Tampilkan postingan dengan label Samuel Rizal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Samuel Rizal. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 Juni 2018

TARGET (2018) REVIEW : Uji Coba Kedua Raditya Dika di Luar Zona Nyaman

TARGET (2018) REVIEW : Uji Coba Kedua Raditya Dika di Luar Zona Nyaman


Raditya Dika bisa dikategorikan berhasil keluar dari zona nyamannya dalam membuat sebuah film lewat film Hangout. Hal ini terbukti lewat raihan penonton Hangoutyang mencapai 2,7 penonton. Dengan rekam jejak seperti ini, tentu saja Raditya Dika akan dipercaya untuk menangani hal-hal serupa untuk proyek selanjutnya. Bersama dengan Soraya Intercine Films, Raditya Dika membuat sebuah proyek dengan genre film yang hampir sama.

Bukan kali pertama pula Raditya Dika bekerjasama dengan Soraya Intercine Films. Proyek terbarunya berjudul Targetini adalah kerjasama ketiga kalinya setelah Single dan The Guys. Target ini disutradarai dan ditulis juga oleh Raditya Dika dengan bintang-bintang yang bertaburan. Mulai dari Willy Dozan hingga Ria Ricis, Targetmembuktikan bahwa film ini tak dikerjakan dengan sembarangan. Raditya Dika ingin sekali membuat Target mencapai semua kalangan usia sebagai penontonnya.

Dengan konsep yang hampir serupa dengan Hangout, penonton mungkin akan merasa skeptis dengan performa Target. Terlebih bagi mereka yang tak begitu menyukai pengarahan Raditya Dika dalam film Hangout. Sayangnya, skeptis penonton mungkin akan berakhir benar terhadap performa Target kali ini. Bagi penonton yang tak terlalu menyukai film Hangout, karya Raditya Dika terbaru ini mungkin harus segera dihindari karena Target tak bisa mengenai target yang ingin dibidik oleh Raditya Dika.


Dengan konsep serupa, ternyata Raditya Dika tak bisa mencoba lagi peruntungannya. Sebagai sebuah film dengan kombinasi genre thriller dan komedi, Target mencapai tujuan dari kedua genre tersebut. Sebagai sebuah film komedi, film ini memiliki amunisi tawa yang sangat minimalis. Hanya senyum kecil di beberapa bagian yang akan menghiasi raut muka penontonnya. Sebagai sebuah film thriller, film ini pun tak bisa menjaga intensitas misterinya dengan baik.

Kesalahan utama dari film Targettentu dari penulisan dan pengarahan yang tak diperhatikan betul oleh Raditya Dika. Sehingga, film Target ini benar-benar terasa sangat terburu-buru untuk tayang di slot film rilis Lebaran untuk memancing jumlah penonton yang cukup besar. Konsep menarik Raditya Dika dalam film Hangout sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi sebuah film dengan performa yang solid. Sayangnya, Target tak memenuhi ekspektasi konsepnya yang sudah besar tersebut.


Film Target sendiri menceritakan tentang para artis yang berperan sebagai dirinya sendiri. Mulai dari Raditya Dika, Cinta Laura, Rommy Rafael, Samuel Rizal, Abdur Arsyad, Hifdzi Khoir, Anggika Bolsterli, dan Willy Dozan. Mereka diundang oleh seorang sutradara misterius yang mengirimi mereka sebuah naskah film berjudul Target. Kedelapan artis tersebut memenuhi undangan syuting misterius tersebut di sebuah bangunan kecil yang tersembunyi.

Setelah sampai di tempat dan mengikuti instruksi yang ada di dalamnya, barulah mereka mengetahui apa yang diinginkan oleh sang sutradara misterius tersebut. Mereka ternyata terjebak dalam sebuah permainan yang mengharuskan mereka bertahan hidup. Permainan ini dibuat oleh seorang Game Master dan direkam untuk dijadikan sebuah film. Bagi mereka yang melanggar dan memaksa keluar dari permainan ini akan diganjar oleh hukuman yang setimpal. Oleh karena itu, mereka harus mengikuti setiap permainan hingga selesai.


