated dan berlebihan. Cuma saya paham kenapa film ini bisa jadi favorit banyak penonton yang ngerate film ini di IMDb. Pertama, perlu diketahui bahwa kebanyakan penggemar fanatik film adalah lebih dominan laki-laki daripada perempuan (dan orang yang sampe subscribe ke web imdb dan ngevote nilai di situs ini, jelas sudah termasuk kategori lumayan fanatik sama film). Kedua, The Shawshank Redemption adalah sebuah film sentimental melankolis khas pria. Jika kamu pria dan menangis karena nonton drama korea, teman-teman cowokmu akan menertawaimu, namun jika kamu menangis karena menonton The Shawshank Redemption? It's okay, bro.. I cried too!

Menariknya, The Shawshank Redemption adalah film yang baru mendapatkan kesuksesan setelah dirilis versi videonya. Saat ditayangkan pertama kali di bioskop, The Shawshank Redemption boleh dibilang jeblok dan rugi karena cuma mendapatkan 18 juta dollar dibandingkan budgetnya yang mencapai 25 juta dollar. The Shawshank Redemption kalah dari "kompetitor"-nya saat itu, Pulp Fiction, yang meraih hasil memuaskan dari box office dan juga di mata kritikus. The Shawshank Redemption sendiri mendapatkan 7 nominasi penghargaan Oscar, walau tidak berhasil memenangkannya satupun. Dan boleh dibilang fans cukup marah hingga saat ini karena merasa bahwa Best Picture tahun itu, Forrest Gump, tidak lebih layak menang jika dibandingkan Pulp Fiction atau The Shawshank Redemption.

The Shawshank Redemption bercerita tentang persahabatan yang terbentuk antara Andy (Tim Robbins) dan Red (Morgan Freeman) di dalam penjara. Tim Robbins menyebut film ini sendiri sebagai "non-sexual love story between two men". Jelas, kekuatan utama The Shawshank Redemption ada pada narasinya yang memikat dan tidak membosankan sepanjang dua jam lebih dengan voice-over dari Morgan Freeman yang membawakan ceritanya (menjadi narator di film ini, lalu menjadi karakter God lewat film Bruce Almighty, dengan suara dalam kharismatik, i want him to be my life voice-narator). Kitapun diajak mengikuti kehidupan dari balik penjara, sebagaimana yang diungkapkan Red dalam salah satu dialognya, "...prison is not a fairy-tale world,". Ada kekejaman, ada keputusasaan, namun juga ada canda tawa, ada persahabatan, dan tentu saja... (masih ada) harapan. 

Dengan twist yang cukup epik dan memorable di bagian akhirnya, saya pikir moral story The Shawshank Redemption ada pada bagaimana kita mengelola harapan dan jangan pernah menyerah. Red, yang permohonan pembebasan bersyaratnya kerap ditolak, dalam salah satu dialognya mengungkapkan:
"Let me tell you something, my friend. Hope is a dangerous thing. Hope can drive a man insane,"
Tapi Andy, pada akhirnya mengatakan sebaliknya:
"Remember Red, hope is a good thing, maybe the best of things, and no good thing ever dies,"
Dan ini mengantarkan kita kepada quote paling legendaris dari film The Shawshank Redemption: "Get busy livin' or get busy dyin',". Jangan pernah kehilangan harapan.

Kekuatan utama The Shawshank Redemption juga hadir melalui performa memikat dari kedua karakter utamanya, Tim Robbins sebagai Andy dan Morgan Freeman sebagai Red. Keduanya juga menampilkan chemistry yang sangat menawan. Morgan Freeman sendiri mendapatkan nominasi penghargaan Best Actor berkat perannya di sini. Selain itu, dukungan sinematografi dari sinematografer kawakan Roger Deakins dan scoring music dari Thomas Newman juga menjadi daya tarik utama dalam memberikan cinema experience yang menarik.

Oke, lalu apa yang membuat film ini terasa overrated? Because it's to damn mellow!

