"Fokus dengan apa yg membuat kita bahagia bukan pada apa yg seharusnya membuat kita bahagia."
Menjumpai film percintaan remaja buatan dalam negeri yang enak ditonton itu sulitnya bukan kepalang. Bagai mencari jarum diantara tumpukan jerami. Dari sisi kuantitas sih stoknya melimpah ruah. Cuma dari sekian banyak judul, film yang tidak mengakibatkan migrain atau gerutuan berkepanjangan saat menontonnya bahkan kalah jumlah dari jemari tangan. Plot mengada-ada, karakter konyol jauh dari kesan membumi, dan dialog-dialog ala pujangga yang bikin lelah telinga dilontarkan tiap menit adalah beberapa penyebab mengapa film percintaan remaja setempat sulit membuat penonton di luar pangsa pasarnya ikut klepek-klepek. Terakhir kali menyaksikan perwakilan genre ini yang terhitung “pas di hati” adalah lima bulan silam lewat Ada Cinta di SMA – sebuah film romantis menyenangkan yang sayangnya dipandang sebelah mata lantaran dibintangi oleh personil CJR (dunno why!). Dalam kurun waktu semenjak film tersebut rilis, beberapa film sejenis berlalu lalang namun tak satupun meninggalkan kesan sampai akhirnya tibalah film terbaru arahan Lucky Kuswandi, Galih dan Ratna, yang menyerupai oase di gurun tandus. Galih dan Ratna membuatku tertawa oleh kejenakaannya, tersenyum kerena keromantisannya, sekaligus rindu manisnya masa-masa SMA. Jatuh hati!
Kendati melompat kegirangan begitu mendapati betapa lezatnya Galih dan Ratna buat dikudap, sejatinya bukanlah sesuatu yang terlalu mengejutkan mengetahui sajian ini akan meninggalkan after taste kuat. Betapa tidak, materi sumbernya adalah novel legendaris dari era 70-an karya Eddy Iskandar, Gita Cinta Dari SMA, yang lantas diterjemahkan pula ke film layar lebar laris manis berjudul serupa dan mengorbitkan kedua bintang utamanya, Rano Karno serta Yessy Gusman. Karakter yang mereka perankan amat ikonik yakni Galih dan Ratna yang merupakan Rangga dan Cinta bagi generasi remaja tiga dekade silam. Dalam versi 2017, sekalipun garis besar cerita berikut jajaran karakter intinya mengadopsi dari karya populer terdahulu, Lucky Kuswandi tidak serta merta sekadar copy paste lalu disesuaikan dengan kondisi zaman. Galih dan Ratna lebih cocok disebut sebagai ‘adik’ ketimbang ‘kloningan’. Disamping plot utama mengenai kisah kasih dua sejoli terhalang perbedaan kasta sosial (dirombak dari sebelumnya, beda suku) dan satu dua lagu tema diaransemen ulang, nyaris tidak ada lagi persamaan dijumpai dari kedua film tersebut. Malah, sesuai dengan judulnya, latar belakang kedua karakter utama mendapat lebih banyak kulikan ketimbang versi lawas.
Galih (Refal Hady) masihlah siswa SMA yang cerdas, hanya saja sekali ini dia bukan siswa populer dan cenderung tertutup. Impiannya terhalang oleh restu dari sang ibu (Ayu Dyah Pasha) yang menginginkan Galih untuk fokus di jalur akademik sehingga mampu memasuki universitas pilihan tanpa harus menghabiskan banyak biaya mengingat kondisi finansial keluarga mereka serba pas-pasan. Sementara Ratna (Sheryl Sheinafia) tetaplah siswi pindahan yang cantik dari keluarga terpandang, hanya saja sekali ini dia lebih spontan dalam bertindak dan mimpinya mengenai masa depan masih diawang-awang. Perkenalan keduanya secara resmi dimulai di lapangan belakang sekolah saat Ratna menunjukkan ketertarikkan pada walkman milik Galih. Dari obrolan singkat mengenai musik yang mereka dengarkan bersama, penonton bisa menyimpulkan bahwa keduanya saling cocok. Hanya butuh alasan lain untuk mengeratkan hubungan mereka. Fathan Todjon selaku penulis skrip bersama Lucky menghadirkan alasan tersebut dalam bentuk sebuah toko kaset milik mendiang ayah Galih yang telah tergerus modernitas dan terancam gulung tikar bernama Nada Musik. Ratna iseng mampir kesana, lalu malah dibuat kesengsem oleh idealisme Galih. Percikan-percikan asmara diantara mereka kian menguat sampai akhirnya Galih memberanikan diri untuk membuat mixtape sebagai bentuk pernyataan cintanya kepada Ratna.
