Tampilkan postingan dengan label Coming of Age. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Coming of Age. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 September 2017

REVIEW : IT (2017)

REVIEW : IT (2017)


“Derry is not like any town I've been in before. People die or disappear, six times the national average. And that's just grown ups. Kids are worse. Way, way worse.” 

Musim panas, sesosok badut pembawa balon warna merah yang murah senyum, dan bocah-bocah berpetualang menjelajahi kota kecil mereka seraya menaiki sepeda. Sepintas memang terdengar seperti sebuah tontonan bertemakan coming of age yang bisa dinikmati seluruh anggota keluarga. Sampai kemudian kita mendapati informasi bahwa film bertajuk It ini didasarkan pada novel seram laris rekaan Stephen King dan si badut yang murah senyum tersebut merupakan perwujudan makhluk misterius yang tak segan-segan memangsa habis manusia. Ya, It adalah sebuah tontonan bergenre horor yang topik kupasannya berpijak pada rasa takut beserta trauma dari masa kecil. Ini jelas bukan untuk konsumsi mereka yang masih dibawah umur apalagi mengidap lemah jantung. 


Terlebih sang sutradara, Andy Muschietti (Mama), tak main-main dalam menghamparkan rentetan teror termasuk menerobos batasan-batasan yang biasanya dihindari sineas film seram sehingga kesan mengusik kenyamanan berulang kali mencuat sepanjang durasi. Jika dirimu menganggap versi miniserinya yang dirilis pada tahun 1990 telah cukup membuatmu kesulitan memejamkan mata di malam hari – si badut memang menyeramkan, tapi secara keseluruhan filmnya sendiri terbilang ‘meh’ – tunggu sampai kamu menyaksikan versi layar lebarnya yang berkali-kali lipat lebih meneror ini. 

Pada dasarnya, guliran pengisahan It garapan Andy Muschietti tak banyak mengalami perombakan berarti dari materi sumbernya maupun versi terdahulu selain latar waktu yang digeser menuju tahun 1989 dari semula era 1950-an. Para protagonis utamanya masihlah personil The Losers’ Club – kelompok para pecundang – yang konfigurasinya tersusun atas si gagap Bill (Jaeden Lieberher), si gemuk Ben (Jeremy Ray Taylor), si cerewet Richie (Finn Wolfhard), si Yahudi Stanley (Wyatt Oleff), si penyakitan Eddie (Jack Dylan Grazer), si kulit hitam Mike (Chosen Jacobs), dan satu-satunya perempuan dalam kelompok ini, Beverly (Sophia Lillis). 

Mempunyai kesamaan nasib yakni dirundung masalah pribadi dengan orang tua masing-masing di rumah dan menjadi sasaran utama perisakan dari Henry Bowers (Nicholas Hamilton) membuat ketujuh bocah ini merasa terhubung satu sama lain. Mereka bermain bersama, mereka berpetualang bersama, dan mereka memecahkan masalah bersama. Ditengah-tengah kegembiraan menyambut datangnya kebebasan di musim panas, problematika lain hadir yang bukan saja mengancam persahabatan mereka tetapi juga keselamatan nyawa masing-masing. Problematika tersebut berwujud sesosok badut misterius bernama Pennywise (Bill SkarsgÃ¥rd) yang sebelumnya telah membunuh adik Bill serta sejumlah bocah lain di kota Derry. 

Teror dalam It telah membuat diri ini terperanjat dari kursi bioskop semenjak adegan pembukanya yang ikonik. Hujan deras mengguyur kota Derry, si kecil George (Jackson Robert Scott) yang merupakan adik Bill berlari-larian menerobos guyuran hujan demi mengejar perahu kertasnya yang terseret air, lalu Pennywise nongol dari gorong-gorong. Memang sih sebagian diantaranya bisa disaksikan melalui trailer, bahkan adegan ini mengingatkan pula ke versi miniserinya. Yang mengejutkan adalah apa yang terjadi selanjutnya terkait bagaimana si pembuat film memperlihatkan kekejaman si badut terhadap anak-anak. 