I know for sure this is a good movie, but call it as one of the best? I must disagree. Yeah, film ini punya dua aktor utama yang hebat, narasi ceritanya memikat, sinematografi dan scoring music yang indah, namun bagi saya The Shawshank Redemption bukan sebuah film yang inovatif. Malah, ceritanya cenderung terlalu mendayu-dayu dan kelewat melankolis, Frank Darabont yang bertindak sebagai sutradara dan penulis naskah tahu benar bagaimana memancing emosi para penonton (pria). Melalui persahabatan dengan pria-pria lainnya (or bromance), kehidupan, impian dan harapan... tapi ya... film ini sendiri terlalu overdramatic.

The Shawshank Redemption memang sudah memberikan atmosfer yang terasa realistis, dengan cerita-cerita seputar penjara yang juga realistis, namun di satu sisi kisah-kisahnya sendiri terasa sangat melankolis. Kerasa sekali bahwa The Shawshank Redemption diperuntukkan untuk memancing perasaan kamu-kamu yang berhati lembut. Karakterisasi terlalu dua dimensi, hitam dan putih. Andy digambarkan sebagai pria pintar simpatik, Red sebagai pria kharismatik, dan para sipir penjara digambarkan sebagai petugas penjara yang jahat. Para narapidananya digambarkan sebagai pria-pria (terlalu) baik yang sulit dipercaya bisa masuk penjara, sedangkan sipir penjaranya justru sulit dipercaya kenapa ga masuk penjara. Endingnya, juga terasa terlalu "manis" dan sentimental...

Overview :
Probably, one of the most overrated movie I know. Sebenarnya The Shawshank Redemption sama sekali bukan film yang buruk, cerita dan eksekusinya adalah tipikal film kelas Oscar, namun menobatkannya sebagai Film Terbaik terasa agak berlebihan. I have a problem because this movie is too mellow and less-realistic for me. But yeah, most people will like it so much. Morgan Freeman dan Tim Robbins memberikan aksi menawan sebagai kedua karakter utama, narasi cerita sangat mudah diikuti dan tidak membosankan dengan dialog-dialog sederhana yang cukup menyentuh, sinematografi dan scoring musicnya indah. One of great movie, but perhaps not the best ~   

Minggu, 26 Februari 2017

Manchester By The Sea (2016) (4,5/5)

Manchester By The Sea (2016) (4,5/5)


"I can't beat it. I can't beat it. I'm sorry," 

RottenTomatoes: 96% | IMDb: 8/10 | Metacritic: 96/100 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated: R
Genre: Drama

Directed by Kenneth Lonergan ; Produced by Matt Damon, Kimberly Steward, Chris Moore, Kevin J. Walsh, Lauren Beck ; Written by Kenneth Lonergan ; Starring Casey Affleck, Michelle Williams, Kyle Chandler, Lucas Hedges ; Music by Lesley Barber ; Cinematography Jody Lee Lipes ; Edited by Jennifer Lame ; Production companies K Period Media, B Story, CMP, Pearl Street Films ; Distributed by Roadside Attractions, Amazon Studios ; Release dateJanuary 23, 2016 (Sundance),  November 18, 2016 (United States) ; Running time137 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $8.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :

Lee Chandler (Casey Affleck) adalah seorang handyman yang getir, pendiam dan emosional, tinggal di Quincy, Massachusetts. Suatu hari ia mendapat kabar bahwa kakak laki-lakinya meninggal, dan ia harus kembali ke kota asalnya Manchester untuk mengurus pemakaman kakaknya dan menjaga anak laki-laki kakaknya Patrick (Lucas Hedges). Lee pun terpaksa harus kembali berjuang mengatasi masalah dan masa lalunya di kota asalnya tersebut.

Review / Resensi : 

Film berkualitas Oscar belum tentu cocok untuk dinikmati kalangan awam, dan Manchester By The Sea ini mungkin adalah salah satu contohnya. Dengan durasi 137 menit dan cerita yang cenderung datar dalam mengungkap konflik-konfliknya, sebagian besar orang akan menganggap Manchester By The Sea adalam film yang membosankan dan bikin ketiduran. Sangat berbeda mungkin dengan La La Land yang tampil glamor dan menawan, atau kandidat kuat Oscar lainnya Moonlight yang memiliki cerita yang jauh lebih dramatis. Manchester By The Sea adalah sebuah real-life tragedy yang bisa dialami oleh siapa saja, suatu personal struggling seseorang dalam menghadapi rasa duka, perasaan bersalah, dan kehilangan. Ceritanya sendiri terasa "sederhana", namun Kenneth Lonergan mampu menghadirkannya dalam sebuah naskah cerita yang ringan namun menghanyutkan, menghantarkan cerita yang heartbreaking sekaligus heartwarming. But again, this is maybe not everyone's favorite.


