Tampilkan postingan dengan label Luna Maya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Luna Maya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Juli 2017

REVIEW : THE DOLL 2

REVIEW : THE DOLL 2


“Aku rasa Kayla belum benar-benar pergi. Dia masih ada di sekitar kita.” 

Dibalik suka cita menyambut laris manisnya dua film horor tanah air tahun ini bak kacang goreng, Danur: I Can See Ghost dan Jailangkung, tertinggal pula gundah gulana – setidaknya bagi saya. Betapa tidak, antisipasi begitu tinggi terhadap judul-judul tersebut, ditambah The Curse yang juga tampak menjanjikan pada mulanya, dibayar oleh kekecewaan teramat sangat. Tatkala lampu bioskop dinyalakan, lalu pintu pun dibuka oleh salah seorang staf, muncul hasrat menggebu-nggebu untuk buru-buru meninggalkan tempat pertunjukkan. Bukan karena dibuatkan ketakutan, melainkan sudah jenuh bercampur bete sampai-sampai ingin menghirup udara segar dengan harapan stres dapat terhempas manja. Duh. Mengalami keapesan sebanyak tiga kali secara berurutan tentu saja bikin jera dalam menanti film memedi lokal berikutnya. Pengecualian untuk Pengabdi Setan yang masih menunjukkan adanya harapan, rentetan judul lain tak lagi terdengar menggairahkan buat disimak termasuk The Doll 2. Jilid pendahulunya memang terhitung mendingan dibanding film-film rilisan Hitmaker Studios yang lain, namun tetap belum bisa pula dikategorikan sebagai tontonan menyeramkan apalagi bagus. Itulah mengapa akhirnya diri ini enggan untuk memboyong ekspektasi apapun ketika menonton The Doll 2 yang lantas malah menghadiahi suatu kejutan cukup manis dalam pengalaman menonton saya. 

Bagi kamu yang belum pernah menonton seri pertama The Doll, tidak perlu khawatir bakal tersesat dalam guliran pengisahan yang ditawarkan oleh The Doll 2. Keterkaitan antara dua judul ini sebatas pada karakter bernama Laras (Sara Wijayanto) yang bertugas untuk membersihkan rumah tangga pasangan-pasangan muda dari campur tangan makhluk halus yang belum bisa beristirahat dengan tenang. Pasangan muda yang membutuhkan bantuan Laras dalam seri kedua adalah Maira (Luna Maya) dan Aldo (Herjunot Ali). Persinggungan keduanya dengan lelembut dimulai beberapa bulan selepas putri tunggal kesayangan mereka, Kayla (Shofia Shireen), tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Mengalami duka amat mendalam ditinggal buah hati, Maira kerap merasa Kayla masih berada di sekitarnya. Demi menenangkan Maira, sang sahabat, Elsa (Maria Sabta), mengajaknya untuk melakukan pemanggilan arwah menggunakan medium boneka kesayangan Kayla, Sabrina, yang sejujurnya cenderung aneh ketimbang lucu. Setelah suatu percobaan, mereka merasa pemanggilan arwah ini tidak berhasil dan meninggalkannya begitu saja. Yang tidak diketahui baik oleh Maira maupun Elsa, arwah Kayla telah menyanggupi untuk hadir dan bersedia untuk mengajak sang ibunda bermain-main lagi. Yang juga tidak mereka ketahui, arwah Kayla ternyata tak ingin sekadar bermain tetapi juga menuntaskan sebuah urusan yang belum terselesaikan. 


Kejutan yang didapat saat menyaksikan The Doll 2 di layar lebar adalah betapa mengasyikkannya film arahan Rocky Soraya ini. Mengingat standar yang telah ditetapkan untuk film horor dalam negeri pada tahun ini terhitung sangat rendah, tentu mudah saja memproklamirkan The Doll 2 sebagai film seram terbaik sejauh ini di tahun 2017. Sebenarnya sih tidak seram-seram amat lantaran banyak diantaranya masih terlalu bergantung pada jump scares dengan iringan skoring berisik yang tidak pada tempatnya meski sekali ini permainan pada atmosfernya lebih ditekankan, hanya saja The Doll 2 mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai Danur, Jailangkung, maupun instalmen pertamanya yakni keasyikkan yang bisa dijumpai di beberapa titik. Ya, film telah mencuri atensi sedari prolognya yang menghentak dan tidak main-main dalam mengumbar kebrutalan. Intensitasnya yang tinggi cukup untuk mengusik kepenasaran penonton dalam mengetahui apa yang hendak ditawarkan oleh The Doll 2 di menit-menit selanjutnya. Selepas pembantaian dua keluarga, lalu berlanjut pada adegan kecelakaan yang merenggut nyawa Kayla, nada penceritaan melembut. Mengajak penonton memasuki fase duka yang menghinggapi Maira. Keputusan studio dalam mereduksi penampakan tidak perlu untuk kemudian digantikan oleh narasi jelas perlu diapresiasi sekalipun percobaan ini tidak sepenuhnya berhasil pula disebabkan penghantarannya yang kelewat berlarut-larut sehingga berpotensi menjenuhkan penonton kebanyakan dan keberadaan dialog-dialog menggelikan (ehem, Mbak Elsa, Sabrina itu nggak lucu lho!) yang mendistraksi. 

