Tampilkan postingan dengan label Jennifer Lawrence. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jennifer Lawrence. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Maret 2018

RED SPARROW (2018) REVIEW : Membangun Tensi dan Karakterisasi dengan
Naskah yang Dibatasi

RED SPARROW (2018) REVIEW : Membangun Tensi dan Karakterisasi dengan Naskah yang Dibatasi


Setelah berkolaborasi dalam film trilogi The Hunger Games, nampaknya sutradara Francis Lawrence memiliki aktris kesayangan. Jennifer Lawrence kembali berkolaborasi dengan sutradara Francis Lawrence dalam film terbarunya yang diadaptasi dari sebuah novel. Proyek film terbaru mereka ini diadaptasi dari buku yang ditulis oleh Jason Matthews berjudul Red Sparrow. Jennifer Lawrence menjadi sosok mata-mata Rusia dan hal ini  tentu adalah hal yang menarik untuk dinantikan.

Adaptasi dari buku Red Sparrowke dalam naskah ini ditulis oleh Justin Haythe yang pernah menuliskan naskah di beberapa film. Pun, tak hanya Jennifer Lawrence saja, ada beberapa nama besar yang juga ikut andil di dalam proyek adaptasi Red Sparrow ini. Mulai dari Joel Edgerton, Charlotte Rampling, hingga Jeremy Irons ikut meramaikan film yang bertemakan mata-mata rusia ini. Dengan trailer yang seduktif, tentu Red Sparrow akan semakin menarik untuk dinantikan.

Di tangan 20th Century Fox, film adaptasi dari novel tentu punya riwayat yang tidak cukup baik. Mulai dari The Maze Runner hingga Miss Peregrine tentu memiliki performa yang tak bisa maksimal. Tentu saja ini adalah sebuah lampu kuning bagi Francis Lawrence yang ingin mengadaptasi sebuah buku ke dalam film seperti Red Sparrow ini. Sebagai sebuah film mata-mata, Red Sparrowtampil elegan tetapi penceritaannya tak sempurna akibat naskah adaptasi yang tak begitu diperhatikan.


Ini menceritakan tentang sosok perempuan yang awalnya penari balet bernama Dominika Egorova (Jennifer Lawrence) yang sangat berbakat. Tetapi, karirnya harus hancur ketika saat tampil di atas panggung, rekannya menyabotase penampilannya yang mengakibatkan dirinya mengalami patah tulang. Dominika sangat terpukul dengan kejadian ini dan menganggap dirinya sudah tidak punya harapan lagi. Dengan kejadian ini, Dominika yang sangat kesal ingin membalas dendam.

Dominika berusaha menghancurkan rekan baletnya dengan sangat sadis. Hal ini tentu membuat Dominika panik dan takut. Sehingga pada akhirnya, Dominika harus masuk ke dalam sebuah pelatihan rahasia oleh pamannya sendiri dan program ini dinamai Red Sparrow. Di sana dia diajari untuk menjadi seorang mata-mata negara dengan cara yang lain. Menggunakan seluruh aset yang ada di dalam tubuhnya untuk dijadikan senjata ampuh untuk melakukan investigasi.


Dengan cerita-cerita seperti ini, sebenarnya Red Sparrow memiliki potensi untuk mempunyai performa yang sangat unggul. Terlebih, Red Sparrow ini memiliki Jennifer Lawrence sebagai kunci utama di dalam filmnya. Pun, didukung oleh kekuatan pengarahan dari Francis Lawrence yang sebenarnya tak bisa diremehkan begitu saja. Tetapi, Red Sparrow pada akhirnya harus terjebak dengan beberapa kelemahan dalam penulisan naskahnya.

Sebagai sebuah film yang penuh akan teka-teki, Justin Haythe tak bisa menerjemahkan setiap misteri yang ada di dalam buku milik Jason Matthews. Ada beberapa informasi yang tak bisa disampaikan dengan baik karena naskahnya sendiri tak bisa menjelaskan hal itu. Efeknya, kepingan-kepingan teka-teki itu tak bisa tersusun dengan baik dan akan menimbulkan berbagai pertanyaan bagi penonton. Efek lainnya adalah timbul sebuah konklusi yang sangat lemah dalam film-film serupa.

Sehingga, yang sangat membantu performa dari Red Sparrow ini secara keseluruhan adalah pengarahan dari Francis Lawrence yang sangat kuat. Dengan naskah yang begitu lemah, Francis Lawrence berhasil merajut setiap menitnya dengan sangat baik. Membangun perkembangan karakter dan atmosfir yang mencekam di dalam Red Sparrow untuk menutupi lubang-lubang yang ada dalam setiap informasinya. Ini tentu akan sangat membantu performa dari Red Sparrow terlebih ketika durasinya pun mencapai 136 Menit.