Belum menyiapkan jiwa raga sepenuhnya, tiba-tiba kita melihat pemandangan mengerikan berupa seorang bocah kecil terkapar tak berdaya dengan kondisi tangan terpenggal dan berlumuran darah di tengah jalan seraya berteriak minta tolong. Sejurus kemudian, tubuhnya diseret masuk ke dalam gorong-gorong oleh Pennywise. Glek! What an opening scene, huh? Melalui prolog ini, Andy Muschietti seolah memberi peringatan keras kepada para penonton bahwa sekalipun It melibatkan banyak karakter praremaja sebagai karakter utama, film tetap akan tersaji brutal alih-alih bermain aman seperti dilakukan Annabelle Creation baru-baru ini. Itulah mengapa, amat sangat disarankan untuk tidak membawa penonton dibawah usia 17 tahun ke dalam gedung bioskop lantaran konten It yang terhitung eksplisit sekaligus gelap.
 

Bukan sebatas pada visualisasi adegan kekerasan, tetapi juga konflik yang dihadapi masing-masing karakter. Sosok Beverly, misalnya, menghadapi pelecehan seksual dari ayah kandungnya sendiri. Karakter lain mesti berdamai dengan duka akibat kehilangan, luka akibat bullying, sampai ketakutan pada kesepian. Sesuatu yang urung kita sadari dari guliran pengisahan di versi miniserinya, bukan? Tidak seperti rilisan terdahulu yang terpaksa berkompromi dengan sensor televisi sehingga diperhalus disana-sini, It milik Andy Muschietti lebih leluasa mengejawantahkan imajinasi liar Stephen King ke dalam format audio visual. Ditunjang pula oleh sokongan dana besar, Pennywise yang sekali ini mendapat sentuhan efek khusus tampak lebih mengancam ketimbang sebelumnya karena dia mampu bertransformasi secara fleksibel ke wujud paling ditakuti dari bocah yang diterornya dan kebengisannya pun tertampang nyata. 

Dan jika kita berbincang soal teror, It adalah salah satu tontonan horor yang sanggup menyajikan daya cekam dengan amat memuaskan tahun ini. Sensasi yang dihadirkannya seperti saat kita menjelajahi wahana permainan rumah berhantu; seru, mengasyikkan, dan menyeramkan. Kebanyakan diantaranya memang berbentuk jump scare mudah diterka, namun ketepatan waktu dan ketepatan konteks kemunculannya membuatnya terasa sangat efektif. Sulit untuk tidak (lagi-lagi) terperanjat lalu berteriak dalam setiap teror yang dihadapi personil The Losers’ Club maupun adegan “melihat foto dari proyektor” yang membuatku ingin sekali berkata kasar itu. 

Disamping kemunculan teror yang sangat diperhitungkan, kesanggupan It membuat penonton terlibat ke dalam film dipengaruhi pula oleh barisan karakternya yang kuat. Setiap bocah mempunyai kepribadian mengikat, setiap bocah mempunyai latar belakang kehidupan menarik, dan saat bersama-sama, mereka mempunyai chemistry asyik yang akan membuatmu ingin sekali nongkrong bareng mereka sekaligus merindukan masa-masa kecil. The Losers’ Club memberi kita perasaan bersemangat, tawa, sampai sesuatu yang sama sekali tidak saya antisipasi: air mata. Lebih dari sekadar film horor, It adalah film mengenai persahabatan, nostalgia masa lalu dan 'cinta monyet' yang sedikit banyak mengingatkan kita terhadap Stand by Me (1986) yang diadaptasi pula dari karya Stephen King beserta serial Stranger Things (2016). 

Performa gemilang dari para aktor cilik yang mampu mengimbangi Bill SkarsgÃ¥rd yang menghantui – terlebih Jaeden Lieberher, Finn Wolfhard, serta Sophia Lillis – membantu merealisasikan The Losers’ Club sehingga terasa nyata adanya. Ya, persahabatan antara personil The Loser’s Club adalah salah satu alasan utama mengapa saya sama sekali tidak keberatan It mempunyai durasi yang merentang panjang hingga 134 menit karena memang film tampil mengasyikkan secara konsisten dan salah satu alasan utama mengapa saya tidak mengeluh kepada keputusan si pembuat film untuk memecah It ke dalam dua bagian (Oh ya, ini adalah It Part One, saudara-saudara!) karena saya masih ingin bertemu kembali dengan mereka. Semoga saja reuni para personil kelompok para pecundang ini di It Part Two bisa melampaui atau minimal sama mengasyikannya dengan petualangan masa remaja mereka.

Outstanding (4/5)


Kamis, 06 Juli 2017

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING

REVIEW : SPIDER-MAN: HOMECOMING


"I'm nothing without the suit!"
"If you're nothing without the suit, then you shouldn't have it."

