Tampilkan postingan dengan label random thought. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label random thought. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Juni 2018

Random Thought: The Lack of Female Movie Critics

Random Thought: The Lack of Female Movie Critics

Tulisan ini adalah pemikiran random saya setelah membaca sebuah berita. Awalnya saya ingin menuliskan uneg-uneg saya pada akun facebook saya, tapi saya merasa lebih relevan kalo saya taruh di blog ini. Namanya juga pemikiran random, maka maafkan jika tulisan saya beneran random dan melompat-lompat. Ini bukan esai formal, ini cuma sekedar racauan ~

THE LACK OF FEMALE MOVIE CRITICS

Dalam acara Crystal + Lucy Awards, aktris pemenang Oscar untuk film Room, Brie Larson mengumumkan bahwa Sundance dan Toronto Film Festivals akan mengalokasikan kuota 20% jurnalis dari kalangan minoritas (perempuan dan kulit berwarna). Ia bilang bahwa filmnya A Wrinkle in Time flop di pasaran karena kurangnya kritikan yang komprehensif, terutama menurutnya kritikus film saat ini didominasi oleh pria kulit putih. Kira-kira pidatonya begini: "I don’t need a 40-year-old white dude to tell me what didn’t work about A Wrinkle in Time. It wasn’t made for him! I want to know what it meant to women of colour, biracial women, to teen women of colour. Am I saying I hate white dudes? No, I am not. What I am saying is if you make a movie that is a love letter to women of colour, there is an insanely low chance a woman of colour will have a chance to see your movie, and review your movie,".

Terlepas dari apakah pidato ini cuma alasannya aja atas jebloknya A Wrinkle in Time di pasaran maupun penilaian kritikus, tapi apa yang dibilang Brie Larson ada benarnya. Aktris Jessica Chastain sendiri juga pernah mengkritik kurangnya kritikus perempuan. Sebagai gambaran, di situs favorit kita semua, Rotten Tomatoes, pada musim 2013 kritikan yang masuk sebanyak 78% berasal dari kritikus lelaki dan hanya 22% yang perempuan. Beberapa tahun kemudian hasilnya juga ga banyak berubah. Berdasarkan penelitian Gender at The Movies dari top critics yang ada di Rotten Tomatoes, penulis untuk situs-situs hiburan dan film baik di media online maupun cetak (contohnya seperti Entertainment Weekly) adalah sebanyak 91% lelaki, untuk general interest magazine dan sites seperti Time dan Salon adalah sebanyak 80% lelaki, dan 72% lelaki untuk media online surat kabar.

Sebelumnya, mungkin sebagian dari kamu bertanya emang apa sih gunanya kritikus film?

Biarpun blog ini cuma sekedar blog pribadi, namun alhamdulillah blog amatir nan apa adanya yang kayak gini aja bisa memberikan impact kepada sebagian orang, salah satunya menjadi rujukan rekomendasi film. Apalagi kritikus film serius beneran yang menulis di media besar. Yap, kritik film itu penting sebagai salah satu penunjang industri perfilman. Kritikus film yang baik bisa mengupas keindahan sebuah film agar bisa lebih dipahami oleh pembacanya dan tentu saja mempengaruhi penonton. Bahkan, di era media sosial seperti ini, review-an penikmat film melalui channel blog, vlog, podcast, status facebook, twitter, instastory hingga letterboxd juga punya efek. Brie Larson sendiri bilang bahwa pada kenyataannya review itu penting. Review baik dari kritikus film pada festival film memberikan peluang bagi film-film kecil dan independen untuk dibeli oleh distributor besar. Selain marketing yang baik, review yang baik juga bisa mempengaruhi pendapatan sebuah film (contoh: Justice League yang termasuk flop karena diduga review buruk dari kritikus).

Lalu apa efeknya jika kritikus film perempuan sedikit?

