Tampilkan postingan dengan label Review Dear Nathan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Review Dear Nathan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Maret 2017

REVIEW : DEAR NATHAN

REVIEW : DEAR NATHAN


“Saya seneng, kamu ngomong pakai aku kamu. Berasa kayak orang pacaran beneran.” 

Baru beberapa hari lalu diri ini berjingkat-jingkat kegirangan lantaran mendapati film percintaan remaja buatan dalam negeri yang kualitasnya melampaui semenjana dalam Galih dan Ratna, tanpa disangka-sangka kegirangan tersebut bakal terpicu lagi oleh Dear Nathan. Berbeda halnya dengan Galih dan Ratna yang materi sumbernya amat meyakinkan – pijakannya adalah film romantis klasik, maka Dear Nathan yang mempergunakan novel teenlit laris manis rekaan Erisca Febriani hasil kompilasi dari tulisannya di situs Wattpad sebagai rujukan utama boleh dibilang agak meragukan. Meragukan dalam arti naga-naganya film akan susah dinikmati penonton yang bukan berasal dari pangsa pasar utamanya atau dengan kata lain remaja usia belasan yang masih mengenakan seragam sekolah. Ya, telah menjadi rahasia umum bahwa film romantis khusus remaja Indonesia dewasa ini acapkali mempunyai kecenderungan mengalienasi penonton diluar pangsa pasar utamanya sampai-sampai munculnya sikap meremehkan terhadap Dear Nathan pun amat bisa dipahami. Ditemani skeptisisme kala melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop demi menyaksikan Dear Nathan, sebuah tamparan kecil mendarat ke diri ini begitu lampu bioskop dinyalakan pertanda pertunjukkan telah usai. Rupanya, Dear Nathan bukanlah film menye-menye kosong nan menyebalkan seperti disangkakan dan malah justru sebaliknya, ini adalah tontonan yang manis, lucu, dan cukup emosional. Dear Nathan pun bolehlah diajak bergabung ke dalam kelompok ‘film percintaan remaja buatan sineas Indonesia yang enak buat ditonton’ yang anggotanya terhitung sedikit itu. 

Dear Nathan adalah kisah asmara antara seorang siswa berandalan dengan seorang siswi taat aturan. Si cowok adalah Nathan (Jefri Nichol) yang tersohor di sekolahnya lantaran kerap bikin onar, sedangkan si cewek adalah siswi baru yang berusaha mengukir prestasi, Salma (Amanda Rawles). Perjumpaan keduanya dimulai tatkala Salma telat datang ke sekolah dan Nathan membantunya menyelinap masuk demi menghindarkan Salma dari hukuman. Sikap Salma yang berbeda terhadap Nathan (menurut Nathan, Salma melihatnya sebagai manusia) membuat berandalan sekolah ini jatuh hati. Dia berusaha menaklukkan hati si murid baru bahkan secara terang-terangan menyatakan rasa cintanya. Hanya saja, sulit bagi Salma untuk benar-benar menentukan pilihan hatinya. Di satu sisi, dia ingin menghindar dari masalah yang kerap bersanding erat bersama Nathan. Namun di sisi lain, dia pun tidak bisa menyangkal bahwa dirinya menaruh perasaan pada Nathan. Kebimbangan Salma kian menjadi-jadi saat sang ketua OSIS, Aldo (Rayn Wijaya), turut memberi perhatian lebih terhadapnya. Apakah dia akan menetapkan pilihannya ke Nathan yang jelas-jelas penuh masalah atau malah Aldo yang di permukaan tampak mempunyai ‘boyfriend material’? Dalam kebimbangannya, serentetan kejadian mendorong Salma untuk lebih dekat pada Nathan yang membuatnya bisa melihat sosok Nathan dari sudut pandang berbeda dan perlahan tapi pasti kian memperkuat percikan-percikan asmara diantara mereka. 

Berkaca pada sinopsis, materi cerita Dear Nathan sejatinya klise. Entah sudah berapa kali film percintaan remaja mengusung tuturan soal kisah kasih antara si badung dengan si rajin berlatar masa-masa SMA. Tengok saja kawasan Asia yang semenjak popularitas serial Meteor Garden mengangkasa, berderet-deret film berjalur romantis mempergunakan template senada. Salah satu yang terbaru dan meninggalkan kesan mendalam di hati adalah Our Times (2015). Memboyong materi cerita yang tidak lagi asing di telinga semacam ini cenderung beresiko. Apabila si pembuat film kurang mahir bercerita, film akan berakhir bak epigon. Butuh kecakapan dalam mengolahnya agar meninggalkan cecapan rasa kuat di akhir, membuatnya terasa segar sekaligus memposisikannya menjulang diantara film-film sejenis. Dan beruntunglah bagi Dear Nathan, tim yang solid menyokongnya dari berbagai lini sehingga mampu meninggalkan cecapan rasa kuat di akhir sekalipun bahan obrolannya tidak lagi baru. Indra Gunawan yang sebelumnya mengobrak-abrik emosi penonton melalui Hijrah Cinta yang kurang mendapat sorotan, menempati kursi penyutradaraan. Dia bertugas mengejawantahkan skenario racikan Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Talak 3) dan Gea Rexy ke dalam bahasa gambar. Dalam Dear Nathan, Indra mempertegas bahwa sosoknya sudah saatnya diperhitungkan. Keterampilannya menggulirkan penceritaan di Dear Nathan paling kentara mencolok di 30 menit awal yang mengasyikkan sekaligus menit-menit jelang film tutup durasi yang bukan saja emosional tetapi juga manis. Sikap penuh keragu-raguan seketika terhempas hanya beberapa saat usai film memulai langkah pertamanya.