Dalam 20 menit pertama, kita diajak mengenali karakter dan kehidupan sang tokoh utama, Lee Chandler (Casey Afflleck) yang pendiam dan muram. Kehidupannya begitu monoton dan nyaris kesepian, tampak seperti antisosial dan nggak punya gairah kehidupan, dan sesekali ia menjadi pemarah dan emosional. Lewat flashback adegan yang ditampilkan dengan mulus, kita kemudian bisa melihat bagaimana Lee di masa lalu yang jauh berbeda: ia ceria dan menyenangkan. Apa yang sesungguhnya menimpa Lee kemudian perlahan sedikit demi sedikit diungkap kepada penonton, seiring dengan kepergian Lee kembali ke kota asalnya Manchester (yang kemudian mengantarkan saya kepada klimaks emosional yang membuat saya mewek). 

Apa yang menarik dari Manchester By The Sea? Kekuatan utamanya jelas hadir melalui naskah yang juga dikerjakan sang sutradara Kenneth Lonergan. Manchester By The Sea begitu kental dengan nuansa realisnya, seperti membuat saya mudah untuk berempati pada permasalahan sang tokoh karena kita seperti diajak untuk menonton kehidupan nyata seseorang. Kita semua pasti pernah (atau akan) kehilangan seseorang yang kita cintai kan? Manchester By The Sea juga tidak berusaha untuk menjadi sebuah film dengan naskah dramatis yang maksa ala-ala film drakor yang sok-sokan melankolis itu, sebaliknya kisahnya dituturkan dengan sederhana - nyaris datar tanpa banyak tangisan cengeng, dengan sisipan humor-humor satir ironi yang kadang membuat kita tersenyum. 

Manchester By The Sea adalah sebuah film tentang hidup itu sendiri: bagaimana kita berusaha menghadapi realita hidup yang terkadang tragis namun tidak bisa dihindari. Juga, saya menangkap kesan bahwa karena Manchester By The Sea adalah sebuah kisah sederhana tentang "hidup", maka Kenneth Lonergan tidak berusaha memberikan ending atau kesimpulan berupa pesan-pesan moral yang muluk-muluk. Sebaliknya, konflik demi konflik dihadirkan begitu saja sekedar sebagai sebuah realita kehidupan. Watching this movie like give me a conclusion: life is bittersweet, and sometimes you can't beat the past.. and it's okay. 

Manchester By The Sea juga dibentuk oleh jalinan kisah kedua karakternya: Lee (Casey Affleck) dan keponakannya Patrick (Lucas Hedges). Keduanya sama-sama mengalami masalah hidup, namun menghadapinya dengan (berusaha) tegar sambil masing-masing berusaha menyesuaikan diri. Interaksi keduanya begitu natural dan real, terimakasih berkat chemistry mengagumkan antara kedua aktornya. Casey Affleck tampil natural - seperti sebuah karakter real, dan saya berharap bahwa ia akan bisa memenangkan Oscar pertamanya supaya bisa terlepas dari bayang-bayang kakaknya Ben Affleck (dan gantengan Casey daripada Ben!). Walaupun saya tidak terlalu yakin akan kemenangan itu karena belakangan mencuat rumor doi melakukan sexual abuse. Lucas Hedges menjadi tandem yang mampu mengimbangi pesona Casey Affleck. Michelle Williams tampil sekilas, namun memberikan kualitas akting yang menawan.