Buat saya, namanya juga review dan opini, sulit untuk 100% obyektif. Selera orang berbeda, pengalaman orang berbeda, sifat orang berbeda, dan hal ini berpengaruh terhadap opini kita tentang film yang kita tonton. Kritikus film yang mengabdikan dirinya pada bidang ini dan mempercayai bahwa film sebagai bentuk karya seni boleh jadi punya sudut pandang, kapabilitas dan pengetahuan yang lebih luas dalam menilai karya film, namun enggak berarti mereka 100% obyektif. Melissa Silverstein dari Woman and Hollywood mengatakan hal yang kira-kira bisa merangkum opini saya, “Women have a different perspective than men. Not better, not worse, just different. We have our own lens in how we see the world and that makes our perspective vital,". Dengan sedikitnya kritikus film perempuan, maka sudut pandang di bidang ini akan disetir oleh opini-opini lelaki. Kita butuh lebih banyak kritikus perempuan (dan beragam ras hingga orientasi seksual) untuk memperkaya sudut pandang lain.

Meryl Streep juga pernah mengkritik minimnya kritikus perempuan. Ia menyebut bahwa situs seperti Rotten Tomatoes dimana jumlah kritikus lelaki lebih banyak daripada perempuan bisa menyebabkan masalah pada film yang dibuat oleh, untuk dan tentang perempuan. “I submit to you that men and women are not the same,” kata Meryl Streep pada sebuah konferensi pers di London. “They like different things. Sometimes they like the same things, but their tastes diverge. If the Tomatometer is slided so completely to one set of tastes, that drives box office in the U.S., absolutely.”

Saya sendiri tergelitik ketika melihat daftar sepuluh besar film terbaik versi IMDB. Daftar film terbaik ini berdasarkan rating penonton. Saya tuliskan di sini:
  1. The Shawshank Redemption 
  2. The Godfather
  3. The Godfather Part II
  4. The Dark Knight
  5. 12 Angry Men
  6. Schindler's Listy
  7. The Lord of The Rings : The Return of The King
  8. Pulp Fiction
  9. The Good, The Bad, and The Ugly
  10. Fight Club
Oh wow. Daftar film yang sangat "manly" dan "maskulin" sekali. Bahkan The Shawshank Redemption, yang genrenya drama - adalah tipe drama yang tidak akan membuat pria malu mengakui jika nangis saat nonton film itu. Saya tidak mengatakan daftar film di atas adalah daftar film yang buruk, namun sedikit lebih banyak sudut pandang perempuan akan mengekspos film-film yang lebih sesuai preferensi perempuan. Tanyakanlah kepada moviegoers cowok apa film favorit mereka, maka kemungkinan besar mereka akan menjawab film-film seperti film-film Nolan, Tarantino, dan Scorsese. Tanyakan kepada moviegoers cewek, maka mungkin film favorit mereka Mean Girls dan Harry Potter. Bukan, saya nggak mengatakan bahwa selera cowok dan cewek sangat jauh berbeda,atau selera perempuan lebih rendah dari lelaki, karena perempuan yang menyukai Mean Girls bisa jadi juga menyukai Reservoir Dogs atau Fargo. Jika penonton perempuan lebih "bersuara" dalam menyuarakan selera filmnya, daftar 10 film terbaik di Top IMDB itu bisa jadi akan diisi oleh Lady Bird atau Little Miss Sunshine.

Saya juga ga bilang kalo penonton, kritikus film, hingga movie reviewer amatir lelaki adalah pria-pria seksis. Tapi cukup wajar jika mereka lebih antusias melihat protagonis cowok atau film tentang perempuan dari perspektif pria. Jessica Ellis juga ngasih pertanyaan yang bisa direnungkan, "Kenapa Stand By Me disebut sebagai film klasik sedangkan Now and Then masih dianggap sebagai film untuk anak perempuan?".

HOLLYWOOD YANG DIDOMINASI LAKI-LAKI

Sekarang, mari kita lihat gambaran besarnya. Industri perfilman Hollywood sendiri bisa dibilang terlalu macho karena didominasi lelaki. Dalam 250 daftar film berpenghasilan tertinggi tahun 2015, hanya 9% diisi oleh sutradara wanita, 23% produser wanita, dan 22% yang peran utamanya perempuan. Saya tidak ingin bicara soal kenapa perempuan sangat sedikit yang berkecimpung di dunia ini, namun ketika sutradara, produser, dan penulis naskah didominasi lelaki, sangat wajar jika film-film yang ada akan didominasi oleh unsur-unsur maskulin dan protagonis lelaki. Saya rasa semua orang juga menyadari bahwa kita cenderung menghasilkan karya yang sesuai dengan latar belakang kita sendiri, yang artinya produser lelaki akan cenderung membuat film tentang lelaki, demikian pula sebaliknya.