Konsep yang dimiliki oleh film Targetini sebenarnya sangat menarik untuk diikuti. Punya banyak misteri-misteri yang disebar sehingga penonton akan berpotensi memiliki rasa penasaran hingga akhir film. Target memang berbeda dengan Hangout, bahkan Raditya Dika memiliki kesempatan untuk melantunkan sindiran terhadap film Hangout sendiri. Sarkastik yang dilakukan oleh Raditya Dika ini memang bagus, sayangnya poin menarik film ini hanya ada segelintir saja.

Sisanya, naskah yang ditulis oleh Raditya Dika ini seperti digarap kurang matang. Karakter-karakter di dalam film ini tak memiliki latar belakang cerita yang kuat. Dampaknya, konflik cerita di dalam film Target ini tak bisa tersampaikan dengan baik. Film Target langsung dibuka dan fokus kepada konflik tentang naskah misterius tersebut. Tak ada pengenalan karakter yang berarti lalu film Target sudah sibuk untuk menjelaskan tentang permainan yang dibuat oleh seorang Game Master tersebut.

Raditya Dika seperti terlena dengan bagaimana dirinya mengemas misteri-misteri tersebut dibanding mengenalkan karakter-karakternya. Padahal, di tengah Raditya Dika berusaha untuk menyampaikan misteri tersebut, ada cerita-cerita yang mengusik masa lalu karakternya. Hal ini tentu akan semakin kuat jika Raditya Dika punya tujuan dalam mengembangkan karakternya. Akhirnya, keberadaan setiap karakter di film ini tak memiliki motivasi yang kuat juga akan membuat penontonnya kebingungan.


Meski Raditya Dika terlalu fokus dengan penyebaran misterinya, film Target tak benar-benar diolah dengan pas. Masih ada misteri-misteri yang disampaikan dengan cara yang canggung, sehingga film Target dengan jelas mempertunjukkan lubang-lubang kecil yang menganggu performanya secara keseluruhan. Pengarahan Raditya Dika yang tak sekuat dalam zona nyamannya, inilah yang tak bisa membaurkan karakter dengan konflik-konfliknya. Sehingga, muncul jarak antara keduanya yang membuat film Target tak bisa memiliki performa yang solid.

Beruntungnya, Target masih memiliki warna dan sinematografi yang cocok untuk filmnya. Begitu pula dengan sound editing dan sound mixing filmnya yang dibuat secara detil. Sehingga, film Target masih dapat dikategorikan sebuah film yang layak untuk dinikmati secara kemasan. Meskipun untuk production value dari rumah produksi sekelas Soraya Intercine Films, film Targetbisa dibilang tak seniat biasanya. Tetapi, apa yang ditampilkan cukup bisa mewakili konsep dari filmnya ini sendiri.


Boleh saja bagi Raditya Dika untuk kembali mengeksplor dirinya keluar dari zona nyaman. Tetapi kenyataannya, Raditya Dika belum bisa mengemas konsep genre thriller komedi ini. Targetbisa menjadi bukti bahwa uji coba kedua Raditya Dika di luar genre favoritnya ini ternyata memiliki performa yang semakin menurun dibanding Hangout. Padahal, ada satu adegan romantis di dalam film Target ini akan membuat penggemarnya rindu Raditya Dika menggarap film yang biasa dia buat sebelumnya.

Senin, 19 Maret 2018

EIFFEL IM IN LOVE 2 (2018) REVIEW : Kisah Cinta Pasangan Tak Sempurna
Yang Manis

EIFFEL IM IN LOVE 2 (2018) REVIEW : Kisah Cinta Pasangan Tak Sempurna Yang Manis


Kedatangan produk-produk nostalgia ke layar lebar ini memang telah menjadi tren di perfilman Indonesia. Nyatanya, amunisi seperti ini adalah sebuah senjata yang tepat guna untuk mendatangkan banyak penonton. Terlebih ketika Ada Apa Dengan Cinta? 2 berhasil meraup 3,5 juta penonton dan berbagai rumah produksi pun berlomba-lomba untuk mencari amunisinya mengembalikan memori lama penonton. Hal ini yang dilakukan oleh Soraya Intercine Films di tahun 2018.