Overview:
Kurang lebih, Manchester By The Sea adalah sebuah kisah tentang hidup. Tentang bagaimana kita harus berjuang berdamai dengan masa lalu, mengatasi rasa kehilangan dan perasaan bersalah. Keneth Lonergan menuturkan Manchester By The Sea dengan cara yang cenderung sederhana, namun masih tetap memikat dan menghanyutkan kita kepada kisah hidup tokohnya. Walaupun terasa datar (saya yakin nggak semua orang suka film tipikal begini), sisipan humornya dan beberapa momen emosionalnya dihadirkan dengan cara efektif. Casey Affleck menghadirkan performa Oscar-worthy, interaksi dan chemistrynya dengan Lucas Hedges juga begitu natural. 
Moonlight (2016) (4,5/5)

Moonlight (2016) (4,5/5)


"No. You're not a faggot. You can be gay, but you don't have to let nobody call you a faggot,"

RottenTomatoes: 98% | Metacritic: 99/100 | IMDb: 7,9/10 | NikenBicaraFilm: 4,5/5

Rated : R
Genre: Drama

Directed by Barry Jenkins ; Produced by Adele Romanski, Dede Gardner, Jeremy Kleiner ; Screenplay by Barry Jenkins ; Story by Tarell Alvin McCraney ; Based on In Moonlight Black Boys Look Blue by Tarell Alvin McCraney ; Starring Trevante Rhodes André Holland Janelle Monáe Ashton Sanders Jharrel Jerome Naomie Harris Mahershala Ali Music by Nicholas Britell Cinematography James Laxton ; Edited by Nat Sanders, Joi McMillon ; Production company A24, Plan B Entertainment, Pastel Productions ; Distributed by A24 ; Release dateSeptember 2, 2016 (Telluride), October 21, 2016 (United States) ; Running time111 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $1.5 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Moonlight terdiri dari 3 fase kehidupan Chiron saat masih kecil, remaja dan dewasa dalam menghadapi kehidupan dan pencarian jati dirinya sebagai anak miskin yang mempertanyakan orientasi seksualnya dan bertahan dengan ibu yang kecanduan drugs.

Review / Resensi :
Ada tiga frontrunner di ajang Oscar tahun ini: Manchester By The Sea, La La Land, dan Moonlight. Moonlight menjadi film indie-contender (dengan budget cuma 1,5 juta dollar, dan untunglah terbantu pendanaan dan deal distribusi nya oleh Plan B milik Brad Pitt) paling kuat di ajang ini, dan sukses menjadi salah satu indie-darling yang dipuja-puja. To the point aja ya, Moonlight ini adalah tipe film yang punya banyak hal yang kebanyakan disukai juri-juri festival. Sebuah coming of age story yang diangkat dari naskah drama tentang seorang anak kulit hitam, gay, dibully teman-temannya, punya ibu yang kecanduan, tinggal di lingkungan miskin. So, di atas kertas Moonlight ini punya semuanya yang bisa mengiris-iris perasaan. Tapi entahlah, biarpun Moonlight adalah sebuah film yang indah dan menyentuh, saya tidak terlalu menganggap Moonlight sebagai film favorit saya. 


Moonlight adalah sebuah studi potret karakter realita sosial dari mereka yang minoritas dan terpinggirkan. Potret karakter tersebut disampaikan lewat tokoh Chiron (Little/Black) dalam 3 fase kehidupannya saat masih kecil, remaja, dan dewasa. Chiron adalah seorang anak yang tinggal di Liberty City, sebuah daerah kumuh di Miami yang konon merupakan salah satu daerah termiskin di US. Ia hidup berdua dengan ibunya yang kecanduan (kabarnya sang sutradara sendiri, Barry Jenkins juga berasal dari lingkungan Liberty City dan memiliki ibu yang kecanduan). Chiron pun harus struggling dengan orientasi seksualnya dan mendapat tekanan dari teman-temannya. Dalam 3 fase kehidupannya, kita diajak mengenali bagaimana Chiron berusaha mendefinisikan dirinya sendiri, seperti yang diungkap dalam sebuah dialog antara Chiron dan Juan (Mahershara Ali):
"At some point, you gotta decide for yourself who you're going to be. Can't let nobody make that decision for you,"
Well, his life is a real tragedy. Namun saya cukup menyukai pendekatan yang dilakukan Barry Jenkins dalam mengisahkan kehidupan Chiron. Cukup melankolis, namun tidak terlalu mendayu-dayu. Pergerakan kamera yang dilakukan juga mampu menangkap beberapa momen dan penggalian ekspresi dan emosi karakternya dengan cantik dan mendalam. Percakapan singkat dan interaksi antara Chiron dan orang-orang di sekitarnya juga mampu merangkum dengan baik personal struggling dari karakter Chiron untuk tumbuh dewasa. Dengan tone neon yang terasa dingin, Moonlight juga tampil sebagai sebuah film yang artistik dan indah. Belum lagi dukungan scoring music yang menyayat hati dari Nicholas Britell. Trailer Moonlight seperti menjadi petunjuk awal bahwa Moonlight memang merupakan sebuah film sentimental yang artistik nan memukau