Genre superhero adalah genre yang sangat maskulin. Hampir semua jagoannya cowok (and handsomely straight). Cewek yang ada biasanya cuma pelengkap yang manis - tetap jagoan dan mampu beradegan laga, tapi perannya nggak terlalu dominan. Yang lebih buruk, seringkali perempuan dalam film, komik maupun animasi genre ini digambarkan sebagai objek seksual belaka, salah satunya dengan ukuran payudara nggak normal atau dikasih kostum super hot. Sampai di sinilah akhirnya saya paham kenapa Wonder Woman tahun lalu dipuja-puja oleh banyak orang. Disutradarai oleh seorang perempuan, Patty Jenkins, Wonder Woman menjadi icon superhero yang merepresentasikan dan empowering perempuan dengan sangat baik. Biarpun kostumnya mini, tapi Gal Gadot tidak "diseksualisasikan" secara berlebihan. Lebih menarik lagi, Wonder Woman sebagai jagoan di dunia yang sangat maskulin masih mempunyai pandangan yang lekat dengan nilai-nilai feminim - walaupun sebagian orang akan mencemoohnya terlalu naif.

Bahkan, dalam genre romantis yang sering disebut sebagai genre yang perempuan sekali, screenwriter lelaki masih lebih dominan. Coba sebutkan film-film drama-romantis yang baik menurut para kritikus: Eternal Sunshine of The Spotless Minds, Her, Submarine, High Fidelity, (500) Days of Summer, hingga Annie Hall - film-film ini adalah film yang mengambil sudut pandang lelaki, karena penulis naskahnya ya lelaki. Ada juga sih yang screenwriternya cowok dan protagonisnya perempuan, namun tentu kita masih tetap butuh perspektif dari perempuan beneran. Inilah kenapa Blue is the Warmest Color menjadi problematik: seorang pria menyutradarai film tentang lesbian yang menampilkan sex scene 7 menit. Kritikan utamanya adalah film ini tentang lesbian tapi terasa seperti sudut pandang lelaki. Kritikan yang sama mungkin bisa kita terapkan pada The Handmaiden-nya Park Chan-Whook. (Lebih dalam lagi, kita bisa mengkritik ketika ada film-film tentang LGBTQ yang dibuat oleh mereka yang cissgender dan heteroseksual).

Itulah kenapa kita butuh lebih banyak cewek-cewek keren panutanque seperti Greta Gerwig, Zoe Kazan, Patty Jenkins, Tina Fey, Amy Poehler, Gillian Flynn, Kathryn Bigelow, hingga Diablo Cody di dunia film. Mungkin juga kita ingin lebih banyak Manic Pixie Dream Boy di film-film romantis - cowok idaman yang ditulis oleh screenwriter perempuan. Mungkin kita butuh lebih banyak film-film seperti Ghostbuster (versi cewek) dan Oceans 8 (walau akan lebih menyenangkan jika all-female lead characters ini punya cerita fresh yang tidak mengambil franchise film yang sudah ada).

Lalu apa efeknya industri dan kritikus perfilman yang bias gender dan dominan lelaki?

Ya, industri perfilman secara keseluruhan akan didominasi oleh apa yang lelaki sukai. Film-film yang "cowok banget" akan mendapat ekspos, publikasi, dan review yang lebih baik dari film-film yang "cewek banget". In my opinion, ini yang terjadi pada film-film yang menyandang "cult-classic", sebagaimana daftar Top IMDB tadi, - dimana film-film yang "cowok banget" menjadi sangat dominan dan lebih populer.

Sutradara Karyn Kusama (The Inivitation) bilang, “To me it’s the question of female directors, writers, cinematographers, designers, editors, actors and critics. If you have substantially fewer of them in the world, then we’re missing a crucial human perspective, and the world suffers for it.”
....