Reboot lagi, reboot lagi. Mungkin begitulah tanggapan sebagian pihak tatkala mengetahui film terbaru si manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming, memulai guliran pengisahannya dari awal mula (lagi!) alih-alih melanjutkan apa yang tertinggal di dwilogi The Amazing Spider-Man yang juga merupakan sebuah reboot dari trilogi Spider-Man asuhan Sam Raimi. Bisa jadi tidak banyak yang tahu – kecuali kamu rajin mengikuti perkembangan berita film terkini – bahwa keputusan untuk ‘back to the start’ ini dilandasi alasan agar Spider-Man dapat melebur secara mulus (dan resmi) ke dalam linimasa Marvel Cinematic Universe (MCU). Sebelum hak pembuatan film merapat lagi ke Marvel Studios yang diumumkan pada tahun 2015 silam, segala bentuk film yang berkenaan dengan alter ego Peter Parker ini memang berada sepenuhnya di tangan Sony Pictures. Itulah mengapa kita baru benar-benar bisa melihat Spidey bergabung bersama para personil Avengers untuk pertama kalinya dalam Captain America: Civil War (2016) selepas kesepakatan kerjasama antara Sony Pictures dengan Marvel Studios sukses tercapai. Menyusul perkenalan singkat nan berkesan yang menyatakan bahwa si manusia laba-laba telah ‘pulang ke rumah’ di film sang kapten tersebut, Spidey akhirnya memperoleh kesempatan unjuk gigi lebih besar dalam film solo perdananya sebagai bagian dari MCU yang diberi tajuk Spider-Man: Homecoming

Dalam Spider-Man: Homecoming, Peter Parker (Tom Holland) dideskripsikan sebagai seorang remaja SMA berusia 15 tahun yang memiliki otak encer, penuh semangat, sekaligus masih labil. Pasca diajak berpartisipasi oleh Tony Stark (Robert Downey Jr) dalam pertempuran antar personil Avengers akibat perbedaan prinsip seperti diperlihatkan di Civil War, Peter berharap banyak dirinya dalam wujud Spider-Man akan dipercaya seutuhnya untuk menjadi bagian dari kelompok Avengers. Berbulan-bulan menanti panggilan dari Tony yang tidak kunjung datang, Peter pun memilih beraksi kecil-kecilan seorang diri di lingkungan sekitar tempat tinggalnya dengan harapan suatu saat akan menghadapi pelaku kriminal sesungguhnya. Tidak berselang lama, gayung bersambut. Peter berhasil menggagalkan aksi pembobolan ATM dari sejumlah perampok yang menggunakan senjata berkekuatan luar biasa dan berlanjut pada memergoki penjualan senjata ilegal dari pihak sama yang ternyata dikomando oleh mantan kontraktor yang menyimpan dendam kesumat pada Tony, Adrian Toomes (Michael Keaton). Dengan bantuan sang sahabat yang mengetahui jati diri Peter yang lain, Ned (Jacob Batalon), dan perlengkapan canggih hasil kreasi Tony, Peter/Spider-Man berupaya membuktikan kepada sang mentor bahwa dirinya telah memenuhi kualifikasi untuk bergabung ke dalam Avengers dengan cara menghentikan rencana besar Adrian untuk mencuri senjata berteknologi tinggi dari pemerintah.


Hanya butuh tiga huruf untuk mendeskripsikan seperti apa Spider-Man: Homecoming, yakni F-U-N. Ya, sajian rekaan Jon Watts (Clown, Cop Car) ini sanggup memberikan sebuah pengalaman sinematik yang bukan saja mengasyikkan tetapi juga memuaskan sehingga mudah untuk menempatkannya di jajaran terdepan dari film terbaik Spider-Man – menurut saya, hanya kalah dari Spider-Man 2. Guyonan yang dilontarkannya berulang kali menciptakan derai-derai tawa, sementara rentetan sekuens laga yang dikedepankannya pun amat seru. Terhitung sedari adegan Spidey melawan gerombolan Adrian Toomes di dalam bilik ATM yang menghadirkan semangat pula canda tawa, setahap demi setahap Watts mulai meningkatkan level kegentingan yang dihadapi pahlawan kita bersama ini yang membuat perjalanan selama 132 menit berlangsung tanpa terdengar helaan nafas panjang tanda munculnya kejenuhan. Tercatat setidaknya ada tiga momen laga mendebarkan yang mencuri atensi saya secara penuh di Spider-Man: Homecoming. Pertama, ketika si manusia laba-laba mencoba untuk menyelamatkan rekan-rekan sekolahnya yang terjebak di dalam lift yang hendak terperosok. Kedua, penghormatan terhadap adegan kereta listrik dari Spider-Man 2 tatkala Spidey melawan Vulture – jelmaan Adrian – di kapal feri yang berujung pada terbelahnya kapal tersebut. Dan ketiga, konfrontasi akhir yang panas dan dipicu oleh ‘interogasi’ tak disangka-sangka. 