Membawa nada penceritaan yang cerah ceria bak remaja-remaja yang tengah dimabuk asmara, Dear Nathan tidak ingin melenakan penonton sekadar dengan tangkapan gambar indah maupun deretan dialog ala pujangga tanpa konteks jelas. Plot dan karakter pun dianggap penting. Penonton telah dikondisikan untuk menaruh kepedulian kepada kedua karakter utamanya sedari awal. Demi memperkuat karakteristik dari masing-masing tokoh, si pembuat film pun memanfaatkan barisan karakter pendukung. Keberadaan teman-teman sekolah Nathan maupun Salma bukan sekadar pemanis belaka. Begitu halnya dengan sosok keluarga. Dari mereka, kita bisa melihat Nathan dan Salma menggunakan berbagai jenis kacamata dan memahami motivasi atas setiap tindak tanduknya. Ada dinamika tersendiri dalam sosok keduanya yang sedikit banyak membantu mereka terhindar dari karakter tipikal khas film sejenis. Kita terpikat pada Nathan yang bengal, kita terpikat pada Salma yang polos, dan hasil akhirnya, kita terpikat pada kisah asmara yang merekatkan keduanya. Kesanggupan kita untuk terhubung ke para karakter juga dipicu oleh bangunannya yang membumi. Sosok Nathan dan Salma ada di sekitar kita (atau malah diri kita!), lalu konflik yang melingkungki keduanya pun mudah dijumpai. Ketika penonton sudah membentuk ikatan bersama karakter kunci, maka mudah saja bagi si pembuat film untuk membius kita dengan rentetan konflik yang menghadang para tokoh. Muncul kebahagiaan menyimak dua sejoli ini berduaan, muncul ketidakrelaan melihat jurang pemisah diantara mereka kian menganga lebar, dan muncul kehangatan menyaksikan salah satu dari mereka akhirnya berkonsiliasi dengan masa lalu. Lebih dari sekadar film percintaan, Dear Nathan turut mengapungkan isu mengenai perundungan, prasangka, dan keluarga disfungsional yang alih-alih mendistraksi malah kian memperdalam plot utama. 

Jalinan pengisahan yang telah dirangkai dengan begitu apiknya kian terangkat berkat barisan pemain yang suguhkan lakon solid. Jefri Nichol dan Amanda Rawles merupakan bukti nyata kejelian tim casting dalam memilih pemain. Mereka tidak semata-mata cocok secara perawakan, tetapi juga sanggup untuk menghidupkan sosok Nathan dan Salma. Jefri Nichol melebur secara meyakinkan ke dalam jiwa Nathan, membuat penonton tetap dapat jatuh hati lalu bersimpati kepada Nathan. Gelegak emosinya di paruh akhir bersama Surya Saputra yang memerankan ayahanda Nathan menjadi salah satu bagian terbaik dari film dan terbilang berhasil memaksa penonton untuk mengeluarkan sapu tangan dari saku celana demi mengusap bulir-bulir air mata. Performa Jefri Nichol bisa terasa maksimal – bahkan dia amat bersinar disini – lantaran disandingkan dengan lawan main yang juga klop. Disamping Surya Saputra, ada pula Ayu Dyah Pasha, Karina Suwandi, Diandra Agatha, Beby Tsabina, serta tentunya, Amanda Rawles yang jalin chemistry apik bersama Jefri Nichol. Seperti halnya Jefri Nichol, Amanda Rawles pun tampak effortless memerankan Salma. Dalam interpretasi kurang tepat, Salma berpotensi terperosok menjadi karakter menjengkelkan apalagi acapkali dia plin plan atas keputusannya. Namun Amanda Rawles berhasil melakonkannya dengan amat baik yang membuat Salma mudah untuk disukai (senyum-senyum canggungnya bikin gemes!) dan kita pun memahami kegamangan hatinya dalam menentukan pilihan. 

Melihat sokongan tidak main-main dari beragam departemen, tidak mengherankan jika pada akhirnya Dear Nathan sanggup terhidang sebagai film percintaan remaja yang menyenangkan. Mendatangkan gelak tawa, mengundang sunggingan senyum dan menghadirkan kehangatan. Bagus!

Outstanding (4/5)