ENCOURAGING MORE WOMEN TO WRITE A MOVIE REVIEW

Selama 8 tahun nulis blog ga penting ini, saya sendiri jarang menemukan kawan blogger perempuan lain yang khusus mengulas film. Bisa dilihat dari link sejumlah blog movieblogger Indonesia yang ada blog ini, jumlah movie blogger perempuan masih sangat sedikit. Blogger cewek yang saya tahu biasanya menulis soal craft, parenting, beauty, fashion, atau travelling.

Mungkin, hal ini akan jadi lebih menarik jika ada orang yang bikin penelitian tentang selera film penonton dari perspektif gender. Apakah perempuan pada dasarnya tidak banyak yang menyukai dan maniak film sebagaimana lelaki? Apakah film adalah bidang yang sangat "maskulin" sebagaimana sepakbola dan otomotif? Ataukah perempuan memang sesuai dengan stereotype hanya menyukai drama korea yang menyek-menyek?

Menjawab pertanyaan terakhir, menurut saya kayaknya enggak juga sih. Saya mengadakan survey kecil-kecilan di sebuah grup facebook pecinta film untuk mengetahui selera film cewek, dan range film tontonan mereka beragam mulai dari romantis baper macam The Notebook hingga horror macam Evil Dead, dari The Devil Wears Prada hingga American Psycho. Atau bisa dibilang begini: sesuka-sukanya seorang cewek dengan drama korea, minimal mereka juga suka nonton film-film blockbuster mainstream macam MCU dan Transformer.

Lalu... saya kepikiran ingin membuat blog atau web review film yang khusus untuk reviewer perempuan. Intinya, saya ingin encourage lebih banyak perempuan untuk rajin mengulas film (dan mungkin musik) - supaya ke depannya hal ini bisa memperkaya perspektif kritik film dari sudut pandang perempuan. Saya tahu, ini cita-cita yang idealis dan muluk-muluk ya. Tapi kalo ada yang sepakat dengan ide ini, saya siap mensupport lho. Siapa tahu bisa bikin Cherry Picks versi Indonesia.

Minggu, 12 November 2017

Manic Pixie Dream Girl dan Hidupmu yang Miserable

Manic Pixie Dream Girl dan Hidupmu yang Miserable

Halo, readers! Di artikel kali ini saya nggak akan mereview film, namun tenang aja, masih berhubungan dengan film. Belakangan ini saya bergabung di sebuah grup facebook pecinta film yang cukup aktif. Banyak anggotanya yang bisa me-review film dengan lumayan baik. Di satu sisi saya merasa senang bahwa rupanya sudah cukup banyak penonton yang mampu memberikan kritikan yang baik dalam mengapresiasi film dan sudah cukup well-educated untuk tahu mana tontonan yang baik dan mana yang jelek. Namun di lain sisi.... sebagai movieblogger yang sudah ngeblog dari tahun 2011, saya jadi tertantang dong untuk bisa nulis artikel lain yang nggak cuma sekedar "ngereview film" yang rupanya sudah banyak yang bisa melakukannya. I should write someting more than "why this movie is good or bad".. 

Lalu saya kepikiran untuk mengupas film dari sisi lain: moral story atau life lesson. Sempet kepengen nulis soal beginian di blog saya lainnya kontemplasiliar, namun berhubung pembaca blog satunya sedikit dan lebih banyak yang nyasar di blog ini, ya sudahlah saya tulis di sini saja. Lagipula, kan masih berhubungan dengan film. 

(By the way, tulisan ini akan mengandung banyak spoiler film-film genre drama-romance, dan ada sedikit tulisan berbau seksual).

MANIC PIXIE DREAM GIRL



Saya punya sebuah cerita. Alkisah ada seorang cowok, jomblo, yang tidak terlalu tampan namun juga nggak jelek-jelek banget. Ia adalah pemuda yang terjebak dalam hidupnya yang merupakan rutinitas monoton. Hidupnya tidak menderita sekali, namun dikatakan super bahagia dan menyenangkan juga enggak. Pemuda ini mewakili mayoritas pemuda di dunia yang merasa jenuh dengan hidupnya yang biasa-biasa saja. Sampai ia kemudian bertemu seorang perempuan cantik yang asyik dan penuh petualangan. Sang pemuda jatuh cinta pada sang perempuan, dan mereka berdua pun berpacaran. Sang perempuan membawa vitalitas baru pada kehidupan monoton sang pemuda, dan sang pemuda mencintai betapa perempuan cantik yang sempurna dan asyik itu menghidupkan kembali jiwanya yang hampa. 