Anyway, what is my favorite moment?
No suprise, saya cukup baper dengan romantic scene di babak ketiga antara Chiron (Trevante Rhodes) dan Kevin (Andrew Holland) ketika mereka akhirnya berjumpa lagi setelah berpisah. Interaksi tersebut, lewat dialog antara keduanya, chemistry di antara keduanya yang terbentuk melalui gestur dan tatapan mata - disampaikan dengan subtil yang membuat saya merasa hubungan keduanya indah banget. Sedikit awkward, sama-sama coba baca sinyal, namun emosinya masih cukup kebawa... So homophobic please go away, i don't care what you say. Love is love!

Namun entahlah, saya sih tidak mengatakan Moonlight overrated, akan tetapi pada akhir film saya tidak merasa menemukan diri saya sungguh terseret emosional pada film ini. Saya cenderung lebih merasa emotionally-dragging saat nonton Manchester By The Sea yang sebenarnya tidak semelankolis Moonlight (review menyusul). Entahlah, mungkin karena faktor ada batas antara kehidupan pribadi saya dengan kehidupan Chiron yang cukup berbeda, atau mungkin karena ada pembagian 3 babak dalam film ini sendiri yang diperankan oleh orang-orang yang berbeda. Atau memang Moonlight memang berusaha untuk tidak memberikan momen-momen emosional yang berlebihan sehingga jatuhnya terasa sedikit hambar. Satu-satunya momen klimaks emosional bagi saya cuma hadir pada ending babak ke-2. Mungkin karena alasan inilah membuat saya tidak terlalu memfavoritkan Moonlight untuk menjadi juara pada Oscar tahun ini. Saya merasa La La Land adalah kandidat yang lebih pantas karena saya pikir orang di tahun-tahun mendatang akan terus membicarakan La La Land. Moonlight is a beautiful movie, but easy to forget. Eventho I know La La Land is a safe and mainstream choice. 

Kekuatan Moonlight lainnya hadir pada ensemble cast yang luar biasa. Mahershara Ali menjadi frontrunner pada kategori Best Supporting Actor dan memenangkan banyak penghargaan berkat perannya sebagai drug dealer di sini. Namun entahlah, bukannya menyalahkan aktingnya, tapi karakternya di sini sebenarnya menurut saya nggak spesial-spesial banget. Naomi Harris justru yang tampil paling mencuri perhatian sebagai ibu Chiron. Ketiga pemeran Chiron dan ketiga pemeran Kevin kabarnya tidak pernah dipertemukan secara langsung karena Barry Jenkins ingin mereka membawa soulnya sendiri-sendiri pada perannya masing-masing. Dan yang luar biasa, saya mendapat nyawa / benang merah yang sama. And anyway, Andrew Holland kok ganteng amat siiiiihhhh. Scene terakhir bikin saya ikutan jatuh cinta :D

Overview :
Moonlight adalah sebuah kisah tragedi yang menyayat hati, sebuah perjalanan pencarian jati diri yang disampaikan dengan melankolis dan sentimentil. Sinematografinya luar biasa cantik, dengan tone neon dingin yang menawan, dan scoring music yang indah. Ensemble cast-nya juga luar biasa, personally saya lebih merasa Naomi Harris yang tampil paling mencuri perhatian walaupun Mahershara Ali dipuja-puja oleh banyak orang. Moonlight is a beautiful movie with good-written script, but in the end i don't know why I'm not emotionally-dragging. Manchester By The Sea lebih mampu membuat saya sedih, apalagi Arrival yang bikin saya baper berhari-hari. 