Kisah cinta Adit dan Tita ini memang pernah menjadi salah satu box office hit di Indonesia kala itu. Eiffel I’m In Love menjadi amunisi utama dari Soraya Intercine Films untuk mengembalikan memori penontonnya yang ingin tahu seperti apa mereka sekarang. Sebenarnya, jika ditilik lebih lama lagi, Eiffel I’m In Love sudah memiliki lanjutan ceritanya dengan cast yang tentu saja berbeda lewat Lost in Love. Tetapi, film tersebut dianggap sebagai sebuah angin lalu dan Soraya Intercine Films tetap memutuskan untuk membuat sekuel dari kisah cinta Adit dan Tita.

Cast dari film ini masih tetap sama yaitu Samuel Rizal dan Shandy Aulia. Hanya saja, Eiffel I’m In Love 2 kali ini memiliki pilot yang berbeda. Rizal Mantovani kali ini memegang kendali mau di bawa ke mana kisah cinta Adit dan Tita kali ini. Tak bisa dipungkiri mungkin banyak orang yang mulai ragu dengan bagaimana Rizal Mantovani mengarahkan kisah cinta Adit dan Tita kali ini. Hal ini dikarenakan beberapa kail Rizal Mantovani sering meleset dalam mengarahkan sebuah film.


Beruntungnya, Eiffel I’m In Love 2 masih memiliki nafas yang sama dengan film sebelumnya. Mungkin, Eiffel I’m In Love 2 tak menawarkan sesuatu yang baru di dalam filmnya. Plot ceritanya masih saja memiliki unsur klise film cinta-cintaan yang ada. Tetapi, Eiffel I’m In Love 2 berhasil memainkan perannya sebagai sebuah film sekuel. Ada konsistensi dan perkembangan setiap karakternya yang membuat Eiffel I’m In Love 2 ini tampak sangat hidup di durasinya selama 115 menit.

Eiffel I’m In Love 2 memang sebagai sebuah film utuh tak bisa tampil secara sempurna. Tetapi, kedigdayaan film ini tampil karena bagaimana kepiawaian naskah yang ditulis oleh Donna Rosamayna ini berhasil merajut kisah cinta Adit dan Tita tampil manis. Menghidupkan dan mempertahankan karakter Adit dan Tita yang sudah terbentuk di film pertamanya di dalam film keduanya. Tetapi, juga memberikan sedikit gubahan dari dalam karakternya yang memberikan relevansi.


Ini dia kisah Adit dan Tita yang memiliki rentang 12 tahun dari film pertamanya. Tita (Shandy Aulia) sudah berhasil menyelesaikan sekolahnya dan menjadi dokter hewan. Tetapi, di umurnya yang sudah tak lagi muda, Tita memiliki krisis. Di saat semua teman-teman seusianya sudah memiliki suami, Tita masih saja sendiri karena Adit (Samuel Rizal) tak segera melamarnya. Tita pun mulai sedih apalagi jika diingat bahwa mereka masih saja sering bertengkar karena masalah-masalah sepele.

Lalu, ada kabar bahwa Tita dan keluarganya harus pindah sementara ke Paris. Tita pun sangat bahagia karena pada akhirnya dia bisa dekat dengan Adit. Tetapi, dekat dengan Adit bukan berarti masalah ketidakpastian akan hubungan mereka berakhir begitu saja. Adit dan Tita semakin sering ribut tiap hari di saat sering bertemu. Tita pun merasa bahwa Adit sudah tak lagi sayang dengannya dan masalah-masalah lain pun muncul dalam hubungan mereka.


Kisah cinta Adit dan Tita memang tak selalu mulus, begitupula dengan kemasan yang ada di dalam film Eiffel I’m In Love 2. Beberapa bagian di dalam film ini memang berjalan tak mulus apalagi dengan durasi yang mencapai 115 menit. Konflik yang terjadi di dalam film ini memang tak banyak, tetapi memiliki perjalanan yang cukup panjang. Efeknya, Eiffel I’m In Love 2 memiliki tempo yang melambat di pertengahan filmnya.

Naskah yang ditulis oleh Donna Rosamayna ini memang seharusnya bisa membuat Eiffel I’m In Love 2 menawarkan cita rasanya sendiri sebagai sebuah film drama romantis. Banyak momen-momen manis yang tergambar dengan baik dibantu oleh pengarahan oleh Rizal Mantovani. Tetapi sayangnya, Rizal Mantovani tak bisa secara signifikan memberikan kekuatan untuk mendukung naskah yang sudah baik-baik ditulis dengan rapi.


