Tampilkan postingan dengan label John Wick Chapter 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label John Wick Chapter 2. Tampilkan semua postingan

Jumat, 10 Februari 2017

REVIEW : JOHN WICK: CHAPTER 2

REVIEW : JOHN WICK: CHAPTER 2


“You stabbed the devil in the back. To him this isn't vengeance, this is justice.” 

Dua tahun silam, pembunuh bayaran yang mematikan berjulukan The Boogeyman, John Wick (Keanu Reeves), keluar dari peraduannya selepas mobil Mustang 69 kesayangannya digondol dan anjing peninggalan mendiang istri dicabut paksa nyawanya. Rencana Wick untuk pensiun dari dunia kriminal bawah tanah – sekaligus mengobati duka lara lantaran ditinggal istri tercinta – pun terpaksa ditunda guna menuntaskan misi balas dendam. Mempunyai jejak rekam beringas di kalangan rekan-rekan seprofesinya, tentunya bukan perkara sulit bagi Wick untuk menundukkan para begundal-begundal yang telah merampas ketenangannya. Hanya dengan sekali hantaman, sekali tembakan, lawan-lawan bertumbangan dan secara cepat, niatan buat undur diri tampaknya segera tercapai... sampai kemudian petinggi studio di Hollywood melihat raihan angka box office yang direngkuh John Wick. Menyadari bahwa film memiliki potensi besar untuk ditumbuhkembangkan sebagai franchise, Summit Entertainment pun lantas mengupayakan agar The Boogeyman gagal beristirahat dengan tenang dan kembali ke jalanan. Caranya mudah, tinggal bumihanguskan saja kediaman John biar tak ada lagi tempat bernaung untuknya! 

Betul, selepas kehilangan mobil dan anjing secara bersamaan di jilid pertama, lewat John Wick Chapter 2, sang karakter tituler dibikin geram lantaran tempat tinggalnya dirudal oleh seorang mafia bernama Santino D’Antonio (Riccardo Scamarcio) pasca permintaan Santino ditolak John secara halus. Tidak lagi mempunyai rumah plus ada hutang budi di masa lalu yang belum terlunasi kepada sang mafia, John pun tiada memiliki pilihan lain selain mengeksekusi tugas yang dibebankan Santino kepadanya. Diterbangkan ke Roma, Italia, John dititahkan untuk menghabisi nyawa adik Santino, Gianna (Claudia Gerini), yang konon lebih dipercaya dalam menduduki posisi penting oleh ayah mereka ketimbang Santino. Dengan Gianna menyerah tanpa syarat, penugasan ini sepintas terlihat sepele saja bagi John hingga dia menjumpai tangan kanan korban, Cassian (Common), yang mempunyai kemampuan bertarung setara dengannya dan bersumpah akan membalas dendam atas kematian Gianna. Seolah belum cukup, John juga menerima pengkhianatan dari Santino yang mengerahkan sederetan personilnya dibawah komando Ares (Ruby Rose) untuk menghabisi John. Malam-malam panjang John demi meladeni amukan dari dua belah pihak dengan kepentingan berbeda pun dimulai. 

Melanjutkan apa yang tersisa dari jilid pendahulu, John menyantroni markas Abram Tarasov (Peter Stormare) untuk mengambil alih Mustang kesayangannya yang dicuri. Berkelindan dengan cerita Abram kepada salah satu pegawainya mengenai jejak rekam John – berfungsi sebagai recap buat mereka yang lupa atau belum menonton film pertama, kita melihat John melumpuhkan penjagaan di sekitar Abram. Sesekali hanya terdengar teriakan, sementara kita melihat ekspresi ketakutan Abram yang meringkuk tak berdaya di kursi kantornya. Ya, John Wick Chapter 2 telah menggila sejak menit-menit pembuka lewat geberan laga beroktan tinggi. Chad Stahelski yang kembali menempati kursi penyutradaraan mengondisikan film untuk senantiasa terjaga intensitasnya tanpa pernah mengendur sedikitpun. Bahkan tak membutuhkan waktu lama usai adegan penyambut yang asyik tersebut, penonton langsung dihadapkan pada muara konflik dari kisah instalmen kedua dimana kediaman John dibuat luluh lantak. Menyusul dituntaskannya misi, ‘kemeriahan’ yang dicari-cari para penggemar film laga mulai mencuat dan terhitung sedari baku tembak bersama pengawal-pengawal Gianna diantara reruntuhan bangunan kuno di Roma, John Wick Chapter 2 tidak lagi memperkenankan penonton untuk bernafas lega.


