Selasa, 01 Agustus 2017

REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES


“I did not start this war. I offered you peace. I showed you mercy. But now you're here. To finish us off, for good.” 

Usai sebuah virus bernama Simian Flu menyebar ke seantero dunia di penghujung instalmen pertama dari trilogi prekuel ini, perlahan tapi pasti jumlah kera yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata membengkak sementara populasi manusia terus menyurut secara drastis. Menyadari bahwa peradaban manusia berada di ujung tanduk, berbagai upaya untuk menundukkan pertumbuhan masif kera-kera cerdas pun terus dilakukan oleh faksi-faksi militan. Koba, salah satu kera yang menyimpan dendam pada manusia lantaran pernah menjadi bahan eksperimen, tentu tak tinggal diam mengetahui adanya upaya pemberantasan ini sehingga dia pun menghimpun pasukan yang berasal dari kaumnya sendiri untuk memerangi manusia-manusia keji di seri kedua. Pertentangan antara manusia dengan para kera berotak brilian selama bertahun-tahun ini akhirnya mencapai titik kulminasinya dalam War for the Planet of the Apes. Melalui jilid ketiga, Matt Reeves yang turut membesut instalmen sebelumnya, Dawn of the Planet of the Apes, menghadirkan peperangan penting yang bukan saja menentukan masa depan dari dua spesies tersebut di muka bumi tetapi juga membentuk jalan menuju semesta yang dihadirkan oleh Planet of the Apes rilisan tahun 1968 selaku dedengkot franchise ini. 

Kematian Koba (Toby Kebbell) di film kedua nyatanya tak mengubah keadaan sedikitpun. Para manusia terus melacak keberadaan para kera yang tersisa, utamanya kelompok dari Caesar (Andy Serkis) yang kini memilih untuk bersembunyi jauh di dalam hutan. Namun persembunyian ini tak bertahan lama karena pada menit-menit pertama War for the Planet of the Apes, penonton langsung mendapati fakta bahwa persembunyian Caesar telah terendus. Pertempuran tak lagi terelakkan yang mula-mula dimenangkan dengan mudah oleh pihak manusia sampai kemudian keadaan berbalik saat sang pemimpin kaum kera yang tidak lain adalah Caesar memutuskan untuk turun tangan dan mengerahkan pasukan perangnya. Beberapa prajurit yang selamat dari pertempuran tersebut lantas dibawa sebagai tawanan ke markas para kera yang belakangan dilepas oleh Caesar demi menyampaikan pesan perdamaian ke atasan mereka, Kolonel (Woody Harrelson). Alih-alih menyanggupi permohonan untuk berdamai, Kolonel yang kini telah mengetahui secara pasti lokasi markas para kera justru membantai keluarga Caesar. Diliputi amarah yang meluap-luap, sang raja kera pun memutuskan untuk meninggalkan kawanannya dan menempuh perjalanan panjang guna membalas dendam pada Kolonel.
 

Setidaknya di 15 menit awal, War for the Planet of the Apes memenuhi permintaan dari khalayak ramai yang berbondong-bondong memenuhi gedung bioskop: peperangan yang seru. Selepas menyegarkan ingatan penonton mengenai alur penceritaan dari dua seri sebelumnya, Matt Reeves tanpa banyak berbasa-basi langsung menempatkan kita di tengah-tengah penyergapan. Secara silih berganti, terdengar suara tembakan, lalu suara anak panah dilesakkan. Untuk ukuran sebuah film yang mengantongi rating PG-13 (13 tahun ke atas), pemandangan yang terhampar di adegan pembuka ini terhitung kelam – meski ya, darah tidak terlalu nampak karena cahaya nyaris absen. Intensitasnya pun tinggi. Ada baiknya, penonton cilik yang mudah ketakutan atau merengek, tidak diajak ikut serta menonton War for the Planet of the Apes di bioskop karena nuansa yang dikedepankannya menyesakkan sekaligus menghantui. Keputusan yang cukup mengagetkan sebetulnya mengingat seri ini diniatkan sebagai tontonan eskapisme untuk menyemarakkan liburan panjang. Usai pertempuran pertama di film yang dimenangkan oleh pasukan Caesar, nada penceritaan kian muram. Pemicunya, Kolonel menyelinap masuk ke markas para kera lalu membunuh istri dan putra sulung Caesar. Belum sempat kita pulih dari serangan membabi buta, hati kembali dibuat terhenyak dengan kematian tak disangka-sangka. 

Canggihnya efek khusus yang membuat kita yakin bahwa para kera ini nyata adanya – bukan sebatas hasil kreasi komputer – sanggup mentranslasi perubahan mimik wajah dari Andy Serkis secara sempurna. Berkatnya, kita bisa mendeteksi adanya kepiluan, amarah, sekaligus kebencian yang melahirkan obsesi untuk membalas dendam dalam tubuh Caesar. Perlahan tapi pasti, jiwa Koba yang coba ditolaknya merasuk ke dalam dirinya. Dari sini, laju pengisahan film yang semula bergegas mulai melambat. Reeves ingin fokus kepada pertumbuhan karakter dari Caesar dengan menunjukkan peperangan sang protagonis dalam menekan sisi gelapnya yang mulai tumbuh tak terkendali. Sosok manusia yang mengayomi para kera tak lagi nampak disini dan sebagai gantinya, Caesar memperoleh bantuan serta wejangan dari sesamanya seperti Maurice yang bijak (Karin Konoval), Rocket yang setia (Terry Notary), Luca yang pemberani (Michael Adamthwaite), dan Bad Ape (Steve Zahn) yang celetukan berikut tindak tanduk menggelitiknya difungsikan untuk memberi sedikit keceriaan di sela-sela nuansa yang nyaris melulu tegang seperti bagaimana semestinya suatu medan peperangan. Disamping mereka, masih ada pula sesosok perempuan cilik bernama Nova (Amiah Miller) yang keberadaannya tidak saja memberi tribute pada Planet of the Apes tetapi juga untuk mengingatkan Caesar mengenai sisi ‘manusiawi’ dari dirinya. 

Ya, War for the Planet of the Apes bukan semata-mata sebuah spektakel pengisi liburan musim panas yang disesaki rentetan sekuens eksplosif – kamu akan mendapatinya di klimaks seru film ini – karena Matt Reeves mencoba pula untuk bercerita, mencoba memberi penutup layak bagi sebuah trilogi prekuel/reboot, dan mencoba membangun jembatan penghubung antar franchise yang dapat diterima dengan baik. Dalam War for the Planet of the Apes, selain menyoroti perjuangan beserta tumbuh berkembangnya Caesar sebagai suatu karakter sehingga pada akhirnya kita bisa memahami mengapa dia sangat pantas menyandang gelar ‘pemimpin sejati’, Reeves turut menyinggung isu gelap nan sensitif semacam rasisme, kekejaman peperangan, sampai sisi kelam makhluk hidup meliputi dendam dan ambisi yang disisipkannya secara cerdik ke dalam penceritaan bersama Mark Boomback. Alhasil, naskah War for the Planet of the Apes terasa bernas tanpa pernah terjerumus menjadi pretensius. Ini lantas diolah oleh Reeves menjadi bahasa gambar yang megah, mendebarkan, mengusik pikiran sekaligus menyayat hati. Kecakapan Reeves sanggup menempatkan War for the Planet of the Apes sebagai penutup trilogi yang amat baik sekaligus salah satu sajian musim panas paling berkesan tahun ini.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/8_8jiV

Outstanding (4/5)


REVIEW : WAR FOR THE PLANET OF THE APES
4/ 5
By
Add your comment