Muncul beberapa bagian di dalam filmnya yang tak bisa mendukung plot cerita utamanya. Beberapa adegan pun muncul dengan transisi yang tak mulus dan memberikan suasana canggung yang tak mendukung. Terutama ketika plot cerita itu harus digerakkan oleh karakter-karakter pendukung selain Tita dan Adit. Inilah yang menjadi kendala utama dari Eiffel I’m In Love 2. Tak ada pemain yang bisa memiliki performa yang sama dengan Shandy Aulia dan Samuel Rizal. Entah, apakah ini menjadi tujuan utama dari sekuel ini karena performa mereka sangat mirip dengan film pertamanya.

Tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Eiffel I’m In Love 2 punya banyak asupan adegan manis yang bisa membuat penonton terbawa arus suasana yang ada. Cita rasa manis itu didukung dengan tone warna pastel dari filmnya dibalut dengan kemegahan visual dari Yunus Pasolang. Pun, dengan lagu serta musik dari Anto Hoed dan Melly Goeslow yang juga mumpuni mendukung suasana romantis kisah Adit dan Tita di layar perak.


Dengan adanya asupan-asupan adegan manis di dalam Eiffel I’m In Love 2, film yang dirilis di bulan kasih sayang lalu ini sangat pas ditonton bersama pasangan. Pun, bagi mereka yang ingin kembali merasakan sensasi nostalgia kisah cinta Tita dan Adit 12 tahun silam. Dengan konsistensi karakterisasinya dan perubahan kedewasaannya yang mengikuti zaman, tentu hal ini membuat penonton yakin bahwa pasangan Tita dan Adit ini nyata dan begitu pula cinta kasih mereka.

Sabtu, 24 Februari 2018

REVIEW : EIFFEL... I'M IN LOVE 2

REVIEW : EIFFEL... I'M IN LOVE 2


“Dalam hubungan cowok dan cewek, itu cuma ada dua. Pacar atau mantan pacar. Jadi nggak ada tuh yang namanya sahabat.” 

Reuni Cinta dengan Rangga usai terpisahkan selama ratusan purnama dalam Ada Apa Dengan Cinta? 2 (2016) yang memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus, telah menginspirasi para produser untuk menghidupkan kembali kisah cinta pasangan-pasangan fiktif kenamaan di perfilman Indonesia. Upaya tersebut bisa ditengok melalui Ayat-Ayat Cinta 2 (2017) yang menjadi saksi kebesaran cinta Fahri kepada Aisha dan paling baru adalah Eiffel… I’m in Love 2 (2018) yang sekali lagi mempertemukan kita dengan dua sejoli Tita-Adit. Keputusan untuk memberi kisah kelanjutan bagi Eiffel… I’m in Love (sekadar informasi, Lost in Love yang dibintangi oleh Pevita Pearce tidak pernah dianggap sebagai sekuel resmi) tentunya bukan tanpa alasan jelas. Film pertamanya yang didasarkan pada novel laris rekaan Rachmania Arunita mampu mendatangkan 3 juta penonton untuk berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop sekaligus menciptakan tren “film percintaan remaja dengan latar negeri orang.” Soraya Intercine Films tentu ingin mengulang kembali fenomena tersebut terlebih nostalgia bersama Cinta-Rangga dan Aisha-Fahri tempo hari terbilang sukses dari segi finansial. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apakah sebuah sekuel bagi kisah percintaan Tita-Adit yang digarap ole Rizal Mantovani ini memang benar-benar dibutuhkan? 

Demi menyegarkan ingatan penonton sekaligus menguarkan aroma nostalgia, Eiffel… I’m in Love 2 membuka gelarannya dengan opening credit berhiaskan foto-foto adegan dari film pertamanya. Berlangsung selama kurang lebih dua menit, pembuka ini cukup ampuh dalam meningkatkan mood sehingga terbersit sekelumit rasa tidak sabar untuk mengetahui sejauh mana kisah kasih Tita (Shandy Aulia) dengan Adit (Samuel Rizal) telah berkembang setelah kita tidak lagi mendengar perkembangannya selama belasan tahun. Hanya beberapa menit usai film memulai pengisahannya, penonton menyadari bahwa Tita tidak benar-benar berubah – dalam artian masih manja dan ibunya tetap bersikap kelewat protektif kepadanya – serta hubungan Tita dengan Adit yang telah dibina selama 12 tahun masih awet-awet saja sekalipun LDR (long distance relationship) dan diwarnai pertengkaran saban hari tiap kali saling berkomunikasi. Tak pernah naik level dari ‘tunangan’, Tita mulai berharap Adit akhirnya akan mengajaknya ke pelaminan pasca dia beserta keluarganya diajak pindah sementara ke Paris untuk mengurus bisnis restoran milik orang tua Adit yang terbengkalai. Harapan Tita yang menggebu-nggebu ini perlahan tapi pasti mulai pupus tatkala Adit menunjukkan ketidaksiapannya dan muncul orang ketiga dalam hubungan mereka