Rabu, 11 Januari 2017

La La Land (2016) (5/5)

La La Land (2016) (5/5)


RottenTomatoes: 92% | Metacritic: 93/100 | NikenBicaraFilm: 5/5

Rated: PG-13 | Genre: Musical, Drama

Directed by Damien Chazelle ; Produced by Fred Berger, Gary Gilbert, Jordan Horowitz, Marc Platt ; Written by Damien Chazelle ; Starring Ryan Gosling, Emma Stone, John Legend, Rosemarie DeWitt ; Music by Justin Hurwitz ; Cinematography Linus Sandgren ; Edited by Tom Cross ; Production companies Gilbert Films, Impostor Pictures, Marc Platt Productions ; Distributed by Summit Entertainment ; Release dateAugust 31, 2016 (Venice Film Festival), December 9, 2016 (United States) ; Running time128 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $30 million

Story / Cerita / Sinopsis :
Sebuah kisah drama musikal tentang dua orang kekasih yang bersama-sama mengejar impian mereka masing -  masing. 
Review / Resensi :
Saat teaser trailernya pertama kali dirilis, menampilkan Ryan Gosling menyanyikan City of Stars dan cuplikan scene dari film La La Land - saya sudah langsung jatuh cinta. Pertama, film ini mengandung Ryan Gosling (obviously! Ryan Gosling ini yang bisa bikin saya selingkuh dari Michael Fassbender haha). Kedua, soundtrack-nya begitu indah. Ketiga, film ini tampaknya akan sangat romantis. Keempat, teaser trailer itu seperti menjadi jaminan bahwa La La Land akan menjadi sebuah pertunjukan pesta visual yang memanjakan mata. Dan itu semua terbukti. Saya katakan di depan: La La Land adalah salah satu film terbaik tahun 2016 ini. (Anw, menontonnya di bioskop akan memberikan kesan yang lebih asyik daripada menontonnya di rumah lho. Seriously!). 

Damien Chazelle (yang baru berumur 31 tahun donk. OMG), sebelumnya telah mengawali debut yang meyakinkan lewat Whiplash (2015) - tentang struggling yang begitu berdarah-darah dari seorang penabuh drum jazz. Lewat La La Land, Damien Chazelle mengambil tema yang hampir sama: tentang impian dan jazz. Cerita La La Land sendiri sangat sederhana. Mia (Emma Stone) adalah seorang perempuan yang bercita-cita menjadi aktris, namun kerap gagal setiap audisi. Sedangkan Sebastian (Ryan Gosling) adalah seorang musisi idealis yang passionate terhadap musik jazz dan memimpikan membuka kelab jazz-nya sendiri. Keduanya kemudian bertemu, jatuh cinta, dan saling mendukung untuk berusaha mengejar impiannya masing-masing. 

Menonton La La Land saya seperti diajak memahami bagaimana pikiran Damien Chazelle yang juga bertindak sebagai penulis naskahnya. Kerasa sekali bahwa Chazelle adalah "motivator" orang untuk mengejar impian (dan kita juga bisa merasakan bagaimana kecintaan Chazelle terhadap musik jazz). Saya juga menyukai bagaimana La La Land tidak cuma mengandalkan atraksi musik dan visualnya, namun naskahnya sendiri sangat solid dan menghibur. La La Land tidak terjebak pada percintaan klise yang sekedar romantis dan too good to be true. Film yang baru saja memboyong 7 penghargaan di Golden Globe 2017 ini masih menjejak tanah dalam membawakan ceritanya, membawa moral story kepada penonton bahwa mengejar impian adalah hal yang tidak mudah. Idealismu kadang harus kamu gadaikan, mungkin kamu akan tiba pada titik kritis dimana mustahil untuk mencapai impianmu karena kamu merasa dirimu tidak berbakat, atau bahkan mengejar impian bisa membuatmu patah hati. Sebuah konklusi di akhirnya memberikan pesan bahwa hidup sama sekali tidak ideal. 