Yang lantas merekatkan mata penonton pada layar di titik ini adalah permainan teknisnya seperti teknik pengambilan gambar yang berkelas premium dan lakon tangguh dari Luna Maya. Dia sanggup memberi suntikan emosi ke film dengan memperlihatkan keterpurukan seorang ibu yang ditinggal pergi buah hatinya secara meyakinkan. Kita bisa terkoneksi pada perasaannya... dan kita pun bertahan. Mengalami naik turun sepanjang babak kedua, intensitas mengalami kemerosotan cukup drastis saat The Doll 2 memberi kelokan konyol pada penceritaan yang melemparkan ingatan ini pada salah satu episode dalam Sinema Pintu Taubat sampai-sampai saya mengantisipasi terdengarnya suara Opick melantunkan salah satu tembang andalannya. Meruntuhkan mood yang telah dibangun susah payah selama perjalanan dengan seketika. Pusing deh, kepala Ken! Menduga film sudah berada di titik terendahnya, The Doll 2 justru bangkit begitu memasuki klimaksnya yang berdarah-darah. Menyerupai jelang konklusi di seri sebelumnya sih, menyerupai juga prolognya. Tapi kalau berhasil tersaji seru dan mengasyikkan, ya nggak ada salahnya kan? Toh sekali ini level kekonyolannya masih bisa ditolerir dan level kebrutalannya berlipat ganda. Kapan lagi coba bisa melihat Luna Maya yang biasanya tampil cantik bertransformasi menjadi ‘psikopat’ yang menemukan kebahagiaannya dengan menusuk-nusuk orang yang dibencinya menggunakan pisau dapur?

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://tz.ucweb.com/7_1ys3b

Acceptable (3/5)


Minggu, 11 Juni 2017

REVIEW : MANTAN

REVIEW : MANTAN


“Pernah nggak kamu kepikiran, orang yang deket sama kamu itu jodoh yang dikasih Tuhan apa nggak?” 

Setiap mantan kekasih pastinya menggoreskan cerita dan pengalaman berbeda-beda untuk dikenang. Ada yang menyenangkan, memilukan, menjengkelkan, sampai biasa-biasa saja. Tatkala kenangan buruk lebih sering menghinggapi selama menjalin tali asmara, umumnya hubungan berakhir secara tidak baik yang berdampak pada keinginan untuk tidak lagi saling berkomunikasi demi menghempaskan memori-memori buruk. Kurang lebih, seperti diutarakan Geisha dalam tembang “Lumpuhkan Ingatanku”. Akan tetapi, pernahkah terlintas di pikiran bahwa jalan terbaik untuk berdamai dengan masa lalu agar dapat melanjutkan hidup tanpa ada beban di hati adalah memaafkan alih-alih melupakan? Gandhi Fernando (The Right One, Midnight Show) agaknya mempunyai pemikiran senada karena seperti apa yang dituangkannya dalam film terbaru keluaran Renee Pictures, Mantan, yang menampilkannya sebagai pelakon sekaligus penulis skrip, mantan tidak semestinya dihempas begitu saja dari ingatan terlebih jika menyisakan persoalan belum terselesaikan di masa lampau. Semestinya kita bersilaturahmi dengan mantan, lalu mengajaknya untuk berkonsiliasi. Siapa tahu soulmate yang sesungguhnya untuk kita ada diantara mereka. Dalam? Ya. Tapi jelas tidak mudah untuk dilakukan. 