Melihat Galih ‘menembak’ Ratna menggunakan mixtape, seorang kawan nyeletuk, “ah, terlalu mengada-ada. Masa jaman serba digital begini masih ada yang mau nembak pakai mixtape? Muternya gimana coba?.” Untuk sesaat, saya membenarkan komentarnya sampai kemudian teringat pernah menjumpai seorang penggila musik idealis yang mengagungkan format fisik (termasuk kaset yang telah dianggap punah oleh banyak orang sejak beberapa tahun lalu!) dan mendengar tanggapan Ratna ke salah satu teman sekelasnya, “jika dia memang mencintaimu, dia akan mencari cara untuk mendengarkannya.” Kehadiran mixtape justru memperkuat sisi romantis dari film. Menunjukkan adanya kesungguhan cinta diantara kedua karakter utama mengingat untuk sekadar ‘nembak’ dan ‘menerima tembakan’ saja membutuhkan daya juang lebih. Galih bersusah payah memilah-milah lagu yang cocok untuk mengutarakan isi hatinya lalu dilanjut proses mengompilasi ke bentuk kaset yang rumit, dan Ratna, berusaha keras untuk mencari tape demi mendengar surat cinta sang kekasih. Adegan saat Ratna akhirnya berhasil mendengarkan mixtape pemberian Galih di angkot merupakan salah satu momen emas dalam Galih dan Ratna. Hati ini berdesir dibuatnya. Adegan lanjutannya berupa penyampaian jawaban pun tak kalah manis. Tanpa tersadar, seuntai senyum telah mengembang di bibir.
Ya, Galih dan Ratna manis bukan disebabkan kedua insan manusia yang tengah dimabuk asmara hobi saling melempar gombalan satu sama lain tiada berkesudahan. Manisnya terbentuk dari situasi dan keyakinan penonton bahwa kedua karakter memang saling jatuh cinta – atau dengan kata lain, chemistry ciamik. Refal Hady dan Sheryl Sheinafia mempersembahkan duet maut layak dikenang. Untuk ukuran pendatang baru, Refal tampil memikat sebagai Galih. Menguarkan aura misterius mengundang keingintahuan akan sosoknya. Emosinya dalam momen puncak, terpancar nyata. Sedangkan Sheryl membuktikan bahwa lakon bagusnya di Koala Kumal tahun lalu bukanlah semata-mata keberuntungan pemula. Di tangannya, sosok Ratna yang sepintas lalu tampak tipikal gadis rumahan terasa memiliki kompleksitas. Ada kegetiran tersembunyi dibalik sikap cueknya. Ketika mereka berdiri sendiri, masing-masing suguhkan akting solid dan ketika mereka dipersatukan, chemistry-nya sungguh menggigit. Itulah mengapa, mencuat kecemasan dalam adegan yang berlangsung di meja makan dan stasiun kereta karena emosi penonton telah terinvestasikan kepada dua sejoli ini. Memunculkan pengharapan, kisah kasih antara Galih dengan Ratna akan beroleh restu dari orang tua masing-masing khususnya ayah Ratna (Hengky Tornando) yang jarang berada di sisi putrinya serta enggan memahami kemauan sang putri.
Menariknya, Lucky tak melulu berbincang soal cinta di Galih dan Ratna – walau sah-sah saja, toh ini film roman. Tak luput diselipkannya beberapa sorotan ke fenomena sosial masyarakat sekitar dan sejumput kritik seperti generasi muda yang mengalami ketergantungan terhadap sosial media, adanya kesadaran berpolitik di kalangan murid SMA, menjajikannya bisnis berbasis agama, sikap otoriter orang tua pada penentuan masa depan anak, sampai peran serta guru di sekolah. Penyampaian Lucky terbilang halus tak berasa ceriwis, namun cukup efektif dalam menyentil. Daya pikat lain yang dipunyai Galih dan Ratna adalah film mempunyai barisan lagu pengiring bagus yang berkontribusi menghidupkan suasana romantis nan melankolis, lalu pembawaannya seringkali ringan serta cenderung ceria. Serentetan humor-humor segar banyak disempalkan disana sini dari teman-teman sekelas dua karakter utama yang ajaib, sosok guru dalam wujud Pak Dedy (Joko Anwar) yang galak-galak ngangenin, hingga Tante Ratna (Marissa Anita) yang energinya berlebih. Manjur dalam mengundang gelak-gelak tawa renyah sekaligus membangkitkan kenangan-kenangan menyenangkan semasa masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kangen! Jika memang ada keadilan di muka bumi ini, seharusnya mudah saja bagi Galih dan Ratna untuk mendapatkan ratusan ribu atau malah jutaan penonton. Apalagi filmnya amat menarik dan tidak meninggalkan efek migrain maupun gerutuan berkepanjangan kala menyantapnya.
Outstanding (4/5)
REVIEW : GALIH & RATNA
4/
5
By
Mimin