Familiar dengan cerita di atas?

Yap, kurang lebih demikian kisah hidup Tom (Joseph Gordon-Levitt) dalam (500) Days of Summer (Mark Webb, 2009). Sebelum Summer (Zooey Deschanel) yang sempurna dalam vintage-dress dan kepribadiannya yang cool itu menghancurkan hatinya. 

Kalau disuruh menyebut film romantic modern yang paling baik dalam menggambarkan kehidupan percintaan anak urban, saya kira (500) Days of Summer adalah contoh yang tepat. Seperti yang dikatakan di bagian openingnya, “This is not a love story, this is a story about love..”, (500) Days of Summer bercerita tentang Tom (Joseph Gordon-Levitt) yang jatuh cinta pada cewek quirky nan free-spirit yang bilang bahwa cinta itu cuma fantasi, Summer (Zooey Deschanel). Dalam alur yang bergerak tidak berurutan dan nuansa indie-hipster yang kental, film itu mengisahkan Tom dan Summer dari jaman awal pacaran yang indah-indah, hingga akhirnya mereka putus dan Tom mengalami patah hati. Summer sering disebut contoh sempurna "Manic Pixie Dream Girl", tipe karakter perempuan asyik yang sempurna dan muncul untuk menceriakan kehidupan protagonis pria yang sebelumnya hampa. Biasanya mereka punya karakter yang quirky, adventurous, free-spirit, dan smart. Pokoknya kebalikan dari tokoh protagonisnya yang biasanya konservatif, boring, tipikal orang biasa-biasa aja lah. 

Selain Summer, ada contoh-contoh karakter lain yang mewakili sebutan Manic Pixie Dream Girl, antara lain Margo (Cara Delavingne, Paper Towns), Maggie (Anna Hathaway, Love & Other Drugs), Claire (Kristen Dunst, Elizabethtown), Sam (Natalie Portman, Garden State), Sara (Charlize Theron, Sweet November), Annie Hall (Diane Keaton, Annie Hall), Clementine (Kate Winslet, Eternal Sunshine of the Spotless Mind), hingga Penny Lane (Kate Hudson, Almost Famous). Saya juga suka menyebut Ramona (Mary Elizabeth Winstead, Scott Pilgrim vs The World) atau bahkan Samantha (Scarlett Johansson, Her) sebagai contoh lain. (Tambahan: Ruby Sparks (Zoe Kazan, Ruby Sparks) yang merupakan "manic pixie dream girl" bagi sang tokoh utamanya Calvin (Paul Dano)). 

Sumber: etsy.com

Apa persamaan dari karakter-karakter wanita di atas? Mereka tipikal perempuan cakep dengan kepribadian yang quirky, asyik, loveable, dan seru. Sempurna lah. Dan mereka hadir untuk menceriakan hidup sang male protagonist. Apa persamaan dari film-film di atas? Mereka punya boring character male protagonist, yang hidupnya kemudian menjadi luar biasa berkat kehadiran perempuan-perempuan sempurna itu.

Natan Rabin, dalam sebuah artikelnya di The A.V. Club, adalah yang pertama kali menelurkan istilah "Manic Pixie Dream Girl" setelah doi mengobservasi karakter Claire (Kristen Dunst) dalam film Elizabethtown (Cameron Crowe, 2005). Ia mendefinisikan Manic Pixie Dream Girl sebagai tokoh karakter wanita dangkal yang hadir untuk memenuhi imajinasi screenwriter pria. Perempuan sempurna yang mengajari tokoh protagonis pria untuk merengkuh misteri dan asyiknya hidup. Belakangan, Rabin menyesal telah menelurkan istilah Manic Pixie Dream Girl yang kemudian dianggap misoginis dan seksis. Yeah, karena karakter-karakter wanita sempurna itu dihadirkan hanya untuk "menyenangkan" karakter pria yang sedang galau dan their job is only make this guy feel alive again. Namun karakter wanita itu tidak diberikan background story atau tujuan hidup sendiri selain "menyenangkan" kekasihnya. Tak peduli betapa kerennya perempuan-perempuan itu, perempuan-perempuan keren itu rupanya cuma punya tugas “menyenangkan” lelakinya. 