Dalam Mantan, Gandhi Fernando memerankan Adi, seorang kolumnis majalah percintaan, yang mengunjungi kelima mantan kekasihnya di beberapa kota demi memastikan bahwa tunangannya memang benar-benar tambatan hatinya sebelum mereka mengikat janji pernikahan secara resmi. Mantan pertama yang dikunjunginya adalah Ella (Ayudia Bing Slamet) di Bandung. Keduanya menjalin hubungan semasa masih duduk di bangku SMA dan perpisahan diantara mereka berlangsung jauh dari kata mengenakkan. Mengingat ada masalah di masa lalu, reuni dengan Ella yang kini telah berumah tangga pun tidak berlangsung mulus. Mencuat pertikaian diantara mereka terlebih saat terungkap fakta dibalik alasan Adi dan Ella berpisah. Selepas permulaan yang buruk, Adi bertolak ke Jogja guna menemui mantan kedua, Frida (Karina Nadila). Ketimbang Ella, Frida lebih bisa menerima kehadiran Adi sekalipun argumentasi hebat tetap tak terelakkan. Dari Jogja, Adi meluncur ke Bali untuk melepas rindu bersama Juliana (Kimberly Ryder) lalu berlanjut menjumpai mantannya yang dulu beprofesi sebagai penyanyi, Tara (Luna Maya), di Medan. Perjalanan Adi yang melelahkan untuk menemui para mantan ini mencapai ujungnya di Deedee (Citra Scholastika) yang bermukim di Jakarta.


Harus diakui, Mantan sebetulnya mempunyai premis menggelitik, menjual, sekaligus accessible bagi penonton kebanyakan terlebih jika mempunyai pengalaman menarik dengan mantan kekasih di masa lalu. Hanya saja, entah dilandasi oleh keterbatasan bujet atau murni pilihan kreatifitas si pembuat film, Mantan mengambil pendekatan penceritaan yang bisa dikata tidak umum bagi penonton awam walau metodenya sendiri telah diaplikasikan beberapa kali di sinema dunia dan sedikit banyak mengingatkan pada film perdana Renee Pictures, The Right One. Setidaknya ada dua hal yang perlu diketahui soal Mantan. Pertama, jalinan pengisahan dalam film digerakkan hampir sepenuhnya oleh dialog, dan kedua, sebagian besar durasi dihabiskan di kamar hotel yang menjadi tempat pertemuan antara Adi dengan mantan-mantannya. Sedari mantan pertama, penonton telah diboyong memasuki kamar hotel dan menyaksikan argumentasi antar dua manusia yang mengungkit-ungkit masa lalu. Siklusnya terus berulang hingga mencapai mantan keempat. Svetlana Dea selaku sutradara beserta Gandhi Fernando lantas sedikit membelokkannya begitu sampai di Deedee lantaran sang mantan tidak menyimpan duka lara dan Adi telah mempelajari kesalahan-kesalahannya dari keempat mantan yang ditemuinya terlebih dahulu. Melalui mantan-mantannya tersebut pula, penonton mempelajari karakteristik dari si tokoh utama. 

Menyimak adu mulut di hampir sepanjang durasi memang terdengar melelahkan apalagi sang sutradara masih terlihat kagok dalam mengeksekusi adegan yang menyebabkan intensitas tak menentu. Namun yang membuat setiap pertemuan yang umumnya berlanjut ke pertengkaran ganas dalam film terasa enak untuk diikuti serta ada kalanya terasa menghibur adalah dialog-dialog renyah sarat humor kreasi Gandhi dan performa memikat dari barisan pelakonnya. Beruntung bagi Mantan dapat merekrut Ayudia Bing Slamet, Kimberly Ryder, dan Luna Maya untuk bergabung ke dalam departemen akting karena film menunjukkan kekuatannya ketika berada di segmen Ella, Juliana, serta Tara. Penonton dapat merasakan adanya kemarahan mendidih dalam sosok Ella melalui intonasi, gestur, dan air muka yang diperagakan secara tepat sasaran oleh Ayudia, lalu Luna Maya dengan karisma seorang perempuan mapan yang memancar membuat kita bisa memahami mengapa Adi klepek-klepek kepada Tara, dan Kimberly Ryder yang menunjukkan performa amat luwes dan terbaik dalam karir berlakonnya (serius, dia semestinya bisa lebih besar dari sekarang!) mempersembahkan pertikaian paling memiliki intensitas dalam film yang dipicu oleh kompleksitas dari karakter Juliana. Tidak seperti keempat mantan lainnya yang menunjukkan posisinya secara gamblang, Juliana menunjukkan ambiguitas yang lantas membentuk satu kecurigaan: jangan-jangan, sebetulnya dia masih menyimpan rasa kepada Adi?

Note : Ada mid-credits scene di sela-sela bergulirnya credit title yang layak dinanti. Jangan buru-buru beranjak.

Acceptable (3/5)