Francis Lawrence membangun setiap ceritanya perlahan sehingga ini akan memunculkan efek ke dalam ceritanya yang memiliki tempo lambat. Temponya yang lambat ini digunakan oleh Francis Lawrence sebagai cara untuk mengenalkan karakter dan konfliknya agar dekat kepada penontonnya. Pun, tempo lambatnya inilah yang menjadi kekuatan Red Sparrowdalam membangun setiap tensinya yang semakin mencekam. Tetapi, ini tentu akan berdampak lain bagi orang yang tak suka dengan film tempo lambat karena tentu hal ini akan diasumsikan sebagai film yang membosankan.

Tak ada sekuens aksi yang sangat besar muncul di dalam film Red Sparrow. Semua intensitasnya muncul dari penuturan Francis Lawrence di dalam setiap dialognya. Tentu, hal ini tak akan mujarab apabila Jennifer Lawrence tak bisa memberikan performa yang luar biasa. Dirinya mampu menjadi sosok mata-mata yang sangat meyakinkan. Jennifer Lawrence mampu memberikan range emosi yang sangat besar sehingga penonton pun ikut berhasil termakan tipu daya Jennifer Lawrence yang berperan sebagai mata-mata di dalam film ini.

Red Sparrow menjadikan tema seduktifnya sebagai cara menunjukkan kepada penontonnya tentang perempuan dan juga tubuhnya. Perempuan bisa secara bebas menggunakan tubuhnya atas itu masih dalam kemauan dari alam sadarnya sendiri. Tubuh perempuan pun bisa sebagai senjata yang ampuh untuk memanipulasi pemikiran laki-laki. Secara tak langsung hal ini mewakili bagaimana perempuan punya kontrol besar atas tubuhnya untuk berusaha menumpas pemikiran-pemikiran konvensional laki-laki yang selalu memandang tubuh perempuan sebagai objek.


Sehingga, tema seduktif di dalam film ini bukan hanya sebagai sebuah tambahan tak berarti untuk memuaskan mata lelaki. Dengan caranya, Red Sparrow membuktikan sekali lagi tentang kedigdayaan perempuan dalam realita yang menjadi krisis dan urgensi untuk muncul dalam sinema akhir-akhir ini. Meski  masih memiliki misteri yang tak bisa ditangani dengan baik, setidaknya 136 menit Red Sparrow ini masih sangat bisa dinikmati oleh mereka yang suka dengan tempo dan tema seperti ini.

Minggu, 01 Januari 2017

REVIEW : PASSENGERS

REVIEW : PASSENGERS


“You can't get so hung up on where you'd rather be, that you forget to make the most of where you are.” 

Cenderung sulit untuk tidak tergoda pada Passengers. Betapa tidak, film ini mengapungkan premis menggiurkan – bahkan skripnya sendiri dulunya tergabung dalam barisan skenario paling diharapkan untuk diproduksi di The Black List – mengenai sepasang manusia yang hidupnya terombang-ambing pasca terbangun dari bilik hibernasi jauh lebih awal dalam perjalanan mengarungi jagat raya dan dua pelakon utamanya, Chris Pratt beserta Jennifer Lawrence, merupakan komoditi paling panas saat ini di Hollywood. Dengan ditambah adanya keterlibatan dari Morten Tyldum yang berjasa mengantarkan The Imitation Game ke panggung Oscars di kursi penyutradaraan, Passengers kian berteriak lantang meminta perhatian kita. Mudahnya, Passengers telah memenuhi semua kriteria untuk menjelma sebagai film yang: 1) dipuja-puji oleh para kritikus, dan 2) memuaskan dahaga penonton akan film fiksi ilmiah yang bukan semata-mata mengisi otak tetapi juga hati. Ekspektasi tinggi pun terbentuk diiringi oleh pertanyaan, “apa sih yang mungkin bisa salah dari ini?.” Nyatanya, sekalipun telah membopong bibit-bibit unggul, Passengers tak berhasil tersemai secara sempurna. Hasilnya memang tidak buruk namun menengok siapa-siapa saja yang terlibat, well... ini jelas tak memenuhi pengharapan.