John Wick Chapter 2 menjalankan tugasnya sebagai sebuah sekuel secara semestinya. Level kekerasan dalam rentetan laganya yang terkoreografi cantik – bukan sekadar asal seru, tapi ikut mendefinisikan karakteristik tokoh tertentu seperti Cassian yang sederhana namun brutal – ditingkatkan setinggi-tingginya. Menyulitkan mereka yang lemah terhadap darah untuk bisa duduk tenang di kursi bioskop seraya menyeruput minuman bersoda. Tengok saja pada aplikasi cerita Abram mengenai kemahiran John membunuh lawannya hanya bermodalkan pensil, sungguh bikin ngilu melihat telinga ditusuk-tusuk sampai menembus otak. Tapi itu jelas belum seberapa apabila disandingkan dengan jurus gun-fu andalan John di sebuah galeri guna menumpas para pelindung Santino yang memberi kita darah dan otak bertaburan di setiap sudut sejauh mata bisa memandang. Ngilu? Jelas. Seru? Banget. Sumber keasyikkan dalam hamparan laga nyaris tanpa putusnya pun tidak selalu memiliki keterkaitan dengan kata ‘sadis’. Ambil contoh pada pertarungan tangan kosong antara John dengan Cassian yang memberi sensasi gregetan atau kejar-kejaran keduanya di ruang publik yang menghadirkan salah satu adegan paling mengesankan dari film berkata kunci “mau nembak tapi malu-malu kucing”. Topangan gerak kamera dinamis beserta penyuntingan taktis, memunculkan candu di rentetan adegan ini sehingga ada keengganan untuk memalingkan pandangan sekejap dari layar atau beranjak sejenak dari kursi bioskop demi memenuhi panggilan alam. 

Disamping muatan laga pekat yang akan membuat para penikmat film action mengalami orgasme di dalam bioskop, daya pikat John Wick Chapter 2 berada di world building-nya. Dalam seri awal kita telah mengenal Hotel Continental sebagai tempat persinggahan para pembunuh bayaran lengkap dengan peraturan-peraturannya, jasa bersih-bersih mayat, serta koin emas sebagai alat tukar pengganti uang sekaligus membership card yang meleluasakan si pemilik mengakses tempat-tempat tertentu, maka melalui jilid kedua ini penonton diberikan paparan lebih mendalam mengenai bagaimana sistem di dunia bawah tanah ini bekerja termasuk kode etik pembunuh, pengadaan sayembara, sampai adanya dewan kriminal, tanpa harus menghilangkan sisi misteriusnya. Detilnya bangunan semesta oleh Derek Kolstad ditambah kulikan pada sisi rapuh John – kita merasakan kesepian dan keputusasaannya, membuat kita sanggup berinvestasi lebih kepada franchise ini yang menjadikannya lebih dari sekadar tontonan eskapisme pengisi waktu luang semata. Membuat John Wick Chapter 2 tidak sebatas film laga seru penuh isian ‘bak bik buk’ dan ‘dar der dor’ seperti tampak di permukaannya. Maka begitu ada tanda-tanda bahwa franchise ini masih berlanjut menjelang film tutup durasi, mencuat rasa gemas. Gemas karena harus menunggu dalam jangka waktu belum dapat dipastikan untuk bisa kembali melihat sepak terjang John Wick di jilid berikutnya. Sudah teramat tidak sabar!

Outstanding (4/5)