Sedangkan dalam kaitannya dengan Manic Pixie Dream Boy, ada 2 contoh karakter dalam film yang tampaknya bisa mewakili ciri Manic Pixie Dream Boy. Pertama, Augustus Waters (Ansel Elgort) di The Faults in Our Stars. Doi ganteng, manis, baik hati, cerdas, puitis, filosofis, rela berkorban melakukan apapun untuk ceweknya - pokoknya doi tipikal cowok impian perempuan manapun lah. Kedua, Jesse (Skylar Astin) di Pitch Perfect. Cirinya pun serupa: cowok yang ganteng, manis, baik hati, dan bisa menceriakan karakter ceweknya Beca (Anna Kendrick) yang gloomy. Dan entah kebetulan atau tidak, saya jatuh cinta pada kedua karakter cowok itu dan berharap pasangan saya bisa sesempurna cowok-cowok khayalan itu. 

(Anyway, begitu banyaknya film-film dengan karakter pria membosankan yang kemudian jatuh cinta dengan perempuan asyik menunjukkan dominasi screenwriter pria di industri perfilman).

YES, WE OFTEN TRAPPED IN THIS IMAGINATION

Saya rasa banyak di antara kita yang terwakili dengan sosok-sosok semacam Tom Hansen (Joseph Gordon-Levitt) di (500) Days of Summer. Saya juga kerap mengasosisasikan diri saya dengan Tom, biarpun saya perempuan. Intinya, saya merasa hidup saya boring, lalu saya berharap suatu kali hadir sosok pasangan yang kemudian membuat saya jatuh cinta (dengan selera musik hipster yang serupa, kalau doi bisa main gitar dan ngefans Radiohead bakal lebih sempurna lagi) dan mewarnai hidup saya yang hampa. Saya rasa banyak orang jomblo yang terjebak pada imajinasi seperti ini: memimpikan kehadiran pasangan yang memenuhi segala ekspektasi kita akan pasangan ideal. Pasangan sempurna yang menerima kita apa adanya. 

Somehow, kita ini orang-orang biasa saja dengan kehidupan yang membosankan, yang kemudian berharap menemukan pasangan yang bisa membawa kita kabur dari hidup kita yang membosankan. Sebuah eskapisme romantis. 

THIS IS RELATIONSHIP TRAP

Saya rasa banyak yang memulai hubungan dengan jebakan seperti ini. Kamu merasa hidupmu miserable dan berharap menemukan jalan keluarnya pada pasanganmu. Mungkin kamu miskin dan berharap menemukan pria kaya yang mau sama kamu, mungkin kamu jelek dan berharap menemukan wanita cantik yang mau sama kamu, mungkin kamu berharap menemukan pasangan yang bisa memenuhi fantasi seksualmu, mungkin kamu merasa berkubang dalam dosa lantas berharap menemukan pemuda sholeh yang bisa menjadi juru selamatmu, atau mungkin hidupmu membosankan dan berharap menemukan pasangan asyik yang bisa mengajakmu ke petualangan hidup yang lebih berwarna.

To be honest, saya mengawali hubungan saya dengan kekasih saya yang sekarang mungkin dengan alasan serupa. I feel desperate in late 20’s, and then I met him and falling in love with him. Lalu kemudian saya memproyeksikan kesempurnaan jalan keluar dari hidup saya yang stuck ini pada dirinya – which is I know it’s not fair. Tapi saya rasa pacar saya juga begitu sih, karena ia kerap membayangkan dirinya Tom (dan saya Summer. Haha. Saya tahu ini analogi nggak tahu diri) – dan ia berharap suatu saat bisa menemukan perempuan sempurna impiannya, sesempurna Summer Finn.