Drama-musikal sebenarnya bukan saya banget, dan saya kira banyak juga yang merasa genre ini hanya menarik bagi mereka yang sudah dewasa (baca: tua). Namun sebagaimana karakter Sebastian yang ingin mempopulerkan jazz kembali pada roh-nya, Damien Chazelle juga tampaknya berusaha menghasilkan karya musikal-drama tetap otentik namun bisa dinikmati generasi muda seperti saya ini (haha ngaku muda!). La La Land membawakan sentuhan modernitas tanpa mengabaikan untuk apa drama-musikal dibuat: sebuah pertunjukan yang membawa kebahagiaan. Have you ever falling in love, and suddenly your life seems beautiful and wonderful - and you want to dance and sing about it? This movie is pretty much about it.  La La Land is full of joy: soundtracknya amazing! (opening scene-nya saja sudah langsung membuat siapa saja jatuh cinta), dikoreografikan dengan indah, pallete warnanya memanjakan mata, kostumnya cakep (duh itu dress-nya Emma Stone aku mau semua!), dan production design-nya sangat menawan. 

And yes, this movie is so romantic. Dipasangkan untuk kesekian kali, tampaknya chemistry antara Emma Stone dan Ryan Gosling sudah terbentuk dengan mudah (but please don't pairing them together again!). Kehidupan cinta Mia dan Sebastian seperti perwujudan mimpi romantis perempuan manapun (yes, mimpi saya bukan seperti Twilight or 50 Shades of Grey). Ada banyak scene yang begitu indah dan romantis: sebut saja scene di bioskop (ketika tangan mereka bersentuhan lalu bertatapan) atau dancing scene di planetarium itu. Bikin baper maksimal. (Unfortunately, when you met a guy who is so charming and romantic you must suspicious that he might not a good guy. Fckin real life!). 

Emma Stone tampil sangat menawan sebagai Mia. Emma Stone mungkin masih punya aura strong girl ala Olive Penderghast di film Easy A (2010), namun saya juga bisa melihat sisi rapuh dan loveable yang sangat cantik dari karakter Mia. Saya tidak menyangka bahwa Emma Stone cukup mahir berdansa dan bernyanyi. Saya bahkan menyukai suaranya yang sedikit serak dan kasar ketika bernyanyi, justru membuat penampilannya terasa tulus dan tidak palsu karena dibuat-buat. Ryan Gosling (tentu saja) tampil memikat sebagai Sebastian. Saya bisa merasakan antusias karakternya sebagai Sebastian ketika berbicara mengenai passionnya tentang jazz, membuat kita jadi jatuh cinta dengan idealisme dan semangatnya. For playing piano, singing, tap dance, and for THAT DAMN HANDSOME - please he deserves an awards (oscar for sure! Tapi ga tau lagi sih belum nonton Casey Affleck di Manchester By The Sea). 

Overview:
La La Land adalah sebuah surat cinta untuk L.A., untuk jazz, dan untuk cinta itu sendiri. . Production design, sinematografi, soundtrack, koreografi, visual design, kostum - semuanya membentuk La La Land menjadi sebuah musical-drama terbaik dekade ini. Naskah Damien Chazelle juga sangat solid: memotivasi siapa saja agar tidak pernah menyerah mengejar passion dan impianmu. Emma Stone tampil menawan, Ryan Gosling membuat saya jatuh cinta, dan chemistry keduanya - dengan penyutradaraan yang luar biasa dari Damien Chazelle - seperti mewujudkan impian romantis perempuan manapun. Watching this will fill you with joyful and happiness.


....
MY OPINION ABOUT THE ENDING:

*spoiler *
Anw, I love the ending. Ini ending sempurna yang bisa menyadarkan diri kita bahwa hidup sama sekali tidak ideal. Adegan musikal di bagian akhir adalah sebuah rekonstruksi kisah cinta Mia dan Sebastian seandainya hidup mereka ideal dan sesuai apa yang mereka inginkan. Hey, tapi hidup tidak bekerja seperti itu. Mengakhiri film ini dengan menjadikan Mia dan Sebastian bersatu happy ending selamanya akan membuat La La Land terasa sangat klise.