“Never give up on your dreams.”
Plot mengenai anak muda yang berkelana ke kota besar untuk merealisasikan mimpi-mimpinya sejatinya telah berulang kali dibongkar pasang oleh para sineas dunia. Bahkan baru beberapa hari lalu kita menjumpai penceritaan segendang sepenarian dalam film musikal jempolan, La La Land. Bagi mereka yang mudah bersikap sinis, tentu akan melabelinya dengan “klise” atau “mudah ditebak”. Tapi seperti kita buktikan bersama melalui La La Land, tak peduli seberapa familiar kisah yang kamu bagikan ke khalayak ramai, eksekusi dari sang sutradara lah penentu segalanya. Di tangan Damien Chazelle, film beraroma klise ini berhasil memberi cecapan rasa segar pula magis bagi penontonnya. Belajar dari pengalaman tersebut yang menunjukkan bahwasanya gagasan sederhana maupun usang tidak selalu berkonotasi buruk, saya membawa sikap positif saat memutuskan menyimak film animasi 3D produksi kerjasama antara Kanada dengan Prancis, Ballerina (akan dipasarkan menggunakan judul Leap! di Amerika Utara), yang memiliki jalinan kisah yang senada dengan La La Land. Hasilnya, kepercayaan saya tak dikhianati. Malahan Ballerina lebih menyenangkan dan membahagiakan melebihi ekspektasi.
Karakter utama dari Ballerina adalah seorang perempuan belia yatim piatu bernama Félicie (Elle Fanning) yang telah bermimpi menjadi penari sedari masih kecil. Terbelenggu oleh peraturan ketat panti asuhan yang juga mendikte pemikirannya kalau mimpi bukanlah realita, Félicie kesulitan mewujudkan mimpinya. Sampai suatu hari segalanya berubah usai sahabatnya, Victor (Dane DeHaan), yang bercita-cita menjadi penemu membawanya kabur dari panti dan bertolak ke Paris. Tidak mempunyai kerabat maupun tujuan jelas, keduanya sempat terkatung-katung lalu berpisah jalan. Tapi mereka tidak menyerah begitu saja dan bermodalkan kenekatan, Félicie mengikuti audisi dalam pertunjukkan The Nutcracker yang digelar Paris Opera Ballet menggunakan identitas Camille Le Haut (Maddie Ziegler) yang dicurinya. Tanpa adanya dasar tari balet, Félicie jelas kelimpungan menjalani audisi ini hingga Odette (Carly Rae Jepsen), penjaga misterius di sekolah tari terkemuka tersebut, memutuskan mengajarinya beberapa teknik dasar yang kudu dikuasai para balerina. Bukan perkara mudah bagi Félicie untuk bisa mencapai garis akhir. Disamping balet tergolong sulit dipelajari, Camille Le Haut tentu tidak begitu saja tinggal diam mengetahui identitasnya dicuri.
Dari permukaan, Ballerina memang tak ubahnya film animasi yang dipasarkan untuk perempuan cilik menilik sorotannya pada dunia tari balet. Tapi percayalah, Ballerina bukan sekadar film yang diproyeksikan ke pemirsa berusia dan bergender tertentu sehingga mengalienasi penonton dewasa yang menemani penonton cilik ke bioskop atau mereka yang memilih Ballerina sebagai tontonan karena alasan tertentu. Duo sutradara Eric Summer dan Eric Warin mengupayakan agar seluruh anggota keluarga dapat menikmati keriaan yang dihadirkan oleh Ballerina. Bahkan pesan inspiratif yang diusungnya yakni “jangan pernah menyerah dalam mewujudkan mimpimu” maupun “jalani apapun di kehidupan ini dengan menggunakan hati” bersifat universal yang pastinya akan mengena bagi siapapun yang mempunyai angan, harapan, serta impian. Ya, pada dasarnya ini adalah film untuk para pemimpi. Seperti versi animasi dari La La Land hanya minus momen-momen musikal, tidak terlalu mengakrabi elemen romansanya, dan meninggikan unsur gegap gempita berbalut petualangannya demi menambat perhatian penonton belia.
Dalam perjalanannya, Ballerina agak kikuk mula-mula. Untung desain animasinya yang ciamik pula detil khususnya dalam penggambaran setting tempat, telah mencuri perhatian sedari awal. Dengan babak perkenalan yang teramat singkat, membutuhkan waktu untuk bisa betul-betul masuk ke dalam dunia Félicie yang berlatar tahun 1880-an. Ketertarikan mulai timbul begitu si karakter utama menjalani hari-hari penuh ujian di Paris Opera Ballet. Dari sini kita mulai mengenal Félicie. Perlahan tapi pasti, Ballerina mulai menguarkan charm-nya terlebih saat Odette turun tangan memberikan bantuannya pada Félicie. Diiringi tembang-tembang pop kekinian yang renyah di telinga dan didukung sumbangan bernyawa dari para pengisi suara – kredit khusus bagi Carly Rae Jepsen yang menyimpan kehangatan dibalik sikap dinginnya dan Maddie Ziegler yang sungguh menjengkelkan – Ballerina pun enak dinikmati. Terlebih lagi proses Félicie dalam menggapai mimpinya dijlentrehkan penuh humor menggelitik yang bersumber dari setiap tokoh (interesting, huh?), guliran konflik mengikat, dan menghangatkan hati. Jika ada keluhan berarti, maka itu terkait cara si pembuat film mengakhiri Ballerina yang cenderung tergesa-gesa dan kurang menghentak. Selebihnya, ini adalah tontonan keluarga yang menyenangkan.
Exceeds Expectations (3,5)
REVIEW : BALLERINA
4/
5
By
Mimin