Dan iyes, ini adalah salah satu jebakan dalam hubungan. Kekasih tidak hadir untuk “menyenangkan dirimu”. Mereka bukan konsep – tokoh pendukung yang tidak berhak mengatur nasibnya sendiri – yang tugasnya cuma memberikan solusi bagi permasalahanmu. Kalian berdua boleh jadi senasib dan jatuh cinta, namun membebankan permasalahanmu sepenuhnya pada kekasihmu adalah hal yang tidak adil. Plot twist: your girlfriend / boyfriend might be a fucked-up person too. 

Saya rasa inilah yang sering diungkapkan karakter Clementine dalam film Eternal Sunshine of the Spotless Mind (Michael Gondry, 2004). Clementine (diperankan Kate Winslet), adalah karakter quirky yang adventurous dan spontaneous (terlihat dari pilihan cat rambutnya), yang kemudian bisa pacaran dengan pria pemurung introvert semacam Joel (Jim Carrey). Dan ini adalah salah satu dialognya (yang membekas banget di ingatan saya) :
"Too many guys think I'm a concept, or I complete them, or I'm gonna make them alive. But I'm just a fucked-up girl who's lookin' for my own peace of mind; don't assign me yours.”
Dalam salah satu dialognya di bagian akhir, Clementine juga mengungkapkan bahwa hubungan antara dirinya dan Joel suatu saat akan kembali ke titik jenuh itu lagi. Ketika akhirnya mereka merasa terjebak dalam relationship dan tidak lagi bahagia.




Inilah kenapa pacaran atau pernikahan awal-awal begitu indah. Pertama, level dopamin akibat efek jatuh cinta masih tinggi, sehingga istilahnya perjalanan asmaranya masih “hot”. Kedua, kita masih bisa memproyeksikan segala ekspektasi kita kepada pasangan dan pasangan masih terlihat sempurna di mata kita karena ilusi cinta itu buta. Namun ketika level dopamin mulai menurun dan jati diri sejati kita dan pasangan mulai muncul, kesempurnaan yang mula-mula kita proyeksikan kepada pasangan akan luntur dan kita akan melihat ketidaksempurnaan pasangan dan merasa terganggu maupun kecewa. Ketika ekspektasi tidak terwujud, dan perlahan menyadari bahwa pasangan kita “bukanlah pasangan impian” kita atau bukan pasangan yang bisa mewujudkan khayalan kita, maka semua permasalahan relationship akan muncul: selingkuh, pertengkaran, bosan, ketidakpuasan dalam hubungan, dll. 

Secara teori ini kelihatannya mudah ya dan semua orang juga sudah tahu, namun kenyataannya nggak semua orang cukup diberi kesabaran menerima pasangan apa adanya. Sebagian kecil orang mungkin menjalani hal ekstrim semacam yang dilakukan Theodore (Joaquin Phoenix) dalam Her (Spike Jonze, 2013): jatuh cinta pada OS. Kenapa Theodore jatuh cinta pada OS? Kalau dari percakapannya dengan mantan istrinya (Rooney Mara), alasannya karena Theodore can’t deal with real people.
"You always wanted to have a wife without the challenges of actually dealing with anything real and I'm glad that you found someone. It's perfect,"
Mungkin inilah yang kemudian ditakutkan akan terjadi pada masa depan dengan diciptakannya robot cinta atau waifu 2D serupa Joi di Blade Runner 2049. Benda-benda itu adalah objek yang tidak punya kemandirian berpikir, diciptakan khusus untuk memenuhi fantasimu. Hey, nobody want and love me, jadi mari kita ciptakan saja robot (objek) yang bisa memenuhi ekspektasi kita. Tapi kalau beneran nyata, aku mau donk dibikinin robot Michael Fassbender! Haha.

Sebagian lelaki mungkin juga terjebak pada objektifikasi wanita seperti yang dialami Jon (Joseph Gordon-Levitt) dalam film Don Jon (Joseph Gordon-Levitt, 2013). Ceritanya Jon kecanduan pornografi, dan ia merasa petualangan seksnya tidak pernah ada yang sehebat film-film porno, bahkan ketika ia akhirnya berpacaran dengan cewek sehot Barbara (Scarlett Johansson). Lalu terungkaplah alasannya: film porno adalah produk fantasi pria-pria patriakal. Film porno dibuat khusus untuk menyenangkan fantasi seks pria. Perempuan-perempuan dalam film porno tersebut adalah perempuan-perempuan tanpa kemandirian berpikir (objek) yang melenguh dan (berpura-pura) orgasme hanya untuk memuaskan ego dominasi sang pria. Jon berharap perempuan-perempuan di kehidupan nyatanya menyerupai perempuan-perempuan dalam film porno. 