Segala bentuk gegap gempita penuh kesenangan tersebut bisa kamu jumpai dengan mudah sejak babak pembuka hingga penutup dalam Spider-Man: Homecoming yang penceritaannya dilantunkan menggunakan pendekatan film remaja 80-an bertemakan coming of age seperti milik mendiang John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller’s Day Off) ini. Satu hal yang saya sukai sekaligus kagumi dari film solo untuk para superhero yang tergabung dalam MCU adalah adanya sempalan genre lain dibalik tampilan luar yang sepintas lalu tampak seragam sebagai superhero movie yang semata berhura-hura. Lihat bagaimana mereka membentuk Captain America: Winter Soldier selaiknya tontonan spionase, lalu Guardians of the Galaxy menyerupai space opera dengan bumbu komedi nyentrik, dan Ant-Man yang kentara terasa dipengaruhi oleh heist movie. Dalam Spider-Man: Homecoming, keputusan untuk membawanya ke arah film remaja pencarian jati diri terbilang masuk akal karena pendekatan ini efektif dalam mengenalkan pula mendekatkan penonton kepada sosok Peter/Spidey melalui serangkaian konflik internal khas remaja kebanyakan (contoh memendam asmara pada gadis tercantik di sekolah, teralienasi dari pergaulan dan haus akan pengakuan) yang dihadapi Spidey sebagai anggota paling muda di Avengers. Kita bisa mendeteksi semangatnya yang kelewat meletup-letup, idealismenya yang acapkali kebablasan, kepolosan generasi muda yang belum tersentuh pahitnya dunia, sampai ketidakstabilan emosinya sehingga membuat keberadaan Tony Stark di sisinya pun sangat bisa dipahami. Lagipula, bukankah menyegarkan melihat sepak terjang superhero remaja yang masih labil setelah selama ini kita lebih sering menyaksikan aksi para superhero dewasa yang memahami benar apa motivasi mereka dalam bertempur? 

Tom Holland mampu menerjemahkan itu semua secara prima, termasuk ketengilan Spidey kala beraksi dan kekikukkan Peter dalam berinteraksi sosial. Meyakinkan. Apiknya performa Holland turut mendapat sokongan pula dari lini pendukung yang menghadirkan lakonan tak kalah apik; Michael Keaton adalah seorang villain yang mengintimidasi baik saat mengenakan kostum maupun tidak (tengok adegan di mobil!) serta manusiawi di saat bersamaan menilik motivasinya yang bukan semata-mata ingin menguasai dunia, Jacob Batalon adalah seorang sahabat kocak yang ingin kita miliki, Zendaya sebagai teman sekolah Peter adalah seorang perempuan dengan aura misterius yang ingin kita kenal, dan Marisa Tomei sebagai Bibi May adalah seorang bibi keren yang kita kagumi. Disamping mereka masih ada juga sumbangsih peran dari Jon Favreau, Robert Downey Jr., Tony Revolori, serta Chris Evans (dalam peran singkat yang bikin gemes!) yang membuat film kian memiliki cita rasa meriah. Meriah? Ya, memang demikian adanya Spider-Man: Homecoming seperti halnya kebanyakan film yang tergabung dalam MCU. Namun lebih dari itu, nada penceritaan sarat hingar bingar yang dipilih oleh Jon Watts sendiri merupakan sebentuk representasi untuk Peter/Spider beserta masa mudanya yang penuh gejolak. Masa mudanya yang mengasyikkan, seru, dan penuh warna lantaran mempunyai banyak kesempatan mengeksplor kekuatan baru tak terbayangkan sebelumnya. 

Note : Pastikan kamu bertahan hingga layar bioskop telah berubah sepenuhnya gelap. Ada dua adegan tambahan tatkala credit title bergulir yang berada di pertengahan dan penghujung.

Outstanding (4/5)