Berlatar waktu jauh ke depan (tidak pernah spesifik disebutkan), para penduduk bumi yang berkantong tebal melakukan perjalanan panjang selama 120 tahun mengarungi luar angkasa menggunakan kapal mewah Avalon guna menjangkau koloni baru yang dikenal sebagai Homestead II. Lebih dari 5000 orang yang kesemuanya tertidur dalam bilik hibernasi sampai empat bulan menjelang pendaratan menumpangi Avalon yang lantas mengalami kegagalan sistem di perjalanan tahun ke-30 usai menabrak sebuah asteroida. Malfungsi menyebabkan salah satu katup bilik hibernasi dari salah satu penumpang terbuka lebih awal. Penumpang yang tertimpa nasib apes tersebut adalah seorang mekanik bernama Jim Preston (Chris Pratt). Mulanya, Jim mencoba bersikap positif dengan menggali-nggali informasi untuk memperbaiki bilik miliknya sembari mencuri-curi kesempatan menikmati fasilitas berkelas premium yang ditawarkan Avalon seorang diri. Tapi saat dia menyadari kerusakan tersebut mustahil dapat diperbaiki dan harus menerima kenyataan bahwa dirinya akan meninggal karena usia tua bahkan sebelum mendarat di Homestead II, frustrasi mulai menyergap. Demi menghilangkan rasa kesepian yang terus menghantui selama setahun sejak dia terbangun, Jim pun nekat membangunkan penumpang lain, Aurora Lane (Jennifer Lawrence), untuk menemaninya. 

Ditinjau dari premis, Passengers sejatinya mempunyai potensi besar untuk terhidang sebagai tontonan yang menggugah emosi. Membayangkan hidup seorang diri di suatu tempat asing tanpa bisa berinteraksi sama sekali dengan manusia lain – satu-satunya teman Jim adalah sebuah bartender android bernama Arthur (Michael Sheen) – ditambah tidak ada jaminan memperoleh pertolongan saja sudah bikin stres bukan kepalang. Morten Tyldum pun mengondisikan situasi serba tidak mengenakkan ini dapat tersalurkan ke penonton di paruh awal sehingga kita dapat memahami betapa depresinya si tokoh utama untuk kemudian terhubung secara personal. Meski seni berperannya kurang bisa disetarakan dengan Tom Hanks (Cast Away), Sam Rockwell (Moon), maupun Matt Damon (The Martian) yang masing-masing pernah memerankan karakter bernasib kurang lebih senada, Chris Pratt tetap tampil mengesankan sebagai Jim. Energi berlimpahnya memudahkan kita untuk menyukai sosoknya, maka begitu dia terjerembab ke lembah depresi, ada simpati tersemat. Berharap dia dapat kembali menikmati kehidupan seperti sedia kala. Momen-momen runtuhnya pertahanan emosi Jim ini menghilangkan kejenakaan yang sempat menghiasi dan menggantikannya dengan cita rasa muram, mencekam, serta depresif. 

Nada pengisahan kembali berubah saat Aurora hadir mengisi kekosongan hari-hari Jim. Mencelupkan plot romansa antara Jim dengan Aurora, nuansa depresif pun terkikis dan perlahan tapi pasti bisa dicecap adanya rasa manis. Chemistry lekat Chris Pratt bersama Jennifer Lawrence berkontribusi atas hadirnya momen-momen romantis yang sekalipun cheesy namun tak bisa disangkal cukup memikat hati. Pun demikian jangan berharap relasi keduanya akan membawamu ke fase mengharu biru karena “penyimpangan” pada laju pengisahan yang sejatinya telah terendus gelagatnya sedari Tyldum membelokkan nada film untuk kali kedua, benar-benar terpampang nyata menjelang klimaks. Laju film tiba-tiba berlari kencang seolah-olah batasan durasi akan terlampaui. Akibatnya, intrik mengusik hati berakarkan sakit hati akibat pengkhianatan dari seseorang yang dipercaya dan dicintai yang seharusnya dapat menjadi gong besar bagi Passengers, berlalu begitu saja. Bahkan, ini lantas diselesaikan dengan gampangnya seperti perkara sepele demi memberi ruang bagi mencuatnya momen eksplosif klise khas film blockbuster yang kemunculannya teramat sangat dipaksakan dan justru menghantarkan film ke ujung yang antiklimaks. Emosi yang telah tertanamkan dengan baik dihempaskan seolah tak memiliki arti. Seandainya Tyldum setia membawa Passengers ke ranah indie dengan lantunan kisah kontemplatif atau menggiringnya ke area romansa tanpa bumbu aksi tak perlu, hasilnya bisa jadi lebih ciamik.

Acceptable (3/5)