Oh, namun sayangnya... hubungan seks adalah hubungan dua arah. Lelaki punya nafsu, perempuan juga, dan tidak seharusnya hubungan seks dilakukan hanya untuk menyenangkan pria. Perempuan seharusnya orgasme tidak hanya untuk memuaskan ego pria, namun karena memang mereka menginginkannya dan punya hak yang sama dalam bercinta. Ini tampaknya yang enggan disadari Jon sebelumnya – sampai ia kemudian bertemu karakter Esther (Julianne More). 

SUMMER IS (NOT) A BITCH



Dulu saya kerap berpikir kalau Summer Finn itu bitch banget deh kelakuannya. Nonton (500) days of Summer itu saya ngerasa related banget dengan karakter Tom, dan kemudian saya ikutan patah hati ketika Summer mengakhiri hubungan mereka dengan cara menyebalkan lalu sedemikian cepat kawin sama orang lain.

Tapi mari kita telaah lagi, is it really Summer is a bitch in this case?

Pertama, Summer udah kasih peringatan bahwa dia ga percaya cinta. Kedua, Summer uda bilang kalau dia ga mau hubungan serius. Tapi Tom, a hopeless romantic person, tetap aja menyerahkan dirinya pada hubungan itu dan berharap mendapatkan keajaibannya. Lalu ketika akhirnya Summer mengakhiri hubungan mereka, kenapa mendadak Summer yang menjadi pihak yang sepenuhnya dikatakan bersalah? 

Pada awalnya Summer adalah konsep sempurna sebagai Manic Pixie Dream Girl - namun kita seharusnya sadar bahwa ia juga punya hak yang sama dengan Tom dalam menjalin hubungan. Tom berhak akan cinta sejati, Summer juga – dan sialnya, cinta sejati Summer bukan Tom. Tom yang bersalah karena memproyeksikan kesempurnaan “soulmate” idamannya pada sosok Summer ("Just because she likes the same bizzaro crap you do doesn't mean she's your soul mate,”). Film (500) Days of Summer sendiri sebenarnya hendak mendeskontruksi konsep Manic Pixie Dream Girl itu sendiri, betapa bahayanya “mengidealkan” pasanganmu tanpa menyadari dan menghargainya sebagai real person dengan kompleksitasnya tersendiri. Sutradara Mark Webb sendiri mengatakan, “In Tom's eyes, Summer is perfection, but perfection has no depth.”.

Maka demikianlah.... Tom harus menemukan “jalan keluarnya” sendiri melalui dirinya sendiri, bukan melalui Summer. 

Sebagaimana hey kamu para manusia, kamu adalah tokoh utama dalam ceritamu sendiri, namun jangan lupa bahwa pasanganmu juga merupakan tokoh utama dalam ceritanya sendiri. Jangan memulai hubungan dengan berpikir bahwa pasanganmu hanyalah sebuah eskapisme romantis dari hidupnya yang menyebalkan. 

Kesalahan berpikir pertama adalah menganggap bahwa hubunganmu (entah sekedar pacaran atau pernikahan) adalah solusi atau jalan keluar dari permasalahanmu. It’s not and it won't. Berharap menemukan pasangan yang membuatmu bahagia adalah hal yang wajar – namun menganggap pasanganmu tugasnya cuma itu, adalah kesalahan berpikir yang kedua. Kamu puya kewajiban juga untuk mencari kebahagiaanmu sendiri, dan pasanganmu punya hak untuk menemukan kebahagiaannya sendiri. 

And let's deal with this reality: hidup tidak sesempurna selebgram yang memamerkan kehidupan sempurna mereka dalam pesta pernikahan glamor (tapi sok-sokan down to earth) yang romantis, pasangan ganteng/cantik dan kaya dari lahir yang setia, dan persahabatan yang sempurna. Yap... I should note this to myself.