Tidak banyak ekspektasi yang disematkan kala melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Eiffel… I’m in Love 2. Pasalnya, sekalipun cukup menikmati jilid pertamanya, saya tidak pernah benar-benar menggemarinya. Tita-Adit jelas bukan Cinta-Rangga yang mempunyai daya tarik begitu kuat sampai-sampai kelanjutan hubungan mereka pun dinanti-nantikan. Sikap netral (cenderung mendekati pesimis, sejujurnya) ternyata membawa kejutan tersendiri bagi saya. Tanpa dinyana-nyana, Eiffel… I’m in Love 2 sanggup dihadirkan sebagai tontonan percintaan yang memikat, manis-manis menggemaskan, sekaligus jenaka. Ya, ini adalah kejutan manis di permulaan tahun 2018. Perjalanannya yang berlangsung selama 117 menit memang tidak selamanya berlangsung mulus. Selepas opening credit yang dikemas cakep, Eiffel… I’m in Love 2 agak tergagap-gagap dalam menyampaikan kisahnya. Salah satu faktor pemicunya terletak pada barisan pemain pendukung dengan performa menyerupai robot. Mereka terlihat seperti tengah mengingat-ingat dialog apa yang hendak diucapkan. Konsekuensinya, selama belasan menit pertama, film tak begitu nikmat untuk dikudap terutama setiap kali Tita berinteraksi dengan keluarganya. Berharap sekali bioskop menyediakan fitur fast forward atau minimal mute sehingga meniadakan suara. Gangguan ini sedikit demi sedikit mulai tereduksi tatkala latar film berpindah ke Paris. 

Chemistry Shandy Aulia dan Samuel Rizal adalah kunci utama yang membuat Eiffel… I’m in Love 2 terasa bernyawa. Dinamika diantara keduanya masih seperti yang kita saksikan 15 tahun lalu, bahkan kali ini lebih asyik. Ada keseruan tersendiri menyaksikan mereka bersama-sama baik saat ribut-ribut yang memunculkan elemen komedi menyegarkan maupun saat bermesraan yang menghadirkan elemen romantis yang bikin senyum-senyum. Disamping itu, pendewasaan karakter menjadikan Tita dan Adit tidak lagi semenyebalkan dulu. Tita mampu menunjukkan ketegasan dalam mengambil keputusan, sementara Adit tampak lebih bertanggungjawab. Adegan rekonsiliasi usai perang dingin yang berlangsung di menara Eiffel tidak saja menjadi salah satu adegan paling romantis dalam sejarah film percintaan tanah air, tetapi juga memberi penjabaran masuk akal mengenai hubungan asmara Tita-Adit yang tidak kunjung diboyong ke pelaminan. Adegan ini sendiri berkontribusi besar terhadap Eiffel… I’m in Love 2 sehingga membuatnya terasa layak ditonton. Yang turut mendongkrak dalam menaikkan kelas Eiffel… I’m in Love 2 adalah production value-nya yang tidak main-main. Pemilihan kostum yang turut mempertegas karakteristik tiap tokoh, bidikan gambar yang membingkai sudut-sudut Paris dengan begitu cantik, dan iringan musik yang menebalkan cita rasa romantis. Kombinasi ketiganya membantu memberi kesan mewah sekaligus mahal pada film. Inilah alasan mengapa film ini tidak bisa disebut sekelas FTV. Just saying. Kelanjutan kisah percintaan Tita-Adit mungkin tidak benar-benar dibutuhkan, tapi Eiffel… I’m in Love 2 menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah sekuel yang sia-sia.

Exceeds Expectations (3,5/5)